Labels

Hendi Rusli's Blog Founded on October, 2008

Tuesday, November 30, 2010

BIOGRAPHY OF HEGEL

Hegel dengan nama lengkap George Wilhelm Friedrich Hegel lahir di Stuttgart, Jerman pada tanggal 27 Agustus 1770.[1] Hegel hidup di era romantisisme[2] Jerman. Ia sempat belajar teologi sebelum mendalami filsafat. Ketika muda Hegel lebih tertarik pada mistisisme dan ia memandangnya secara luas, seperti sebuah intelek yang menampakan diri sebagai pengetahuan mistik.[3] Para pakar berpendapat bahwa sistem filsafat Hegel dipengaruhi juga oleh teologinya. Roger Scruton, dalam A Short History of Modern Philosophy mengatakan bahwa Hegel adalah seorang filosof idealis berlatar belakang teolog, dan pada dirinya terpadu dua struktur bangunan intelektual, yaitu teologi dan idealisme postkantian. [4]


Karier akademik Hegel mulai kelihatan ketika ia menjadi tenaga pengajar di Universitas Jena. Menurut Gaarder,[5] sebelum ia memulai kariernya di Jena, Hegel pada usia delapan belas tahun telah belajar teologi di Tubingen. Di Tubingen Hegel Mulai menaruh perhatian pada hubungan antara teologi dan filsafat.[6] Kemudian pada tahun 1799, ia mulai bekerja dengan Schelling di Jena ketika Gerakan Romantik mengalami pertumbuhan yang pesat. Dan setelah menjalani satu periode sebagai asisten profesor di Jena, ia diangkat menjadi profesor di Heidelberg tahun 1816,[7] tempat di mana pusat Romantisisme Nasional Jerman berada. Pada tahun 1818 ia diangkat menjadi profesor di universitas Berlin. Di Berlin ia menjadi sangat terkenal dan kariernya terus memuncak, bahkan ia disebut sebagai “professor professorum”. Hegel meninggal pada tanggal 14 November 1831, karena penyakit kolera yaitu “kolera jenis paling intensif”.[8]

[1] Roger Scruton, “A Short History of Modern Philosophy”, (London: Search Press, 1963), 159. Dikutip dalam Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 85.
[2] Romantisisme merupakan suatu gerakan merentang dari akhir abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19. Romantisisme meliputi dan mempengaruhi kehidupan spiritual dalam segala dimensinya. Gerakan ini secara historis sebenarnya adalah reaksi dari Zaman Pencerahan yang menekankaan dan bertitik tolak dari akal sebagai pangkal dari segala sesuatu. Antara romantisisme dan idealisme Jerman terdapat pengaruh timbal balik yang besar dan sejumlah pertentangan. Untuk lebih jelas, lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), 959-964.
[3] Bertrand Russel, History of Western Philosophy (London: George Allen and Unwin LTD, 1946), 757.
[4] Dr. Zubaedi, Filsafat Barat, 85. Idealisme poskantian adalah idealisme setelah Kant, yang dibangun oleh Fichte, Schelling dan Hegel. Mereka menolak konsep adanya “dunia-pada-dirinya-sendiri”.
[5] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1996), 392.
[6] G.W.F Hegel, Hegel: Nalar Dalam Sejarah, peny. Robert S. Hartman (Jakarta: Teraju Mizan, 2005), xii.
[7] Russel, History of Western Philosophy, 757.
[8] Simon-Petrus L. Tjahjadi, tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes Sampai Whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 73.

Thursday, July 22, 2010

MENGENAL REMAJA


Usia remaja merupakan salah satu tahap yang harus dilewati dalam kehidupan manusia. Tahap ini adalah tahap kritis, di mana terjadi transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Keinginan untuk mencari jati diri dan mendapatkan pengakuan dari keluarga serta lingkungan masyarakat menjadi
hal yang penting dalam kehidupan remaja.

Remaja sering kali sibuk dengan dirinya sendiri, yang tidak mudah dimengerti dan diterima oleh orang dewasa. Kadang-kadang dia dipandang sebagai orang dewasa, tetapi lain waktu ia dianggap sebagai anak yang masih ingusan. Hubungan dengan temannya tidak menentu, ada kalanya akrab ada kalanya bermusuhan. Mungkin pada suatu ketika ia cinta dan bangga terhadap dirinya, tetapi lain kali ia merasa malu dan benci terhadap dirinya.

Kondisi emosi yang labil membuat anak-anak remaja melakukan hal-hal yang di luar etika dan aturan. Tidak jarang perkelahian antar remaja terjadi, namun tidak jelas sebabnya. Bahkan perkelahian dapat meningkat menjadi permusuhan kelompok, yang menimbulkan korban pada kedua belah pihak. Anak-anak remaja juga sering terjerumus dalam pergaulan bebas dan obat-obat terlarang.


Remaja dalam Keluarga

Penentuan seseorang telah remaja atau belum dalam suatu keluarga sangat ditentukan oleh kondisi anggota keluarga. Penentuan seseorang dianggap remaja atau anak-anak di dalam suatu keluarga sangat tergantung pada pengetahuan orang tua, cara pandang orang tua terhadap sesuatu dan juga pemahaman orang tua terhadap anaknya. Banyak orang tua yang tidak mengerti usia remaja itu seperti apa dan bagaimana, bahkan ada seorang anak yang sudah mencapai usia remaja, namun masih dianggap sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan pendapatnya tidak perlu dipertimbangkan. Hal inilah yang mungkin dapat menimbulkan masalah, yaitu ketidakstabilan hubungan mereka. Oleh karena itu orang tua perlu memiliki pengetahuan tentang siapakah remaja itu, apa yang dibutuhkannya, bagaimana orang tua harus bersikap, dan apakah sifat-sifat yang ditimbulkan oleh anak pada usia remaja tersebut.

Dari uraian di atas jelas bahwa pengakuan remaja dalam suatu rumah tangga sangat tergantung pada sejauh mana orang tua remaja tersebut dapat memahami mereka sebagai anak-anak yang akan tumbuh menjadi dewasa.

Remaja Dalam Masyarakat

Penentuan seseorang telah remaja dapat juga ditentukan dari penerimaan masyarakat terhadap remaja tersebut. Masyarakat yang paling sederhana yang masih hidup secara alamiah, seperti bertani, menangkap ikan, dan sebagainya, mereka tidak mengenal masa remaja. Tidak ada batas umur yang jelas antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Begitu tubuh si anak besar dan kuat, mereka dianggap telah mampu melakukan pekerjaan seperti yang telah dilakukan orang dewasa, maka mereka dapat dikatakan sebagai remaja/pemuda. Maka saat itulah mereka diterima dalam lingkungannya, pendapatnya didengar dan diperhatikan - mereka sudah terlatih untuk memikul tanggung jawab keluarga. Jadi jelas bahwa tahapan kehidupan dikalangan masyarakat sederhana sangat tergantung oleh tenaga fisik dan keterampilan yang dimiliki, sehingga pada tahapan remajapun dapat dikatakan sudah dewasa asalkan sudah mampu bekerja dan bisa memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga.

