Labels

Hendi Rusli's Blog Founded on October, 2008

Friday, March 13, 2015

Tiga Sikap terhadap Pluralitas Agama

Negara kita (Indonesia) adalah negara yang plural, terdiri dari banyak suku bangsa, bahasa, agama, ras dlsb. Hidup bersama sebagai warga negara Indonesia, tidak terhindarkan akan bersentuhan dengan pluralitas tersebut. Di sisi lain, pandangan seseorang terhadap pluralitas sangat menentukan bagaimana ia memperlakukan sesamanya dalam kehidupan bersama di negeri kita ini. Misalnya saja terhadap pluralitas agama, jika seseorang berpandangan bahwa pluralitas agama sebagai pemberian Tuhan yang memperkaya khazanah religius di negara kita, maka ia akan menghargai dan menghormati orang lain yang berbeda keyakinan dan tradisi religius dengannya.


Pandangan atau sikap yang dimiliki seorang penganut agama memang akan sangat menentukan bagaimana ia memperlakukan sesamanya yang berbeda keyakinan dengannya. Dalam uraian berikut akan ditinjau beberapa sikap (posisi) yang biasanya dimiliki oleh umat beragama. Ada pun pendekatan dalam diskursus ini diambil dari sudut pandang kekristenan.               


Eksklusif
Penganut agama yang mengambil sikap ini, siapa pun mereka akan menganggap bahwa agamanya adalah yang paling benar dan paling sempurna. Sikap ini kelihatannya banyak dipegang oleh kebanyakan orang beragama di Indonesia. Biasanya sikap ini diwakili oleh kaum konservatif fundamental,[1] yang seringkali menutup diri dari agama-agama lain dan menghindari dialog (dapat dikatakan anti-dialog – jika mereka mau berdialog, tujuannya hanya untuk menobatkan orang). Mereka mendasarkan sikapnya atas tafsiran mereka pada kitab suci yang mereka yakini diilhami Allah dan mengandung kebenaran sejati yang hanya dinyatakan kepada agama mereka, bukan kepada agama-agama lain. Dalam kekristenan, sikap eksklusif menempatkan Kristus sebagai jalan satu-satunya keselamatan, yang mengambil dasar biblika dari dua teks Alkitab berikut:[2]

"Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yoh. 14:6)
“Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." (Kis. 4:12)

Dua kutipan Alkitab ini menjadi dasar sikap eksklusif Kristen Katolik sebelum diadakannya Konsili Vatikan II (1962-1965). Mereka beranggapan bahwa di luar Gereja Katolik tidak ada keselamatan dan pengampunan dosa. Dalam keputusan Paus Bonifacius VIII pada abad pertengahan, dinyatakan demikian: “Kita wajib oleh iman untuk percaya dan menerima bahwa ada satu Gereja kerasulan dan Katolik yang suci; kita sungguh-sungguh mempercayainya dan mengakuinya tanpa keraguan; di luar itu tidak ada keselamatan maupun pengampunan dosa… “[3]

Kemudian dalam Konsili Florence dinyatakan bahwa “tidak ada seorangpun yang berada di luar gereja Katolik, bukan hanya orang penyembah berhala tetapi juga orang Yahudi, ahli bid’ah atau yang memisahkan diri, dapat menjadi bagian di dalam kehidupan abadi tetapi mereka akan pergi ke dalam api kekal yang disiapkan untuk setan dan para pengikutnya…”[4] Ungkapan keeksklusifan Katolik tradisional ini jelas mau menyatakan bahwa, hanya ada satu agama yang benar yaitu Gereja Katolik. Inti keeksklusifan ini dikemudian menjadi fondasi bagi kaum Protestan yang didukung oleh tokoh-tokoh seperti Karl Barth dan Hendrik Kraemer. Sikap mereka terhadap agama non-Kristen dapat dikatakan sebagai ‘the radical discontinuity type’.[5] Untuk menunjukkan diskotinuitas antara agama Kristen dan agama non-Kristen, Kraemer memakai pandangan Paulus mengenai iman dan perbuatan. Barth berpendapat bahwa semua agama sebenarnya tidak memiliki kebenaran, agama memiliki kebenaran hanya jika terhubung dengan penyataan Allah di dalam Yesus Kristus.[6] Menurutnya, kekristenan pun sebenarnya tidak berbeda dengan agama-agama lain jika anugerah Allah melalui Yesus tidak dinyatakan di dalamnya. Kekristenan menjadi agama yang benar karena Allah yang menghendakinya. Sementara Kraemer dalam sikap eksklusifnya berpandangan bahwa di luar Kristus tidak ada keselamatan.[7] Ia memandang negatif agama-agama lain, namun ia mengakui bahwa di dalam agama-agama terdapat “benih ilahi” yang berasal dari Allah. Ia menyatakan bahwa telah terjadi diskontinuitas antara agama Kristen dan agama-agama lain. Melalui pendekatan realisme alkitabiah, ia merumuskan teologi misiologisnya bahwa seluruh pertanyaan esensial dari semua agama harus dijawab oleh penyataan Allah di dalam Yesus.[8]         

