Labels

Hendi Rusli's Blog Founded on October, 2008

Monday, June 22, 2009

Perumpamaan Tuan Tanah dan Penggarap


Eksegese Matius 21:33-46


Dalam sejarah penafsiran perumpamaan, metode penafsiran terus berkembang. Dari metode alegoris yang berakhir pada masa Julicher tahun 1888, kemudian ke metode historis yang memperhatikan konteks kehidupan Yesus, dan kemudian bergerak lagi ke metode estetis dan eksistensialis yang mengajarkan untuk lebih memperhatikan teks ketimbang memperhatikan konteks.[1] Namun sampai saat ini orang masih suka menafsir dengan metode alegoris.[2][3] Metode tersebut akan sangat relevan karena penafsir masa kini cenderung untuk membaca teks Alkitab dalam bentuk peredaksian terakhir ketimbang mencari bentuk semula teks Alkitab (ke belakang teks).

Mungkin kebanyakan orang berpandangan bahwa penafsiran alegoris masih sangat relevan, sehingga terus dipertahankan sampai saat ini. Di samping metode penafsiran yang telah di singgung, yang telah berkembang dari metode ahistoris ke historis dan kemudian kembali lagi ke ahistoris, perumpamaan-perumpamaan Yesus dapat dikaji dengan pendekatan literer, yang dapat digolongkan ke dalam metode sinkronis.

Dalam tulisan ini akan di bahas mengenai Perumpamaan Tentang Penggarap-Penggarap Kebun Anggur dalam Matius 21:33-46 dengan menggunakan pendekatan literer. Yaitu, dengan memperhatikan relasi intratekstual, desain literer dan latar (setting). Makna perumpamaan akan dicari melalui karakter yang ada dalam perumpamaan tersebut, yang kemudian dapat diambil pokok ajaran dan konsep teologis. Dalam pendekatan literer akan ditinjau juga mengenai efek perumpamaan itu, yaitu dengan memperhatikan efek pendengar pertama, ketika perumpamaan itu disampaikan Yesus secara lisan, kemudian efek pada pembaca pertama (dalam bentuk tulisan yang disampaikan kepada komunitas Kristen perdana), dan efek pada pembaca kontemporer.

Nama yang diberikan pada perumpamaan Matius 21:33-46 oleh para ahli adalah “Perumpamaan Tentang Penggarap-Penggarap Kebun Anggur” (Kistemaker, LAI), perumpamaan “The Wicked Tenants” (Wenham, Blomberg), “Parable of the Wicked Husbandmen” (Jeremias) dsb. yang pada intinya mengacu kepada karakter si penggarap/petani/penyewa sebagai karakter yang utama. Namun demikian, dalam pembahasan berikut untuk Matius 21:33-46 akan digunakan istilah “Perumpamaan Tuan Tanah dan Penggarap-Penggarap”. Hal ini didasarkan karena karakter si tuan tanah memiliki peran yang seimbang dengan penggarap-penggarap dalam cerita perumpamaan tersebut.

Konteks Literer

a. Relasi Intratekstual / Co-Teks
Perumpamaan tuan tanah dan penggarap-penggarap disampaikan Yesus di Bait Allah di Yerusalem. Hal ini dapat kita lihat dengan memperhatikan ayat-ayat sebelumnya atau teks sebelumnya. Dalam Matius 21:12 dikatakan bahwa Yesus telah masuk ke Bait Allah, mengusir para pedagang dan meninggalkan kota itu. Namun keesokan harinya Ia kembali ke Yerusalem. Yesus kemudian kembali ke Bait Allah (21:23) dan di situ Ia ditanyai oleh imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi mengenai kuasa yang Yesus miliki. Yesus bersoal jawab dengan mereka, namun imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi tidak memperoleh jawab yang mereka harapkan dari apa yang mereka tanyakan. Lalu Yesus membuka pertanyaan baru ti de umin dokei; (tetapi apakah menurut pendapat kalian?) yang kemudian frase ini menjadi jembatan ke dalam cerita perumpamaan yang Yesus sampaikan mengenai perumpamaan tentang dua orang anak (Matius 21:28-32). Dan tidak berhenti sampai di situ Yesus kembali bercerita mengenai perumpamaan yang lain (Matius 2133-46), yang dimulai dengan frase allen parabolen akousate (dengarlah suatu perumpamaan lain). Kata kai (dan) yang berfungsi sebagai konjungsi pasal 22:1 mengindikasikan adanya keterkaitan literer dengan narasi sebelumnya (Matius 21:33-46). Jadi dapat dikatakan bahwa, setelah Yesus bertanya jawab dengan imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi mengenai kuasa-Nya di Bait Allah, Yesus kemudian menyampaikan tiga (3) perumpamaan berturut-turut (secara kronologis) kepada imam-imam kepala, tua-tua bangsa Yahudi, orang yang hadir dan juga murid-murid.
Berdasarkan analisa literer tersebut, terdapat relasi intratekstual/co-teks antara Matius 21:28-32, Matius 21:33-46 dan Matius 22:1-14. Jadi dapat disimpulkan bahwa perumpamaan tuan tanah dan penggarap-penggarap yang terdapat dalam Matius 21:33-46 memiliki relasi intratekstual dengan Matius 21:28-32 sebegai teks sebelumnya dan Matius 22:1-14 sebagai teks sesudahnya. Ketiga perikop perumpamaan tersebut (“Perumpamaan Tentang Dua Orang Anak”, “Perumpmaan Tuan Tanah Dan Penggarap-Penggarap” dan “Perumpamaan Perjamuan Kawin”) disampaikan Yesus di tempat dan waktu yang bersamaan.