Sementara itu untuk masyarakat desa yang agak maju, dikenal remaja dengan berbagai istilah yang menunjukan adanya kelompok umur yang tidak termasuk kanak-kanak dan tidak pula dewasa, misalnya jaka-dara, bujang-gadis. Masa berlangsungnya sebutan tersebut biasanya tidak lama, kira-kira sesuai dengan umur remaja awal (sekitar umur 13 tahun atau baligh/puber), sampai pertumbuhan fisik mencapai kematangan sekitar umur 16-17 tahun.
Lain halnya dengan masyarakat maju. Remaja belum dianggap sebagai anggota masyarakat yang perlu didengar dan dipertimbangkan pendapatnya serta dianggap belum sanggup bertanggung jawab atas dirinya. Terlebih dahulu mereka harus lebih menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kapasitas tertentu, serta mempunyai kemantapan emosi, sosial dan kepribadian.

Remaja dalam Hukum dan Perundang-undangan

Dalam pemilihan umum seseorang baru dianggap sah sebagai calon pemilih bila mereka telah berumur 17 tahun. Untuk memperoleh surat ijin mengemudi (SIM) seeorang harus berumur minimal 18 tahun. Dan apabila seseorang melakukan tindakan pidana, seperti mencuri, merampok, sedang usianya masih dibawah 18 tahun, maka apabila dijatuhi hukuman tidak dimasukan kedalam penjara, melainkan dititipkan ditempat yang telah disediakan untuk menampung mereka selama menjalani hukuman dan mereka tetap diberi kesempatan untuk pergi ke sekolah. Apabila umur mereka telah mencapai 18 tahun, mereka telah dipandang dewasa dan harus menjalani hukuman sebagai orang dewasa, dipenjarakan dan sebagainya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa remaja awal, sekitar umur 13-17 tahun masih dalam hukum dan perundang-undangan dianggap sebagai orang yang belum dewasa dan masih harus dibimbing sehingga jika ia kedapatan melakukan pelanggaran tidak diberi hukuman selayaknya orang dewasa, sedangkan untuk remaja akhir, sekitar umur 18-21 tahun dalam hukum dan perundang-undangan telah diakui sebagai orang dewasa.

Pertumbuhan Biologis dan Psikologis Remaja

a. Dimensi Biologis

Secara umum usia remaja berkisar antara 13-19 tahun tetapi ada juga ahli yang mengatakan antara 13-21, dan pada usia tersebut manusia mengalami banyak perubahan-perubahan baik secara fisik maupun psikologis yang dialami oleh laki-aki maupun perempuan.
Perubahan fisik yang dialami oleh remaja putra pada usia tersebut antara lain bahunya akan semakin membesar dan ototnya semakin berkembang, suaranya mulai membesar dan agak serak, badan meninggi, produksi hormon mulai meningkat, tumbuh bulu-bulu di tempat tertentu (ketiak, sekitar kelamin, kumis, jenggot, jambang, dan lainnya), rambutnya pun mulai berminyak dan yang aneh adalah akan mengalami mimpi indah atau yang dikenal “mimpi basah.” Untuk wanita perubahan fisiknya yaitu pinggulnya sudah mulai membesar, mulai muncul haid atau menstruasi (proses gugurnya sel telur wanita karena sel telur yang matang tidak dibuahi), buah dada semakin membesar, wajahnya mulai bertambah halus dan cantik, hal ini diikuti dengan keinginan untuk mulai berdandan dan suaranya pun berubah semakin merdu.

Hal tersebut diatas terjadi karena remaja mengalami masa pubertas, dimana pada masa ini hormon (gonadotrophins) seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua macam pertumbuhan, yaitu:

Follicle Stimulating Hormone (FSH)
Luteinizing Hormone (LH)

Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone (dua jenis hormon wanita). Pada anak laki-laki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating (ICSH) merangsang pertumbuhan testoteron. Pertumbuhan yang semakin cepat dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seseorang baik laki-laki maupun perempuan.

b. Dimensi Psikologis

Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak, pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Dari hasil penelitian di Chicago, AS menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan waktu hanya 45 menit untuk merubah dari mood “senang luar biasa” menjadi “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan waktu beberapa jam untuk melakukan hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah atau kegiatan sehari-hari di rumah.
Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat peka terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain selalu mengagumi dan selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi dan mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat para remaja selalu memperhatikan dirinya dan citra yang direfleksikan (self-image) dan Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik.

Remaja putri selalu bersolek berjam-jam di depan cermin karena mereka percaya orang akan memperhatikan kecantikannya, sedangkan remaja putra akan membayangkan bahwa ia akan dikagumi oleh lawan jenisnya jika ia terlihat hebat dan unik. Pada usia 16 tahun keatas, keeksentrikan remaja akan berkurang jika ia dihadapkan dengan dunia nyata. Pada saat itu, remaja akan mulai sadar bahwa orang lain memiliki dunia sendiri dan tidak selalu sama dengan dunia mereka apa yang dihadapi dan dipikirkannya. Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan orang lain, kemudian menjadi tidak mendasar. Pada saat itulah remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan imajinasi dan angan-angan mereka dengan kenyataan.

Para remaja sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka. Tindakan impulsif sering dilakukan; sebagian karena mereka tidak sadar dan belum memperhitungkan akibat jangka pendek dan jangka panjangnya. Remaja yang punya kesempatan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka, maka akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya diri dan mampu bertanggung jawad. Rasa percaya diri dan rasa tanggung jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati diri positif pada remaja. Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif diri sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh mereka sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu sebagai seseorang yang membutuhkan nasehat dan berbagai cara akan dicari olehnya.

Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh individu pada masa remaja adalah masalah “Siapakah saya” pertanyaan itu sah dan normal adanya karena pada masa ini kesadaran diri (self-awareness) mereka sudah mulai berkembang mengalami banyak sekali perubahan. Remaja mulai merasakan bahwa dirinya berbeda dengan orang tuanya dan memang ada remaja yang ingin merasa berbeda. Inipun hal yang normal karena remaja dihadapkan dengan banyak pilihan, karenanya tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah dan selalu ingin mencoba, baik dalam peran sosial maupun dalam perbuatan. Contoh: anak seorang insinyur bisa saja ingin menjadi seorang dokter karena tidak mau melanjutkan atau mengikuti jejak ayahnya. Ia akan mencari idola seorang dokter yang sukses dan berusaha menyerupainya dalam tingkah laku. Bila ia merasakan peran itu kurang sesuai, remaja akan dengan cepat mengganti peran lain yang dirasakannya lebih sesuai. Begitu seterusnya sampai ia menemukan peran yang ia rasakan sangat pas dengan dirinya. Proses mencoba peran ini merupakan suatu pembentukan jati diri yang sehat dan juga sangat normal. Tujuannya sangat sederhana; ia ingin menemukan jati diri atau identitas dirinya.

Banyak orang tua khawatir bahwa percobaan peran ini menjadi berbahaya, kekhawatiran itu memang memiliki dasar yang kuat karena dalam proses percobaan ini orang tua tidak dilibatkan. Para remaja takut, apabila orang tua mereka dilibatkan, mereka tidak menyetujui, tidak menyenangi atau malah menjadi sangat khawatir. Orang tua menjadi kehilangan pegangan karena mereka tiba-tiba tidak lagi memiliki control terhadap anak remaja mereka. Pada saat inilah kehilangan komunikasi antara orang tua dengan remaja mulai terlihat. Orang tua remaja mulai berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda sehingga kesalahpahaman sangat mungkin terjadi.