Di pihak lain Panikkar berpendapat,[9] bahwa tuntutan kebenaran dari suatu agama biasanya memiliki ikatan langsung dengan tuntutan ekslusivitas, yang berarti bahwa jika suatu pernyataan dinyatakan benar, maka pernyataan lain yang berlawanan tidak dapat dinyatakan benar. Misalnya, jika agama Islam menyatakan sebagai agama yang benar, maka kebenaran yang ada di dalam agama lain tidak dapat digolongan sebagai “kebenaran”. Panikkar mengemukakan bahwa sikap ini menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam dialog antar-agama, yaitu membawa peserta dialog dalam bahaya akan sikap intoleransi, kesombongan dan penghinaan bagi yang lain.   


Inklusif
Sikap Inklusif lebih terbuka terhadap agama-agama lain dibanding dengan sikap eksklusif. Pandangan inklusivisme beranggapan bahwa semua agama memang memiliki kebenaran tetapi kebenaran itu bersumber dari agama yang satu. Agama yang satu inilah yang memancarkan dan memberikan kebenaran kepada agama-agama yang lain. Dalam inklusivisme keunikan dari suatu agama masih dijaga dan dipertahankan. Misalnya, seorang Kristen inklusivis akan terbuka dengan pandangan kebenaran agama-agama lain, namun ia tetap yakin bahwa sumber dari kebenaran itu ada di dalam Kristus, mereka pada akhirnya akan menuju pada kebenaran Kristus yang ada di dalam kekristenan. Dalam kalangan Islam, almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) mewakili posisi ini. Ia berpandangan bahwa di dalam agama-agama non-Islam, mereka memang memiliki kebenaran sendiri, namun kebenaran itu tidak lepas dari kebenaran yang ada di dalam Islam. Sekalipun bagi kaum inklusivis kebenaran sejati hanya ada di dalam agamanya yang mengatur posisi agama-agama lain, mereka biasanya lebih terbuka terhadap dialog.

Dalam teologi religionum para ahli sependapat bahwa Kart Rahner adalah orang yang mewakili posisi ini.[10] Rahner sebagaimana dikutip oleh John Hick mengatakan demikian, “Kristen sama sekali tidak menganggap anggota agama di luar Kristen semata-mata sebagai non-Kristen tetapi sebagai seseorang yang dapat dan harus dipertimbangkan dari berbagai segi sebagai seorang “Kristen anonim”…”[11] (Theological Investigations, Vol. 5, 1996, hal. 131). Dalam pandangannya terhadap agama-agama lain, Rahner menekankan rakhmat ilahi yang universal yang menjangkau agama-agama lain, sehingga mereka juga mendapat bagian dalam keselamatan yang telah dikerjakan Kristus di dalam kekristenan. Menurut Howard,[12] Rahner membentuk pendiriannya di dalam empat pernyataan berikut: 1) Agama Kristen memahami dirinya sebagai agama mutlak yang ditujukan untuk semua orang dan oleh karena itu tidak dapat mengakui agama lain sama dengan dirinya; 2) hingga saat Injil memasuki situasi sejarah seorang individu, sebuah agama bukan Kristen dapat mengisi individu yang bersangkutan tidak saja dengan pengetahuan alami mengenai Allah tetapi juga dengan unsur-unsur rahmat yang adiduniawi (pemberian sukarela Allah melalui Kristus); 3) oleh karena itu agama Kristen tidak selalu menghadapi agama lain sebagai bukan-Kristen belaka, melainkan sebagai orang Kristen anonim; dan 4) gereja tidak akan terlalu menganggap dirinya sebagai komunitas eksklusif orang-orang yang memiliki keselamatan, tetapi lebih sebagai barisan depan sejarah dan ungkapan yang tersurat dari harapan Kristen yang hadir sebagai realitas yang tersembunyi dalam agama-agama lain.