b. Desain Literer
Perumpamaan tuan tanah dan penggarap dapat dikatakan memiliki kesejajaran sintesis. Yaitu, suatu perumpamaan dengan perbandingan dua gagasan yang tidak berlawanan. Perumpamaan ini dapat dibagi dalam dua bagian (ayat 33b-37 dan ayat 35-39) yang sejajar berdasarkan karakter yang memiliki peran dominan di dalam perumpamaan tersebut. Ayat 40-46 tidak dapat dimasukkan ke dalam bagian narasi perumpamaan, karena konteknya sudah berbeda (berada di luar konteks perumpamaan). Di samping itu pada bagian ini (ayat 40-46) telah terjadi perubahan suasana. Namun, jika dilihat secara keseluruhan dalam satu perikop, maka cerita ini membentuk tiga bagian besar, yaitu:

(i) 21:33a Pembukaan perumpamaan

(ii) 21:33b-39 Narasi perumpamaan
(a) Tuan tanah:
oikodespotes (33b-37)
A. Membuka kebun anggur dan menyewakan (33b-33c)
B. Mengutus hamba-hamba (34, 36)
C. Mengutus anaknya (37)

(b) Penggarap-penggarap:
georgois (35-39)
A. Menangkap & membunuh hamba-hamba utusan pertama (35)
B. Menangkap & membunuh hamba-hamba utusan kedua (36)
C. Menangkap & membunuh anak dari si tuan tanah (38-39)

(iii) 21:40-46 Yesus dan orang banyak

Dari kesejajaran di atas kita dapat melihat bahwa perumpamaan tuan tanah dan penggarap memiliki kesatuan literer. Berdasarkan struktur tersebut kita juga dapat melihat bahwa dalam perumpamaan tersebut terdapat empat karakter. Namun, yang memiliki peran dominan adalah tuan tanah dan penggarap-penggarap kebun anggur. Sedangkan hamba-hamba dan anak dari si tuan dapat dikatakan sebagai peran figuran saja atau merupakan subordinasi dari karakter si tuan tanah.

Dari komposisi di atas kita dapat katakan bahwa fokus perumpamaan terletak pada ayat 33b-37. Bagian ini memperlihatkan relasi antara hamba-hamba dengan tuannya, dan relasi tuan dengan anaknya. Hamba-hamba diutus untuk pergi ke ladang, kepada penggarap-penggarap untuk mengambil hasil yang menjadi bagian tuannya. Tetapi para penggarap malah menangkap, memukulinya dan membunuhnya. Tuan tanah kemudian mengutus anaknya sendiri yang ia kasihi, namun nasib yang sama dialami oleh si anak.

Perubahan suasana dalam cerita ini terjadi pada ayat 40-46. Suasana perumpamaan tiba-tiba berubah menjadi suasana dialog antara Yesus dan orang banyak. Dari konteks di dalam perumpamaan, yaitu di ladang ke konteks Yesus, di mana Yesus menyampaikan perumpamaan tersebut. Kata otan sebagai konjungsi subordinatif menjembatani perubahan suasana tersebut. Pertanyaan pengandaian yang diajukan Yesus kepada orang banyak membawa kepada suasana dialog. Yang kemudian masuk ke suasana eskatologis melalui kutipan dari Perjanjian Lama. Suasana berubah lagi dari eskatologis kepada para imam kepala dan orang-orang Farisi yang mendengarkan perumpamaan Yesus.