Salah satu upaya lain bagi orang tua untuk megetahui diri remaja adalah melalui tes-tes psikologis atau yang lebih dikenal dengan tes minat dan bakat. Tes tersebut menyangkut tes kepribadian, tes intelegensi dan tes minat. Walau terlihat sederhana, dampak dari hasil tes tersebut sangat luas. Tes psikologi dapat diibaratkan sebuah pisau lipat yang terlihat sekilas tidak berbahaya; namun di tangan orang yang bukan ahlinya atau yang kurang bertanggung jawab, alat ini akan menjadi sangat berbahaya. Alat tes tersebut diinterpretasikan secara salah atau secara tidak menyeluruh oleh orang yang kurang berpengalaman atau tidak memiliki dasar ilmu yang cukup sehingga membawa dampak yang negatif. Akibatnya, para remaja akan merasa lebih bingung dan merasa tidak yakin akan hasil tes tersebut. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk mencari psikolog yang memang sudah terbiasa memberikan tes psikologi sehingga dapat menjamin obyektivitas tes tersebut.

Satu hal yang perlu diingat adalah hasil tes psikologi untuk remaja sebaiknya jangan ditelan mentah-mentah atau dijadikan patokan yang baku, mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang sangat erat dengan perubahan. Alat tes ini tidak semestinya dijadikan buku primbon atau acuan baku dalam penentuan langkah menuju masa depan, misalnya dalam mencari sekolah atau mencari karir. Seringkali, seiring dengan perkembangan remaja dan perubahan lingkungan disekitarnya, konklusi yang diterima dari hasil tes bisa berubah dan menjadi tidak relevan lagi.

Sehubungan dengan explorasi diri melalui internet atau media massa, remaja hendaknya berhati-hati dalam menginterprestasikan hasil-hasil yang diterima dari tes-tes psikologi online melalui internet. Harap diingat bahwa banyak diantara tes tersebut yang masih sebatas uji coba dan belum dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Selain itu dibutuhkan kejujuran untuk mampu menerima diri apa adanya, sehingga remaja tidak mengembangkan identitas virtual yang berbeda dengan hal yang asli.


Sumber Bacaan

Daradjat, Zakiah Prof. Dr. Hj. 1993. Remaja, Harapan dan Tantangan. Jakarta:
CV. Ruhama.

Kesler, jay. 1978. To Big to Spank. California: Published by Regal Books Ventura.

Perkembangan Psikologis Remaja Putri. Majalah Gadis. Hlm.16. Jakarta:
20 April 2001.

Purwoko, Yudho. 2001. Memecahkan Masalah Remaja. Bandung:
Yayasan Nuansa Cendikia.

“Relief”. Ensiklopedi Indonesia Jilid 5. hlm. 2878. Jakarta:
ICHTISAB Baru-Van Hoeve. 1984.

Sandels, Bill. 1987. Almost Everything Teens want Parents to Know. New Jersey:
The Fleming H. Revell Company.

Setiono, lilly H. Team e-psikologi. Beberapa Permasalahan Remaja. http//www.
e-psikologi.com/remaja/130802.htm. Jakarta: 2002.

Tempo [Jakarta] 29 Maret, 2002.

Thursday, May 13, 2010

PERCERAIAN DALAM PANDANGAN PAULUS


Perceraian merupakan persoalan yang biasa dihadapi oleh kebanyakan orang dalam kehidupan berumah tangga. Bukan saja di kalangan para artis yang marak, tetapi juga di kalangan orang Kristen sendiri, perceraian menjadi persoalan yang serius. Dalam tulisan ini, saya mencoba melihat persoalan etis perceraian dari sudut pandang Paulus dalam I Korintus 7. Ada pun sebelum saya menarik sumbangsih etis dari pandangan Paulus mengenai perceraian, terlebih dahulu saya mencoba meninjau latar belakang historis dari surat I Korintus tersebut; menelusuri sumber ajaran etis Paulus; dan menggali teks I Korintus 7 terkait dengan masalah perceraian.

Latar Belakang Historis
Kota Korintus merupakan kota pelabuhan yang penting karena letaknya yang strategis. Menurut Groenen, kota ini terletak di lajur tanah yang menghubungkan antara Yunani Selatan dan Yunani Utara, oleh karena itu juga kota ini menjadi titik sambung lalu lintas bagi Yunani Selatan dan Yunani Utara. Dan hal inilah yang menyebabkan kota Korintus menjadi pusat perdagangan dan industri, bukan sebagai pusat kebudayaan seperti Athena.[1] Penduduk Korintus sangat dipengaruhi oleh agama yang mereka anut. Penduduk Korintus menyembah Dewi Venus yang adalah “Dewi Cinta” berdasarkaan hawa nafsu.[2] Peraturan di Korintus menetapkan bahwa di dalam kuil Dewi Venus harus ada seribu gadis cantik yang tetap tinggal sebagai pelacur dan beribadah kepada “Dewi Cinta” itu. Wesley menambahkan bahwa dengan adanya agama yang demikian, maka tidaklah heran jika kota Korintus disebut sebagai kota kenajisan dan “Kota Main Korintus” yang berarti kota untuk berbuat zinah. Di sisi lain, Barclay juga berpendapat[3] bahwa kota Korintus memiliki reputasi makmur di bidang perdagangan, namun juga merupakan pemeo bagi kehidupan yang jahat. Menurut Barclay, kata korinthiazesthai yang telah menjadi kosa-kata bahasa Yunani secara harfiah berarti hidup seperti orang Korintus, yaitu hidup bermabuk-mabukan dan penyelewengan yang tidak terkendali.

Paulus menulis suratnya yang pertama kepada jemaat Korintus di tengah-tengah situasi yang seperti ini. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Paulus menulis surat ini? Ada kemungkinan bahwa surat yang petama ini ditulis untuk membalas surat dari jemaat Korintus itu sendiri, misalnya dapat kita rujuk dari I Korintus 7:1.[4] Melalui suratnya, Paulus mau menjawab pergumulan-pergumulan yang jemaat hadapi. Kapan surat ini ditulis? Para penafsir mengatakan bahwa surat ini ditulis sekitar tahun 54 atau 55, namun ada juga yang mengatakan sekitar tahun 57 atau 58. Menurut Bruce,[5] kemungkinan surat I Korintus ini ditulis pada tahun 55 sebelum hari raya Pentakosta ( I Kor 16:8), ketika Paulus berada di Efesus pada tahun yang ketiga.

Sumber Ajaran Etis Paulus
Dari manakah sumber ajaran etis Paulus mengenai perceraian? Mungkin ini menjadi pertanyaan yang terlintas dalam benak pembaca. Dalam bagian ini, saya merujuk pada tiga sumber yang sekiranya dapat menjawab pertanyaan di atas.

Perjanjian Lama
Kemungkinan pertama, sumber dari ajaran Paulus mengenai perceraian dalam I Korintus 7 bisa bersumber dari Perjanjian Lama.[6] Bagian dari Perjanjian Lama yang membahas khusus mengenai hukum perceraiaan terdapat dalam Ulangan 24:1-5 (teks-teks lain dapat dirujuk, misalnya: Ul. 22:13-21; Ul. 22:28-29; Im. 21:7-14[7]). Penulis Deuteronomis yang menjadi sumber tulisan ini,[8] sangat tidak setuju dengan perceraian di kalangan umat Israel. Hukum-hukum itu dibuat untuk mencegah terjadinya perceraian. Dari sini tentunya kita dapat katakan bahwa, Paulus sebagai seorang murid dari guru besar Gamaliel (Kis. 22:3) mengetahui hukum-hukum yang tertulis dalam kitab Ulangan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah benar sumber ajaran etis Paulus mengenai perceraian ini bersumber dari Perjanjian Lama? Hal ini memang dapat dibantah, karena Paulus tidak mengutip secara langsung teks-teks dalam PL sebagaimana dilontarkan oleh Adolf von Harnack.