Dari pernyataan Rahner di atas, ia tetap memberi keunikan pada kekristenan, ia juga bahkan mematahkan sikap eksklusif orang-orang Kristen. Pandangan Rahner memang memberi pengaruh kepada komunitas Kristen eksklusif dan membuka jalan bagi dialog antar-agama. Bahkan sikap ini didukung dalam Konsili Vatikan II, yang mengakui adanya unsur-unsur kebenaran di dalam agama-agama lain.[13] Sehingga dengan demikian posisi Rahner semakin mendapat dukungan yang kuat. Di pihak lain, Panikkar[14] menyoroti bahwa sikap inklusif ini pun membawa kesulitan dalam dialog antar-agama, yaitu sikap ini dapat menimbulkan bahaya kesombongan, karena hanya agama kitalah yang memiliki hak istimewa untuk menerima penyataan Allah dan keselamatan kekal; selain itu kita juga yang menentukan bagi agama-agama lain, posisi kebenaran yang bagaimana yang harus mereka ambil. Kita toleran menurut pandangan kita sendiri, namun tidak menurut pandangan agama lain yang juga menuntut hak istimewa seperti kita untuk berada di puncak.                        

Pluralis
Berbeda dengan sikap inklusif yang masih mempertahankan keunikan agamanya, bagi seorang pluralis, keunikan tersebut sama sekali larut karena memandang semua agama setara – memiliki kebenarannya masing-masing. Dalam artian bahwa segala sesuatu sahih dan benar pada tempat dan situasinya.[15] Seorang penganut agama Kristen yang mengambil posisi inklusif akan tetap mempertahankan keunikan di tengah sikap toleransinya bahwa, keselamatan hanya karena anugerah Allah melalui Yesus Kristus. Sedangkan seorang Kristen yang pluralis akan menganggap semua agama unik, memiliki cara sendiri-sendiri dalam mencapai keselamatan sehingga bukan hanya kekristenan yang istimewa, tetapi semua agama memiliki keistimewaannya sendiri. Dalam konteks Islam di Indonesia almarhum Abdurahman Wahid atau Gus Dur adalah penganut paradigma ini, bahkan ketika ia meninggal, mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono memberi gelar sebagai Bapak Pluralisme Indonesia.

Beberapa pakar berpendapat bahwa di dalam pluralisme, kebenaran kerap kali bersifat relatif dan memiliki keabsahannya sendiri, tergantung pada pihak yang mengklaim kebenaran tersebut. Sehingga pluralisme seringkali dikonotasikan dengan relativisme.[16] Meskipun beberapa pakar lainnya seperti Knitter dan Granakan memisahkannya secara berbeda (Joas Adiprasetya, 2002: 74). Di sisi lain, ada juga pakar yang memandang bahwa Pluralism is an open model. Yaitu model yang mau saling mengenal, merangkul, memberi, bertumbuh bersama untuk memperoleh sebuah model bersama – dalam pluralisme, singularitas dan pluralitas saling memperkuat (Ioanes Rakhmat, Diskusi Milis Jaringan Islam Liberal, 2008). Pendekatan yang dilakukan pihak Kristen dalam pluralisme biasanya menggunakan pendekatan teosentris[17] bukan menggunakan pendekatan kristosentris atau ekklesiosentris yang pada umumnya digunakan dalam eksklusivisme dan inklusivisme.    