c. Latar (setting)
latar perumpamaan terdiri dari dua bagian, yaitu latar di luar perumpamaan dan latar di dalam perumpamaan. Latar di luar perumpamaan adalah latar literer, sedangkan latar di dalam perumpamaan adalah unsur-unsur kehidupan masyarakat palestina kuno yang digunakan dalam perumpamaan.[4] Latar dalam perumpamaan biasanya merupakan hal-hal yang telah dikenal oleh para pendengar perumpamaan tuan tanah dan penggarap. Latar ini meliputi: tuan tanah, hamba, anak, penggarap, kebun anggur, pagar, menara jaga, lobang tempat memeras anggur. Semua unsur dalam latar dalam dari perumpamaan ini hampir semuanya dapat dikenal oleh pembaca modern. Namun, beberapa unsur seperti menara jaga dan lobang tempat memeras anggur mungkin agak asing bagi pembaca kontemporer. Menurut Kistemaker,[5] menara jaga digunakan untuk mengintai pencuri selama musim panen, dan juga dapat digunakan sebagai tempat tinggal penggarap-penggarap kebun anggur.

Di samping latar dalam sebagaimana disinggung di atas, ada juga latar luar. Untuk dapat mengetahui latar luar dalam perumpamaan tuan tanah dan penggarap ini, minimal harus diperhatikan kronologis literer di mana Yesus mulai menyampaikan perumpamaan-perumpamaan-Nya. Pasal 21 ayat 1 memberi keterangan bahwa dalam rangka perjalanan-Nya ke Yerusalem, Yesus telah tiba di Betfage yang terletak di Bukit Zaitun dekat Yerusalem. Kemudian pada ayat 12, Yesus sudah berada di Yerusalem, dengan keterangan bahwa Yesus memasuki Bait Suci dan mengusir semua pedagang yang berjualan di sekitar Bait Suci. Dari situ, kemudian Ia meninggalkan Bait Suci dan pergi ke luar kota Yerusalem, yaitu ke Betania (ayat 17). Pada ayat 18 dikatakan bahwa Yesus melakukan perjalanan kembali ke Yerusalem; dan ayat 23 memberi keterangan bahwa Yesus kembali memasuki Bait Allah untuk mengajar, di mana di tempat tersebut datanglah imam-imam kepala serta tua-tua Yahudi dan orang banyak kepada-Nya. Dari analisa tersebut kita dapat katakan bahwa latar luar perumpamaan tuan tanah dan penggarap meliputi: kota Yerusalem, Bait Suci, Imam-imam kepala dan tua-tua, orang banyak (mungkin juga ada anak-anak), dan tentunya juga murid-murid yang selalu menyertai-Nya. Perumpamaan Yesus jelas ditujukan kepada semua orang-orang yang hadir di tempat itu, dan terkhusus kepada murid-murid.

Makna Perumpamaan

a. Karakter dan Pokok Ajaran
Perumpamaan tuan tanah dan penggarap memiliki empat (4) karakter, yaitu karakter tunggal si tuan tanah (oikodespotes), karakter jamak penggarap-penggarap (georgois). Karakter jamak hamba-hamba (doulous) dan karakter tunggal anak (uion). Namun, sebagaimana telah disinggung dalam desain liteter, yang memiliki peran dominan adalah karakter tuan tanah dan karakter penggarap. Karakter hamba dan anak hanya sebagai figuran. Dari karakter tuan dan penggarap inilah akan dilihat pesan yang dibawa dalam perumpamaan ini.

Dalam perumpamaan tuan tanah dan penggarap, diceritakan bahwa sang tuan tanah membuka kebun anggur, memasang pagar, membuat tempat pemerasan anggur dan mendirikan menara jaga. Untuk apa si tuan tanah melakukan hal ini? Dikatakan dalam ayat 33c, yaitu untuk disewakan kepada penggarap-penggarap, tentunya penyewaan ini dilakukan dengan perjanjian sebagaimana yang biasa berlaku di Timur Tengah pada waktu itu. Si tuan tanah mengetahui bahwa kebun anggur yang ia siapkan untuk disewakan kepada para petani tidak dapat menghasilkan keuntungan dalam jangka waktu singkat, minimal ia harus menunggu selama empat tahun sebelum pohon anggur dapat menghasilkan buah. Si tuan tanah tentunya berharap di tahun ke-5, ia dapat memperoleh hasil dari kebun anggur yang disewakan tersebut. Untuk menunggu waktu yang lama itu, ia kemudian pergi ke negeri lain. 