Menurut Holtz yang dikutif Candra Gunawan,[9] Rasul Paulus mengembangkan nasehat etisnya dari ajaran PL sebagaimana dipahami oleh Yudaisme Bait Allah Kedua (BAK). Pandangan Paulus dalam I Korintus 7:2 yang menyatakan bahwa, lebih baik menikah daripada jatuh dalam bahaya percabulan, menurut Holtz, bersumber pada pandangan Yudaisme BAK. Demikian juga dengan nasehat mengenai anjuran selibat dalan I Korintus 7:7, 26, 32 memiliki kemiripan dengan anjuran dan nesehat yang diberikan dalam komunitas Qumran.

Tradisi/Ajaran Yesus
Sumber kedua yang dapat dirujuk dari ajaran etis Paulus dalam I Korintus 7 adalah dari tradisi/ajaran Yesus.[10] Mengenai ajaran Yesus tentang perceraian yang telah dibukukan terdapat dalam Injil sinoptik,[11] yaitu Matius 5:31-32; 19:3-12, Lukas 16:18 dan Markus 10:2-12. Masing-masing bagian ini menegaskan bahwa Yesus sebenarnya menentang perceraian. Perikop Matius 19:3-12 dan Markus 10:2-12 memiliki kemiripan. Menurut Stassen,[12] kedua bagian tersebut mencatat perjumpaan Yesus dengan orang-orang Farisi di mana mereka berusaha “menguji” Dia di hadapan orang banyak. Kedua perikop tersebut berkenaan dengan isu tentang apakah perceraian sejalan dengan hukum Yahudi.

Paulus Sendiri
Sumber ketiga yang dapat saya rujuk dari ajaran etis Paulus dalam I Korintus 7 adalah hasil dari pergumulan Paulus sendiri dengan konteksnya, yaitu di jemaat Korintus. Sebagaimana disinggung pada bagian latar belakang historis, kota Korintus dikenal sebagai kota yang penuh dengan kejahatan, rawan akan perzinahan dan tindakan asusila. Hal ini menimbulkan persoalan etis di jemaat Korintus, yang mengancam hidup pernikahan jemaat tersebut. Paulus menjawab pergumulan ini melalui suratnya, terkhusus dalam I Korintus 7 yang terkait dengan isu tersebut. Barclay juga menegaskan bahwa ayat 12-16 merupakan hasil pergumulan Paulus dari persoalan yang terjadi di jemaat Korintus.

Penjelasan I Korintus 7
Isu utama dalam bagian I Korintus 7 sebenarnya bukan berbicara mengenai perceraian tetapi mengenai perkawinan. Dapat dikatakan bahwa isu perceraiaan merupakan sub-ordinasi dari isu utama, yaitu perkawinan. Sebelum saya masuk ke dalam penjelasan ayat-ayat yang terkait dengan masalah perceraian, saya akan mencoba meninjau pengertian dari istilah perceraian itu sendiri dalam konteks sekarang, kemudian menelusuri, persoalan apa yang sebenarnya digumuli oleh jemaat Korintus terkait dengan surat I Korintus pasal 7 ini.

Pengertian Perceraian
Perceraian adalah[13] putusnya hubungan pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang telah hidup bersama sebagai suami isteri. Istilah perceraian memiliki dua pengertian yang digunakan dalam keadaan yang berbeda. Pertama, adalah perceraaian dengan istilah a mensa et thoro (dari meja dan tempat tidur), lebih tepat lagi didefinisikan sebagai pemisahan. Dalam hal ini, pasangan suami isteri tersebut hidup terpisah dan berhenti untuk tinggal bersama sebagai suami isteri (pisah ranjang), tetapi masih terikat dengan perkawinan dan tidak ada kebebasan untuk menikah lagi dengan orang lain ketika pasangannya masih hidup. Keadaan seperti ini diakui oleh hukum dan diijinkan oleh tradisi Kristen di dalam pernikahan. Kedua, adalah dengan istilah a Vinculo yang berarti putusnya hubungan dari ikatan perkawinan (secara hukum/resmi). Mereka sudah tidak terikat satu dengan lainnya dan keduanya bebas menikah lagi dengan orang lain.

Masalah yang diajukaan kepada Paulus
Menurut Wesley,[14] sebenarnya ada 8 pertanyaan atau masalah yang ditanyakan jemaat Korintus kepada Paulus terkait dengan I Korintus 7 ini. Persoalan tersebut yaitu:

Salahkah jika seseorang menikah? Jawaban atas pertanyaan ini adalah “tidak” (ayat 1 dan 2).
Bolehkah seseorang yang sudah menikah menjauhi pasangannya dan tidak bersetubuh dengan dia? Jawabannya ialah “tidak” (ayat 3-5).

Bolehkah seorang janda atau seorang duda menikah lagi? Jawabannya ialah: mereka boleh menikah lagi, tetapi hanya dengan orang yang percaya kepada Tuhan Yesus. Namun Paulus berpendapat bahwa lebih baik kalau janda-janda itu tidak menikah (ayat 7-8).

Bolehkan seorang isteri Kristen menceraikan suaminya atau sebaliknya? Jawabannya ialah “tidak” (ayat 10-11).

Bolehkah perkawinan di antara seorang yang beriman dan seorang yang tidak beriman dibatalkan? Jawabannya adalah “tidak” (ayat 13-14).

Apakah peraturan umum yang berhubungan dengan masalah perkawinan ini? Jawabannya ialah: hendaklah tiap-tiap orang tetap tinggal dalam keadaannya seperti pada waktu ia dipanggil Allah (ayat 18-24).

Apakah membujang lebih baik/lebih mulia daripada menikah atau menikah lebih baik/lebih mulia daripada membujang? Jawaban atas kedua pertanyaan itu adalah “tidak” (ayat 25-35).

Apakah kewajiban seorang ayah terhadap anak gadisnya? Bolehkah ia mendorong atau memaksa anak gadisnya itu menikah atau tidak menikah? Jawaban atas kedua pertanyaan ini ialah “tidak” (ayat 36-40).

Adapun ayat-ayat khusus yang berbicara langsung mengenai isu perceraian dalam I Korintus 7 adalah sebagai berikut:

Ayat 10-11
Dalam bagian ini, Paulus menegaskan agar seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya, demikian juga suami tidak diperbolehkan menceraikan isterinya. Menurut Barclay,[15] Paulus melarang perceraian karena Yesus juga melarangnya. Jika terjadi perceraian yang semacam itu, Paulus melarang mereka untuk kawin lagi. Hal ini mungkin terlihat seperti sebuah ajaran yang keras, namun dalam konteks di Korintus, lebih baik memelihara norma-norma yang demikian sehingga kehidupan moral yang baik tetap terpelihara dalam kehidupan jemaat.
Di samping Barclay, Bruce juga menegaskan bahwa otoritas Paulus dalam ajarannya mengenai larangan perceraian ini, bersumber dari pengajaran Yesus (misalnya dapat kita rujuk dari Markus 10:2-12)[16]

Ayat 12-16
Bagian ini bekenaan dengan perkawinan di antara orang-orang beriman dan orang-orang yang tidak beriman. Bagian ini kemungkinan adalah hasil dari pergumulan Paulus,[17] karena tidak ada perintah dari Yesus yang dapat ditunjukkan oleh Paulus kepada jemaat Korintus tersebut. Latar belakang dari bagian ini adalah bahwa ada orang-orang di Korintus yang menyatakan bahwa orang beriman tidak boleh tinggal bersama orang tidak beriman; dan mereka juga berpandangan bahwa jika salah seorang dari pasangan dalam sebuah perkawinan menjadi Kristen, maka jalan satu-satunya yang harus ditempuh untuk memisahkan mereka adalah perceraian. Paulus menghadapi masalah ini dengan kebijaksanaan yang paling praktis. Ia berkata bahwa jika keduanya sepakat untuk tinggal bersama, biarkanlah mereka melakukannya; tetapi jika mereka menghendaki untuk bercerai serta didapati sesuatu yang amat memberatkan mereka jika harus tetap tinggal bersama, maka biarlah mereka melakukan perceraian itu.