Teolog Kristen yang dapat mewakili posisi ini dan paling dikenal adalah John Hick. Di samping John Hick ada banyak teolog-teolog lain yang dapat digolongkan dalam paradigma ini, dan mereka mengungkapkan sikap ini secara berbeda-beda, sebagaimana yang dikemukakan oleh Siburian:[18] “semua agama sama benarnya” (Hans Kung) atau “setiap agama memiliki keabsahannya sendiri untuk keselamatan” (Granakan), atau “semua agama adalah banyak jalan menuju pusat” (Knitter). Dari semua teolog ini, dapat dikatakan  bahwa John Hick adalah yang paling menonjol dan radikal. Bagi John Hick Kristus dan agama Kristen tidak dapat menyelamatkan agama-agama lain sebagaimana dipahami di dalam inklusivisme. Bukan Kristus yang menjadi pusat bagi agama-agama lain, tetapi Allah. John Hick menegaskan bahwa semua agama dapat datang kepada Allah tanpa melalui agama Kristen atau  Kristus. Setiap agama memiliki keabsahannya masing-masing atas keselamatan dan wahyu Allah yang dimilikinya sendiri tanpa harus bertitik tolak kepada Kristus. Pandangan Hick yang menyatakan bahwa Allah sebagai pusat dari agama-agama didasarkan pada Revolusi Copernikus. Menurutnya,[19] pandangan tradisional dari teologi Ptolomeus yang menyatakan bahwa bumi sebagai pusat tata surya harus segera ditinggalkan karena tidak mengandung kebenaran. Revolusi Copernikus yang mengubah pandangan tradisional secara radikal, bahwa bukan bumi yang menjadi pusat tata surya tetapi matahari, seharusnya menjadi paradigma kita dalam teologi agama-agama. Revolusi ini menurut Hick, harus mentransformasi suatu perubahan dogma Kristen dari pemikiran bahwa agama Kristen yang berada di pusat kepada pemikiran Allah yang menjadi pusat agama-agama. Dengan demikian setiap agama berputar mengelilingi poros yang memberi cahaya itu, yaitu Allah.       

Bagi Panikkar[20] pluralisme pun memiliki kelemahan-kelemahan. Sikap ini kelihatannya mengandaikan kecukupan diri dari setiap tradisi dan menyangkal adanya kebutuhan untuk berjalan di luar tembok-tembok dari suatu tradisi tertentu dari manusia. Karena menekankan keunikan masing-masing, sikap ini memecah keluarga manusia ke dalam bagian-bagian yang terpisah, membuat bentuk pertobatan apa pun menjadi suatu pengkhianatan terhadap adanya orang itu sendiri. Sikap ini mengijinkan pertumbuhan tetapi tidak mengijinkan mutasi. Namun di sisi lain, Panikkar menyoroti bahwa sikap ini menjanjikan banyak kemungkinan untuk hipotesis awal, akan pengharapan bahwa kita pada akhirnya akan berjumpa meskipun saat ini masih harus menanggung perbedaan-perbedaan yang ada. 




[1] Paul Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, terj. Nico A. Likumahuwa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 37.
[2] Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 50.
[3] John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, terj. Amin Ma’ruf & Taufik Aminuddin (Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2006), 24.
[4] Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, 24.
[5] Kadarmanto Hardjowasito, “The Problem of Religious Pluralism”, A Man for All Seasons, ed. Margriet Gosker (Michigan USA: Grand Rapid, 2010), 56.
[6] Joas, Mencari Dasar Bersama, 53.
[7] Togardo Siburian, Kerangka Teologi Religionum Misioner (Bandung: STT Bandung, 2004), 58.
[8] Joas, Mencari Dasar Bersama, 59.
[9] Raimundo Pannikar, Dialog Intra Religius, ed.  A. Sudiarja (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 18-20.
[10] Siburian, Kerangka Teologi Religionum Misioner, 69.
[11] Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, 30.
[12] Howard, Pluralisme: Tantangan bagi Agama-Agama, 104.
[13] A. A. Yewangoe, Agama-Agama dan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 76.  
[14] Panikkar, Dialog Intra Religius, 21-22.
[15] Silvester Kanisius, Allah dan Pluralisme Religius (Jakarta: Obor, 2006), 161.
[16] Keterkaitan antara pluralisme dan relativisme dapat ditelusuri dari pemikiran Ernst Troeltsch melalui refleksi teologisnya yang ingin mendamaikan antara relativisme historis dan absolutisme religius. Benar bahwa Allah itu transenden dan tidak dapat dibandingkan dengan sesuatu yang terbatas, namun Allah yang transenden itu juga hadir dan dapat dijumpai dalam kenyataan imanen dalam konteks sejarah manusia, yang dapat mengalami sesuatu dan hidup dalam suatu proses sejarah tertentu yang temporal dan spasial. Dan melalui agama yang dalam proses tertentu inilah kehadiran Allah secara imanen dapat dialami. Dengan demikian bagi Troeltsch, agama sebagai bentuk dari manifestasi dari Yang Absolut tidak bisa menjadi absolut karena keterikatan historisnya (sehingga bersifat relatif). Lihat Joas, Mencari Dasar Bersama, 74-75.       
[17] Premis dasar pendekatan teosentris yang dikerjakan kaum pluralis terletak pada kehendak universal Allah untuk menyelamatkan seluruh manusia. 
[18] Siburian, Kerangka Teologi Religionum Misioner, 69.
[19] Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, 32-37.
[20] Panikkar, Dialog Intra Religius, 23-24.