Singkat cerita ketika musim panen hampir tiba, sang tuan mengutus (apesteilen) hamba-hambanya untuk menerima hasil yang menjadi bagiannya (ayat 34). Namun, para penggarap malah memukuli hamba-hamba tersebut, melempari dengan batu dan kemudian membunuhnya. Sang tuan tidak memberi reaksi apa-apa ketika mendengar hamba-hambanya diperlakukan dengan semena-mena. Dengan sabar ia kembali mengutus hamba-hambanya yang lain (mungkin pada panen berikutnya) untuk kembali meminta hasil yang menjadi bagian tuannya. Tetapi Para penggarap memperlakukan hal yang sama sebagaimana yang mereka lakukan kepada hamba-hamba yang pernah diutus lebih dulu. Dan akhirnya, sang tuan mengutus anaknya sendiri untuk yang ketiga kalinya meminta hasil panen yang menjadi bagiannya. Dengan penuh kesabaran menghadapi penggarap-penggarap sang tuan berkata, “Anakku akan mereka segani” (ayat 37). Maka sang tuan mengutus anaknya. Tetapi apa yang terjadi? Ternyata para penggarap memperlakukan hal yang sama kepada anak tersebut. Mereka bahkan merencanakan hal yang jahat, sebelum mereka membunuh anak tersebut. Yaitu, mereka berpikir bahwa merekalah nanti yang akan menjadi ahli waris dari sang tuan tanah, setelah mereka membunuh anak tersebut. Cerita diakhiri dengan sebuah pertanyaan Yesus kepada orang banyak, mengenai apa yang kemudian akan dilakaukan oleh si tuan tanah. Secara tersirat perumpamaan diakhiri dengan keadilan, bahwa para penggarap akan menerima ganjarannya, meskipun hal ini dinyatakan oleh orang banyak yang mendengarkan perumpamaan tersebut. Hal ini diperkuat oleh pararel dari perumpamaan ini, yaitu di dalam Injil Markus 12:1-12 dan Lukas 20:9-19, yang secara eksplisit menutup perumpamaan ini dengan sebuah keadilan dari si tuan tanah sendiri.


Karakter penggarap dalam perumpmaan tuan tanah dan penggarap jelas membawa pesan jahat atau sesuatu yang jahat, licik dan tidak adil. Sedangkan karakter tuan tanah membawa pesan sabar tetapi juga adil. Berdasarkan analisa karakter tersebut, dapat disimpulkan bahwa perumpamaan tuan tanah dan penggarap berbicara tentang hal sabar dan adil terhadap kejahatan. Kesabaran diperlukan untuk mengahadapi sejahatan, kelicikan, dan ketidakadilan dalam hidup. Namun, kejahatan, kelicikan dan ketidakadilan harus diredamkan dengan keadilan.


Pertanyaan Yesus kepada orang banyak, yang sekaligus mengakhiri perumpamaan, membawa pembaca kepada perubahan suasana. Yaitu, dari suasana perumpamaan di ladang kepada suasana dialog antara Yesus dengan orang banyak di Bait Allah. Dari suasana dialog, kemudian berubah lagi menjadi suasana eskatologis, dengan Yesus mengutif kitab suci Ibrani (PL). Hal ini dapat kita lihat dari penggunaan kata dotesetai (akan diberikan) sebagai kata kerja indikatif kala depan (future). Jawaban Yesus kepada orang banyak mau menyatakan bahwa diri-Nya sebagai batu penjuru adalah seperti sang anak yang dibunuh. Namun, beberapa ahli berpandangan bahwa perumpamaan ini tidak berbicara soal eskatologis (kutipan Yesus dari PL adalah berasal dari redaktor). Jika kutipan Yesus tentang batu penjuru adalah benar tambahan kemudian dari redaktor, maka tidak dapat dikatakan bahwa anak yang dibunuh mengacu kepada Yesus. Sekali lagi, pesan utama yang mau disampaikan dari perumpamaan ini adalah sabar dan adil terhadap kejahatan. Pesan yang dibawa karakter tuan tanah dapat dibandingkan dengan Allah yang sabar, namun juga adil kepada umat-Nya. Kemudian pada ayat-ayat selanjutnya narator memberi keterangan bahwa yang dimaksud dengan penggarap-penggarap dalam perumpamaan ini adalah ditujukan kepada imam-imam kepala dan orang-orang Farisi (ayat 45-46). Dengan mengacu kepada ayat ini, dapat dikatakan bahwa, pesan yang dibawa karakter penggarap yang jahat dan licik dapat dibandingkan dengan imam-imam kepala dan orang-orang Farisi.