Barclay berpendapat bahwa dalam bagian ini, ada dua hal penting yang disebut Paulus sebagai nilai-nilai kekal, yaitu: 1) Bahwa pasangan yang tidak beriman akan dikuduskan oleh pasangannya yang beriman. Yang menakjubkan dari kasus seperti ini adalah bahwa bukan noda dari kekafiran, melainkan anugerah kekristenanlah yang menang. 2) Bahwa hubungan ini pun mungkin merupakan cara untuk menyelamatkan jiwa pasangan yang tidak beriman. Pasangan yang tidak beriman harus dianggap, bukan sebagai sesuatu yang najis untuk dihindari dengan penolakan, melainkan sebagai jiwa yang harus dimenangkan bagi Allah.

Ayat 27-28
Pada bagian ini kelihatannnya Paulus menomorduakan perkawinan. Paulus mengijinkan perkawinan seakan-akan hanya sebagai sebuah kelonggaran untuk menghindari percabulan dan perzinahan.[18] Namun meskipun demikian, Paulus menegaskan bahwa jikalau seseorang sudah terikat oleh seorang perempuan, artinya telah memiliki isteri, ia tidak boleh menceraikannya. Hal ini juga ditegaskan oleh Bruce,[19] ia berpendapat bahwa di samping Paulus secara eksplisit melarang untuk menikah, Paulus tidak keberatan jikalau toh seandainya mereka mengabaikan nasehatnya, mereka tidak berdosa.

Ayat 39[20]
Pada bagian ini, Paulus mengemukakan pandangannya yang konsisten. Perkawinan adalah hubungan yang hanya dapat diceraikan oleh kematian. Perkawinan kedua memang diperbolehkan apabila salah satu pasangan dari mereka telah meninggal. Bruce[21] mengaitkan bagian ini dengan Roma 7:2 yang berbicara mengenai hukum perkawinan yang mengatakan, “Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu.” Kemungkinan Paulus merujuk pada nats ini, atau juga malah sebaliknya. Karena surat Roma juga di tulis sekitar tahun 55/56 M.[22]


Sumbangan Etis
Pandangan Paulus dalam I Korintus 7 khususnya mengenai perceraian, dapat dijadikan bahan acuan yang baik untuk bina pranikah di gereja-gereja dewasa.

Memberi pemahaman yang lebih humanis, terkait dengan pasangan suami isteri yang berbeda keyakinan. Mereka tidak harus bercerai, kecuali atas kesepakatan bersama.

Pernikahan adalah sesuatu yang kudus dan harus dipertanggungjawabkan kepada Allah dan sesama. Perceraian tidak seharusnya dijadikan senjata, ketika persoalan melanda kehidupan rumah tangga. Hanya maut yang dapat menceraikan manusia dari pernikahan.

Refleksi
Persoalan etis dari surat I Korintus 7 sebenarnya berkaitan erat dengan isu mengenai perkawinan. Masalah perceraian sebenarnya adalah bukan isu utama dalam bagian I Korintus pasal 7 ini. Namun demikian, bukan berarti kita tidak dapat berbicara mengenai hal tersebut. Melalui pengkajian sederhana yang saya lakukan di atas, ternyata banyak nilai-nilai etis yang dapat ditarik dari I Korintus 7 terkait dengan masalah perceraian.

Dari hasil pengkajian yang saya lakukan, saya menyimpulkan bahwa sumber dari ajaran paulus dalam I Korintus 7:1-40 bisa berasal dari tiga sumber utama, yaitu Perjanjian Lama, ajaran Yesus, dan pemikiran Paulus sendiri, yaitu hasil pergumulannya dengan konteks jemaat Korintus.

Saya juga menyimpulkan bahwa, pengkajian yang serius atas teks-teks kitab suci dapat memberi manfaat yang besar bagi kehidupan orang-orang percaya, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai etis Kristiani serta menghasilkan pesan atau kerugma yang segar dan relevan untuk kehidupan kita sekarang ini.




KEPUSTAKAAN


Barclay, William. F.F. Bruce (ed). Paul And His Converts. London: Lutterworth Press. 1962.

Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat 1 & 2 Korintus. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2009.

Brill, J. Wesley. Tafsiran Surat Korintus Pertama. Bandung: Kalam Hidup. 1998.

Bruce, F.F. The New Century Bible Commentary: I & II Corinthians. Grand Rapids: WM. B. Eermans Publ. 1992.

Cjandra, Lukas. Latar Belakang Perjanjian Baru I. Malang: SAAT. 2000.

Geisler, Norman L. Etika Kristen. Malang: SAAT. 2003.

Groenen, C. Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. 1986.

Gunawan, Candra. Diktat Etika PB: Sumber-Sumber Ajaran Etis/Moral Tulisan Rasul Paulus. Cipanas: 25 Januari, 2010.

Gushee, David P., Glen H. Stassen. Etika Kerajaan. Surabaya: Momentum. 2008.


[1] Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta:1986), 227.
[2] J. Wesley Brill, Tafsiran Surat Korintus, (Bandung:1998), 11-12.
[3] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: I & II Korintus, (Jakarta: 2009), 11-12.
[4] J. Wesley Brill, Ibid.
[5] F.F Bruce, The New Century Bible Commentary: I & II Corinthians, (Grand Rapids: 1992), 25.
[6] Lihat diktat Candra Gunawan, Etika Paulus: Sumber-Sumber Ajaran Etis/Moral Tulisan Rasul Paulus, Cipanas: 25 Januari, 2010.
[7] Glen H. Stassen, Etika Kerajaan, (Surabaya:2008), 356.
[8] Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, (Jakarta: 2004, 68.
[9] Candra Gunawan, Ibid, 12.
[10] Candra Gunawan, Ibid.
[11] Injil-injil sinoptik ditulis dengan periode waktu yang berbeda-beda. Menurut Marxsen, Markus ditulis sekitar tahun 67-69 M, Matius sekitar tahun 80an, dan Lukas ditulis sekitar tahun 90 M.
[12] Glen H. Stassen, Ibid, 350.
[13] Dr. Endang Sumiarti, Problematika Hukum Perceraian Kristen dan Katolik, (Yogyakarta:2005), 85.
[14] Wesley, Ibid, 135-136.
[15] Barclay, Ibid, 115.
[16] Bruce, Ibid, 69.
[17] Barclay, Ibid, 115-118.
[18] Barclay, Ibid, 129.
[19] Bruce, Ibid, 74.
[20] Ibid, 129-130.
[21] Bruce, Ibid, 79.
[22] Groenen, Ibid, 222.

Saturday, April 10, 2010

MENDAKWA ALLAH? Catatan Tentang Teodisea

Sebuah Tinjauan, oleh Hendi Rusli

Tulisan berjudul Mendakwa Allah? Catatan tentang Teodisea oleh Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dalam jurnal Diskursus Vol. 4, No. 3, Oktober 2005 hal 231-249, mencoba menguraikan letak masalah dalam teodisea,[1] baik dalam filsafat maupun teologi. Penulis menolak penjelasan-penjelasan yang menurutnya kurang bermutu atau kurang memadai. Dengan mengikuti pandangan Louis Leahy, penulis menguraikan bagaimana filsafat teistik (=filsafat ketuhanan) menangani adanya penderitaan dalam ciptaan Allah. Magnis juga mencoba mengembangkan jalan “klasik” filsafat teistik Josef Schmidt yang membuka sebuah perspektif baru. Berikut adalah intisarinya:

Masalah Teodisea
Magnis, menolak pandangan agama yang mengatakan bahwa manusia diizinkan Allah untuk berdosa, yang kemudian menjadi akar penderitaannya. Menurutnya, masalah mengapa Allah mengizinkan dosa adalah masalah Allah sendiri, menusia tidak perlu pusing-pusing memikirkan hal ini. Namun di sisi lain, timbul pertanyaan: Mengapa ada penderitaan? Apakah Allah tidak dapat menciptakan alam raya dan manusia tanpa penderitaan? Inilah yang menjadi persoalan teodisea. Allah yang dipandang sebagai Maha Kasih, Penyayang, adil diperhadapkan dengan kenyataan penderitaan yang begitu melimpah, menimbulkan persoalan yang serius dalam teodisea. Mengenai hal ini, Romo Magnis berpendapat, “Penderitaan menjadi masalah justru karena Yang Ilahi dipahami, bahkan, oleh mereka yang percaya kepada-Nya, dialami, sebagai kekuatan yang peduli kepada manusia, yang adil, yang berbelaskasih, yang membebaskan, yang suka mengampuni kesalahan manusia, yang menyembuhkan. Atas dasar penghayatan Allah sebagai kekuatan yang menyelamatkan dan menyembuhkan, kenyataan penderitaan menjadi semakin tidak dapat dimengerti”.

Penjelasan-Penjelasan yang Tidak Memadai
Adapun penjelasan-penjelasan yang tidak memadai menurut Magnis, dapat saya ringkaskan sebagai berikut:
- Penderitaan adalah hukuman Allah atas dosa-dosa orang yang bersangkutan.
- Melalui penderitaan, Allah mencoba mutu manusia; hanya menusia yang bertahan dalam pendertitaan, pantas untuk menerima kebahagiaan abadi di surga.
- Penderitaan menjadi tidak berarti bila dibandingkan dengan ganjaran yang akan diterima di surga kelak.
- Penderitaan memurnikan hati, jadi bernilai secara moral.
- Dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada penderitaannya lebih baik daripada yang tidak ada penderitaannya (Leibniz).
- Manusia tidak dapat mengimbangi kemahakuasaan dan hikmat Allah; karena itu ia tinggal menerima saja segala apa yang terjadi sebagai kehendak Allah dengan tak perlu bertanya, apalagi protes.

Filsafat Teistik Louis Leahy
Dalam bagian ini, Franz Magnis mendekati masalah teodisea melalui filsafat teistik dengan dua langkah yang diuraikan oleh Louis Leahy. Dalam langkah pertama Leahy sependapat dengan Leibniz, bahwa tidak mungkin Allah menciptakan dunia tanpa adanya keburukan. Dalam langkah pertama ini Leahy mau menegaskan bahwa Allah tidak dapat dikatakan menciptakan secara positif keburukan dan dosa yang dilakukan manusia, melainkan mengizinkannya berlangsung. Mengapa Allah tidak menciptakan alam semesta dengan sempurna dan tanpa penderitaan? Menurut Leahy, hal ini diakibatkan karena secara hakiki setiap makhluk terbatas, dan tidak mungkin dibentuk “makhluk sempurna”. Karena itu jika diciptakan makhluk perasa, kemungkinan penderitaan adalah hakiki. Leahy menegaskan demikian, “Semakin berkembang perasaan dan kesadaran pada makhluk-makhluk itu, semakin besar pula kemampuannya menderita. Begitu pula dengan manusia sebagai makhluk hidup, dengan sendirinya terbatas, lemah, mudah terluka dan karena kodratnya tidak luput dari keausan, ketuaan/keusangan dan kematian”. Jadi dapat disimpulkan bahwa, kemungkinan untuk menderita adalah kodrat manusia. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Allah tidak mahakuasa. Allah tidak mungkin membuat hal-hal yang pada dirinya bertentangan. Hal ini menurut Leahy tidak mengurangi kemahakuasaan-Nya, melainkan sebaliknya berakar pada konsistensi Allah dalam kemengadaan-Nya. Tidak masuk akal mengharapkan agar Allah terus menerus campur tangan untuk mencegah makhluk-Nya menderita.

Dalam langkah kedua, Leahy menunjukkan masalah yang sebenarnya dari teodisea, yaitu dalam kenyataannya penderitaan terjadi di mana-mana tanpa makna, bahkan di luar “ukuran normal”. Argument pada langkah pertama, tidak lagi mampu untuk menjawab persoalan ini. Ya benar, jika penderitaan yang terjadi pada manusia hanya dalam batas “normal”, kita dapat katakan bahwa, “tidak patut terus menerus mengharapkan Allah campur tangan”. Namun, bagaimana dengan penderitaan yang terjadi di luar “ukuran normal”? Menurut Leahy, filsafat menyerah dengan persoalan ini. Filsafat hanya mengajukan sebuah syarat bahwa, masalah penderitaan hanya dapat dipecahkan apabila kita percaya mengenai kehidupan setelah kematian.

Filsafat Teistik Josef Schmidt
Schmidt mengembangkan filsafat teistik yang sudah dikenal sebelumnya. Sebagaimana Leahy, Josef Schmidt mendekati masalah teodisea dengan dua langkah. Yang pertama, melalui filsafat dan yang berikutnya melalui teologi. Schmidt bertolak dari pertanyaan: Jika ada Allah, dari mana keburukan dan kejahatan? Tetapi jika Allah tidak ada, dari mana hal-hal baik? Dengan pertanyaan ini, sebenarnya masalah teodisea sudah selesai katanya. Ia menjawab pertanyaan pertama dengan singkat saja, “saya tidak tahu”. Ia menegaskan bahwa filsafat tidak berurusan dengan pertanyaan pertama ini. Schmidt menegaskan bahwa, kalau masalah teodisea tidak dapat dipecahkan, maka jangan mencoba memecahkannya dengan menyangkal Allah. Mengenai pertanyaan pertama ini, Magnis mengatakan bahwa baik Schmidt maupun Leahy sependapat, tidak ada jawaban untuk pertanyaan ini. Bagaimana dengan pertanyaan kedua: Kalau tidak ada Allah, dari mana kebaikan? Pertanyaan ini dapat dijawab oleh filsafat. Jika tidak ada Allah, maka tidak ada kebaikan. Lalu yang menjadi pertanyaan, di mana pemecahan masalah teodisea? Magnis berpendapat bahwa, masalah teodisea dipecahkan karena satu fakta yang tidak dapat disangkal yaitu, bahwa ada pengalaman akan kebaikan yang sungguh-sungguh. Dan dari sini, dapat diambil dua unsur argumen. Pertama, adanya kebaikan. Yang kedua, pengalaman dari kebaikan itu. Schmidt menandaskan dalam langkah pertama ini, bahwa masalah teodisea pada prinsipnya diselesaikan. ‘Pada prinsipnya’ dalam arti bahwa Yang Baik bagaimana pun dipandang sebagai kekuasaan yang memenangkan segala-galanya.