b. Konsep Teologis
Tema perumpamaan tuan tanah dan penggarap adalah sabar dan terhadap kejahatan. Karakter si tuan tanah membawa tema mengenai sabar dan adil, sedangkan tema yang dibawa karakter dari penggarap-penggarap adalah kejahatan dan kelicikan. Karakter tuan tanah dan penggarap saling berinteraksi. Dari kontrak perjanjian yang dilakukan kedua belah pihak, maka terjadilah hubungan di antara mereka. Pesan yang dibawa masing-masing karakter nampak dari interaksi yang mereka lakukan. Apa yang dilakukan dan dikatakan karakter penggarap memperlihatkan hal yang jahat, licik dan tidak adil. Sedangkan apa yang dilakukan dan dikatakan karakter tuan tanah adalah hal yang baik, yaitu sabar dan adil.

Konsep teologis yang muncul berdasarkan kedua karakter di atas dapat dilihat dari interaksi mereka. Kesabaran yang ditunjukkan oleh karakter tuan tanah adalah sikap yang aktif terhadap penggarap. Dan kesabaran inilah yang dapat dibandingkan dengan Allah yang sabar terhadap umat. Kesabaran yang ditunjukkan si tuan tanah mengandung pengertian untuk tidak melakukan kekerasan terhadap musuh dan orang-orang yang berlaku jahat dan licik. Di sisi lain, jika perumpamaan tuan tanah dan penggarap dibandingkan dengan pararelnya sebagaimana telah disinggung di atas, khususnya dalam bagian penutup perumpamaan, maka ada sesuatu yang kurang ditekankan secara eksplisit oleh penulis Injil Matius. Namun, meskipun demikian ketiga Injil mau menekankan hal yang sama dalam bagian penutupnya, yaitu karakter tuan tanah membawa pesan keadilan di samping pesan kesabaran yang lebih dulu ditekankan di atas.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep teologis yang dibawa oleh dua karakter di atas adalah bahwa kejahatan, kelicikan dan ketidakadilan harus di disikapi dengan sabar dan adil. Sebagaimana Allah yang selalu sabar terhadap umat dan juga adil untuk menghukum dan memberkati akan apa yang dilakukan umat, demikian juga sangatlah perlu mengembangkan sikap sabar dan adil tersebut dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan kejahatan, kelicikan dan ketidakadilan. Perumpamaan tuan tanah dan penggarap merupakan seni hidup, yaitu seni untuk menghadapi hal yang jahat dengan sikap sabar dan adil.

Efek Perumpamaan

a. Pendengar Pertama
Sebagaimana disinggung di atas, perumpamaan tuan tanah dan penggarap yang disampaikan Yesus terjadi di Bait Allah. Yesus menyampaikan perumpamaan ini kepada orang banyak, imam-imam, orang farisi dan juga murid-murid. Efek perumpamaan pada pendengar pertama hanya dijelaskan pada ayat ke 41, 45 dan ayat 46. Pertanyaan Yesus pada ayat 40 mengundang pendengar (orang banyak) untuk memberi jawab atas pertanyaan Yesus. Hal ini menggambarkan bahwa pendengar memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan sangat antusias untuk mengetahui akhir dari cerita perumpamaan tersebut. Orang banyak mengecam akan apa yang dilakukan para penggarap dalam paerumpamaan yang diceritakan Yesus. Mereka menghendaki agar sang tuan tanah menghukum dan membinasakan penggarap-penggarap yang jahat itu. Dan dapat dikatakan bahwa orang banyak mendapat sesuatu dari perumpamaan tersebut, yaitu mereka menolak hal-hal yang jahat dan ingin melakukan hal yang baik, meskipun itu belum diwujudkan dalam perbuatan. Hal lain yang dapat kita ketahui mengenai efek pada pendengar pertama adalah pada ayat 45 dan 46. Narator memberi informasi bagaimana reaksi para imam kepala dan orang-orang Farisi setelah mendengar perumpamaan Yesus tersebut. Imam-imam kepala dan orang-orang Farisi memahami akan perumpamaan yang disampaikan Yesus, dan mereka menyadari bahwa merekalah yang di maksud dalam perumpamaan tersebut. Efek lain yang ditimbulkan oleh perumpamaan tersebut adalah para imam dan orang-orang Farisi menjadi semakin benci kepada Yesus. Bahkan mereka berencana untuk menangkap Yesus.