Dalam langkah kedua, Schmidt bergerak ke ranah teologi sebagai refleksi atas iman. Teologi bertolak dari keyakinan bahwa, Allah menciptakan dunia karena Ia mencintainya. Namun hal ini, malah mempertajam masalah teodisea. C.S Lewis mengatakan, “Dalam arti tertentu masalah penderitaan diciptakan, daripada dipecahkan, oleh iman Kristen…” Di sisi lain, Stendhal melihat masalah ini dari sudut kebalikkannya, “Satu-satunya alasan untuk memaafkan Allah adalah bahwa Ia tidak ada”. Schmidt berpendapat, baik Lewis maupun Stendhal tidak memecahkan masalah. Menurutnya, apabila Allah disangkal, tidak masuk akal manusia menuduh Allah. Bertitik tolak dari pandangan ini Franz Magnis mengatakan, “Iman kepada Allah yang adil dan baik menjamin kemungkinan manusia untuk berproses. Justru Karena kita percaya, bahwa Allah adalah mahakuasa dan mahabaik, kita memproteskan penderitaan…Orang yang protes kepada Allah, sekaligus sudah menerima bahwa Ia, Allah, tidak dapat kita pahami. ”

Kesimpulan Franz Magnis-Suseno
Dalam akhir tulisannya, Franz Magnis bertanya: “Apakah filsafat angkat tangan terhadap masalah teodisea?” Jawabnya adalah tidak. Menurut Magnis, filsafat membantu orang-orang percaya untuk dapat mengerti apa artinya Allah itu mahakuasa, adil dan seratus persen baik. Para filosof yang percaya pada Allah, mereka beriman dengan mancari pengertian. Dan menurutnya, filsafatlah yang membantu baik dalam perumusan pertanyaan teodisea dengan segala ketajaman, maupun mengantar ke ambang pintu di belakang, di mana dapat ditemukan jawabannya.

Tanggapan
Dalam tulisan ini, meskipun uraian Franz Magnis-Suseno banyak mengacu kepada Louis Leahy dan Josef Schmidt, namun alurnya jelas dan terarah. Menurut hemat saya, tulisan ini belum menyelesaikan persoalan teodisea. Sebagaimana judul yang diberikan, tulisan ini lebih memberi catatan-catatan untuk memperjelas persoalan teodisea. Pandangan-pandangan ahli dari Louis Leahy dan Josef Schmidt yang diacu Magnis sebenarnya kurang memadai untuk menjawab persoalan-persoalan teodisea, sekalipun tidak dapat disangkal hal ini merupakan upaya yang sangat luar biasa untuk memecahkan teodisea.

Mengapa saya katakan bahwa uraian Magnis mengenai teodisea ini kurang memadai? Karena menurut saya, Franz Magnis kurang konsisten dalam membicarakan posisi Allah dalam persoalan teodisea. Di satu sisi, Magnis tidak ingin berurusan atau berbicara tentang Allah ketika ia mencoba memecahkan masalah teodisea. Pendapat Magnis berikut ini, membenarkan hal tersebut. 1) “Masalah mengapa Allah mengizinkan dosa adalah masalah Allah sendiri, menusia tidak perlu pusing-pusing memikirkan hal ini”. 2) “Penderitaan menjadi masalah justru karena Yang Ilahi dipahami, bahkan, oleh mereka yang percaya kepada-Nya, dialami, sebagai kekuatan yang peduli kepada manusia, yang adil, yang berbelaskasih, yang membebaskan, yang suka mengampuni kesalahan manusia, yang menyembuhkan. Atas dasar penghayatan Allah sebagai kekuatan yang menyelamatkan dan menyembuhkan, kenyataan penderitaan menjadi semakin tidak dapat dimengerti”. Dalam dua argumen ini jelas, bahwa untuk memecahkan teodisea, kita seharusnya tidak perlu membicarakan tentang Allah. Karena hal ini akan menambah tajam persoalan teodisea. Namun meskipun demikian, di lain pihak Magnis justru sependapat dengan Schmidt, bahwa Allah harus tetap terlibat dan tidak dapat disangkal dalam memecahkan masalah teodisea. Hal ini dapat kita lihat dari argumentasi Magnis yang membenarkan pendapat Schmidt, “Iman kepada Allah yang adil dan baik menjamin kemungkinan manusia untuk berproses. Justru Karena kita percaya, bahwa Allah adalah mahakuasa dan mahabaik, kita memproteskan penderitaan…Orang yang protes kepada Allah, sekaligus sudah menerima bahwa Ia, Allah, tidak dapat kita pahami”. Magnis juga menegaskan, bahwa kita harus tetap beriman kepada Allah yang mahakuasa, adil dan seratus persen baik. Iman yang mencari pengertian akan mampu menyelesaikan persoalan teodisea.

Jika argumentasi Leahy, Schmidt maupun Magnis tidak memadai, bagaimanakah memecahkan persoalan teodisea ini? Sejauh mereka masih melibatkan Allah dalam teodisea, dengan dua pertanyaan yang diajukan Schmidt (1. Jika ada Allah, dari mana keburukan dan kejahatan? 2. Tetapi jika Allah tidak ada, dari mana hal-hal baik?), maka persoalan teodisea masih tetap menjadi dilema dan tidak terpecahkan. Mereka takut disebut ateis ketika mereka tidak melibatkan Allah dalam persoalan teodisea. Menurut hemat saya, kita tidak harus menjadi seorang ateis tetapi non-teisme, ketika kita tidak berbicara tentang Allah. Menjawab dua pertanyaan Schmidt di atas, sebenarnya kita tidak perlu melibatkan Allah (dalam arti berbicara tentang konsep-konsep Allah yang telah kita bentuk, seperti misalnya: pengasih, penyayang, mahakuasa, dsb). Keburukan dan hal-hal baik yang terjadi pada manusia dan alam semesta tidak harus ditafsir bahwa Allah bertanggung jawab di dalamnya. Keburukan dan hal-hal baik yang terjadi harus dipahami secara natural dan tidak terlepas dari hukum alam, yang telah Allah tetapkan. Menjadi tanggung jawab manusia, jika hal-hal yang buruk terjadi di luar “batas normal”. Manusia harus memecahkan persoalan ini dengan akal budi yang dimilikinya, tanpa harus melibatkan atau mempersalahkan Allah dengan segala atribut yang dimiliki-Nya (Pengasih, penyayang, mahakuasa, dsb).


[1] Teodisea berasal dari dua kata Yunani: theos (allah) dan dikee (keadilan). Jadi, teodise adalah doktrin tentang keadilan allah.

Saturday, January 2, 2010

FILSAFAT ITU GELISAH


Oleh: Sindhunata
(diambil dari majalah BASIS, Nomor 09-10, Tahun ke-58, September-Oktober 2009, hal. 3)

Tak ada kata berhenti bagi filsafat. Filsafat selalu mencari. Karena itu siapa berfilsafat, ia selalu resah. Tak mungkin ia menepiskan keresahan itu dari hidupnya. Tak jarang keresahan itu menuntunnya berdiri di jurang tanda tanya: benarkah yang saya pegang selama ini? Jika tidak, ia pun akan nekad terjun ke jurang tersebut, dan bergulat lagi dengan pertanyaan yang makin giris dan menggugat pegangan hidupnya selama ini.

Hal itulah yang dialami Nietzsche. Ia berpendapat, manusia ini ditandai dengan “tanda tanya”. Dan menurut dia, tanda tanya itu adalah keingingintahuan yang amat berbahaya. Didorong oleh keingintahuan itu, setelah sembuh dari sakit yang berat, Pada tahun 1886, Nietzsche bertanya, dapatkah orang menjungkirkan dan memutar semua nilai yang selama ini jadi pegangannya? Kalau ya, tidakkah yang baik itu adalah yang jahat? Dan Tuhan, hanyalah penemuan dan akal licik dari setan belaka? Adakah semua hal pada dasarnya adalah salah? Jika kita adalah pihak yang tertipu, tidakkah justru karena itu kita juga adalah pihak yang menipu? Tidakkah kita semua adalah penipu?
Selalu bertanya, dan karenanya juga siap senantiasa untuk berubah, itulah yang dilakukan oleh filsuf Polandia, Leszek Kolakowski (81), yang baru saja meninggal dunia, bulan Juli 2009 lalu. Kolakowski dilahirkan pada 1927 di kota industry, Radom. Semasa invasi Jerman di Polandia tahun 1945, Kolakowski yang waktu itu belum genap delapan belas tahun, hanya punya satu keinginan, yakni menjadi komunis. Maklum, ia anti Gestapo, yang telah membunuh ayahnya. Dan ia anti-kapitalisme, yang pada hematnya telah menyediakan tanah yang subur bagi tumbuhnya rezim otoriter Hitler. Hanya komunismelah yang bisa menentukan masa depan. Kolakowski lalu masuk dalam organisasi kepemudaan Partai Komunis. Semboyan “Perdamaian, kesamarataan, dan kebebasan” dipegangnya untuk melawan khayalan filasafat katolik dan kaum borjuis yang sedang melapuk.

Kolakowski yang muda dan cerdas itu menjadi bintang harapan para kamerad dan fungsionaris partai. Ternyata dengan tajam ia mulai mengkritisi ajaran partai dan berpendapat, marxisme harus direformasi. Lebih daripada anggota partai, Kolakowski adalah seorang filsuf. Maka wajar bila ia lebih mengutamakan akal dan pemikiran daripada doktrin partai. Ia berpendapat, adalah penghinaan terhadap akal manusia, bahwa komunisme mengidentikkan kebenaran dengan penyangga kebenaran, yakni kaum proletariat. Kolakowski menjadi makin provokatif, ketika ia mengkritik dan bersikap negatif terhadap apa saja yang dimutlakkan, termasuk absolutisme proletariat. Ia bilang, lebih baik ia mengambil posisi yang dianggap sinting daripada melalaikan kehati-hatian dan kecurigaan terhadap klaim-klaim absolutis (Thomas asssheuer, die Zeit, 23 Juli 2009).

Tahun 1966, Kolakowski memihak mahasiswa dan menentang cara-cara teror yang dilakukan komunis untuk membentuk pendapat masyarakat. Ia pun dicap revisionis dan intelektual yang nihilistis. Ia meracuni pikiran anak-anak muda, seperti yang dilakukan Sokrates. Ia terus melakukan perlawanan dengan pemikirannya yang kritis. Dan lahirlah masterpiece-nya yang mendapat reputasi internasional, yakni tiga seri tebal tentang aliran-aliran pokok dalam marxisme. Dalam karyanya ini, Kolakowski melucuti penipuan-penipuan yang dilakukan oleh ajaran marxisme yang ortodoks. Tudingnya, mereka telah mengubah dan memanipulasikan harapan-harapan manusia yang penuh dengan tanda tanya menjadi kebenaran-kebenaran yang absolut. Mereka seakan menjemput kebenaran-kebenaran itu dari tabernakel masa depan, padahal sebelumnya mereka sendiri sudah meletakkan kebenaran-kebenaran tersebut. Marxisme bermula dengan upaya peluhuran manusia, tapi berakhir dengan tragedi yang berdarah. Itulah yang terjadi dengan stalinisme, di mana manusia dinistakan dalam perbudakan dan penghambaan yang feodal, di mana kehidupan manusia dibenamkan dalam samudra pembohongan. Ramalan-ramalan marxisme ternyata berakhir dengan kebohongan. “Marx pasti tidak mengasosiasikan komunisme dengan Gulag. Tapi komuisme terlaksana sebagai Gulag, itu semuanya pasti bukan kebetulan,” kata Kolakowski.
Di mata Kolakowski, marxisme tak ubahnya seperti teologi dan pendirian pseudo-religius, yang suka bermain-main dengan imajinasi dan spekulasi masa depan. Kolakowski mengatakan, bukan keadilan tapi kebebasanlah nilai tertingggi bagi manusia. Ia menjauhi kebenaran-kebenaran marxisme yang pseudo-religius itu. Yang harus dilakukan manusia adalah menyegarkan kembali pencerahan budi, demokrasi kekuasaan, dan pembagian yang adil dari sumber daya alam yang terbatas.

Tahun 1989, komunisme benar-benar gulung tikar. Dan Francis-Fukuyama merayakan kejatuhan itu sebagai akhir sejarah, di mana satu-satunya yang bakal berjaya meraja adalah kapitalisme dan demokrasi. Kolakowski tidak ikut di dalam perayaan tersebut. Baginya, kapitalisme Barat tetaplah dihidupi oleh kepalsuan, di mana berkuasa setan-setan lama, yang menggoda manusia untuk mendewakan dirinya sendiri tanpa batas. Dalam kapitalisme, manusia tidak hidup dalam kebebasannya. Sementara derajat dan kemampuan akal manusia sudah diturunkan menjadi alat untuk mengejar kepentingan dirinya. Kata Kolakowski, sekarang kita tidak takut lagi akan komunisme tapi akan serba ketidakpastian, karena kita telah menggerogoti dasar-dasar terdalam hidup kita, di mana seharusnya dibangun kepercayaan akan kehidupan. Kepercayaan itu hilang. Gantinya adalah ketakutan yang serba tidak jelas dan menentu.

Kolakowski juga mengkritik pemikiran liberal yang merebak dalam kapitalisme. Pemikiran liberal yakin, bahwa yang jahat bisa ditiadakan begitu saja. Menurut Kolakowski, itu mustahil sebab yang jahat itu masuk lewat celah dunia, yang tidak kita ketahui tapi harus kita waspadai. Pendeknya, kita harus bisa hidup dalam konflik di antara yang baik dan yang jahat. Konflik itu membuat kita berani menerima perbedaan dan ketidakcocokan. Itulah dasar toleransi, yang akan membuat kita memeluk kebaikan tanpa kecurigaan, menjadi berani tanpa fanatisme, hidup dengan kecerdasan tanpa keraguan, serta memupuk harapan tanpa selimut khayalan.
Begitulah Kolakowski, filsuf yang terus gelisah sampai akhir hayatnya. Memang, kegelisahan yang terus bertanya adalah ciri khas filsafat.