b. Pembaca Pertama
Efek perumpamaan pada pembaca pertama ditujukan kepada komunitas Matius sendiri. Menurut Armand Barus, Matius menulis Injilnya bukan karena interes pribadi, tetapi karena dorongan kebutuhan komunitas-komunitas Matius atau komunitas lainnya. Ahli lain berpendapat bahwa Injil Matius ditulis setelah hancurnya kota Yerusalem dan Bait Suci pada tahun 70 M. Itu berarti bahwa konteks penulis Injil Matius ada dalam keadaan krisis. Orang-orang Yahudi mengalami krisis, mereka merasa diperlakukan tidak adil, orang-orang Yahudi merasa bahwa mereka menjadi korban dari kejahatan tentara Roma yang telah membumihanguskan Yerusalem dan Bait Suci. Keadaan komunitas Matius yang menderita karena kejahatan dan kekejaman tentara Roma, menimbulkan kebutuhan dari komunitas tersebut akan berita Injil, hal inilah yang mendasari Penulis Injil Matius menulis perumpamaan ini. Yaitu untuk menghibur dan menguatkan jemaat asuhan Matius untuk tetap sabar menghadapi keadaan tersebut.

c. Pembaca kontemporer
Kebanyakan orang yang hidup di zaman ini menganggap bahwa kesabaran adalah suatu kebodohan. Mereka mengatakan bahwa kesabaran akan membuat orang cepat mati. Namun, apakah memang demikian? Bisa ya, tetapi juga bisa tidak. Situasi yang dialami bangsa Indonesia, seperti misalnya keadaan ekonomi yang morat-marit; lapangan kerja yang sangat terbatas sementara tenaga kerja membengkak; krisis moralitas pemimpin bangsa yang bermental korup; ketidakadilan di dalam hukum, yang di dalamnya termasuk masalah mayoritas dan minoritas, dsb menuntut suatu sikap yang sabar untuk dapat bertahan. Tanpa kesabaran di tangah situasi seperti itu, maka orang pun akan cepat mati. Lalu apakah cukup hanya dengan kesabaran? Kesabaran harus ditopang dengan sikap aktif dan tegas terhadap kejahatan dan ketidakadilan. Jika kesabaran bersifat pasif, maka mungkin pernyataan pertama dari kebanyakan orang tadi adalah benar. Jadi sikap sabar harus disertai sikap adil yang tidak kompromistis dengan kejahatan. Di tengah situasi yang sebagaimana digambarkan di atas, umat Kristen perlu dikuatkan dan terus dibekali untuk memiliki sikap sabar dan adil dalam kehidupan sehari-hari yang mereka jalani. Sikap sabar dan adil perlu diwujudkan dan menjadi seni di dalam gaya hidup orang-orang Kristen dewasa ini.


Refleksi
Perumpamaan tuan tanah dan penggarap yang dikaji dengan pendekatan literer membawa pesan yang relevan dalam konteks di Indonesia. Perlu disadari bahwa sikap sabar tidak banyak dimiliki orang yang hidup dizaman ini, meskipun dalam kenyataannya sikap tersebut sangat dibutuhkan. Dan kiranya melalui pengkajian di atas, umat Kristen dapat lebih memahami dan dapat mempraktikkan firman Tuhan di dalam kehidupan dan pergumulan sehari-hari mereka. Namun demikian, penulis menyadari bahwa kajian di atas mungkin masih memiliki kekurangan jika dibandingkan dengan banyak kajian yang telah disajikan oleh para ahli biblika.

[1] Armand Barus, “Sejarah Penafsiran Perumpamaan” Diktat (2009): 13.
[2] Cara pembacaan alegoris berusaha memberi makna rohani terhadap hampir setiap unsur yang terdapat di dalam perumpamaan. Pembacaan seperti ini mengabaikan aspek historisnya dari perumpmaan.
[3] Sinkronis secara harfiah artinya bersamaan waktu. Dalam metode sinkronis, teks dapat dipandang sebagai cermin atau sebagai permukaan air bening.
[4] Panitia Fest Schrift Susabda STTRII, The Integrated Life: Kehidupan Kristen Yang Seutuhnya; Armand Barus, Bila Pegampunan Tidak Ada: Matius 18:23-35. (Yogyakarta: ANDI, 2006), 52
[5] Simon Kistemaker, The Parables of Jesus, (Michigan: Baker Book House, 1980), 97.