Monday, April 2, 2012

Perjanjian Lama dan Universalitas Allah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, universal dapat diartikan sebagai sesuatu yang bersifat umum, berlaku bagi semua orang atau untuk seluruh dunia. Terkait dengan teologi, menurut Browning,[i] universalisme merupakan kepercayaan bahwa semua manusia pada akhirnya akan mendapat bagian dalam keselamatan yang adalah anugerah Allah. Dalam Alkitab sebenarnya banyak bagian-bagian yang berbicara mengenai sifat universal Allah kepada semua umat manusia. Meskipun memang pada bagian-bagian lain terdapat juga nada-nada eksklusif yang menunjukkan superioritas umat Allah.

Dalam kisah Kejadian 12 khususnya ayat 1-3, terlihat unsur universal Allah atas bangsa-bangsa lain di seluruh muka bumi. Jika diamati sepintas bagian ini memang terlihat sangat bersifat partikular. Allah mengikat perjanjian dengan Abraham sebagai seorang pribadi – bukan dengan sekelompok komunitas, seperti keluarga, suku atau bangsa. Tetapi, melalui Abraham inilah Allah akan mencurahkan berkatnya atas bangsa-bangsa di seluruh muka bumi dan memulai sejarah bagi seluruh bangsa di bumi. Menurut Lempp,[ii] dalam sejarahnya terkadang bangsa Israel salah memahami tentang panggilan Allah kepada Abraham (Ul. 7:6-8, Amos. 3:2). Dan bahkan gereja Kristen memalsukan dan memutarbalikkan panggilan Allah itu hanya kepada gereja yang sifatnya egois dan partikular. Perjanjian Lama sendiri sebenarnya tidak pernah memaksudkannya demikian. Dalam Kejadian 12:3 jelas dikatakan bahwa pemilihan dan pengistimewaan Abraham diadakan sebenarnya untuk menyatakan kasih universal Allah kepada semua bangsa di muka bumi: “dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat”. Dari sini dapat ditafsirkan bahwa Abraham hanya sebagai alat yang dipakai Tuhan untuk menandakan keselamatan yang dari Allah itu di hadapan segala bangsa.

Di sisi lain, kita juga dapat melihat bahwa melalui seruan para nabi tercermin keselamatan universal yang ditujukan untuk semua bangsa. Misalnya, doa raja Salomo[iii] ketika ia memohon kepada Tuhan apabila ada bangsa lain datang beribadah dalam Bait Allah yang didirikannya. Dalam 2 Tawarikh 6:32-33 dicatat demikian, “Juga apabila seorang asing, yang tidak termasuk umat-Mu Israel, datang dari negeri jauh oleh karena nama-Mu yang besar, tangan-Mu yang kuat dan lengan-Mu yang teracung, dan ia datang berdoa di rumah ini, maka Engkau pun kiranya mendengar dari sorga, dari tempat kediaman-Mu yang tetap, dan kiranya Engkau bertindak sesuai dengan segala yang diserukan kepada-Mu oleh orang asing itu, supaya segala bangsa di bumi mengenal nama-Mu, sehingga mereka takut akan Engkau sama seperti umat-Mu Israel, dan sehingga mereka tahu, bahwa nama-Mu telah diserukan atas rumah yang telah kudirikan ini.” Orang asing yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang di luar bangsa Israel, bukan keturunan Yahudi, dan mereka bukan beragama Yahudi tentunya, namun menyembah satu Allah yang juga disembah oleh orang Yahudi. Mereka tetap dapat datang kepada Allah yang diimani oleh umat Israel. Ini menunjukkan bahwa Allah yang disembah Salomo adalah Allah universal yang dapat dihampiri oleh siapa pun, yang juga memberi berkat kepada semua bangsa.
Pernyataan universal dari Perjanjian Lama dapat juga kita lihat dari kisah Rut. Ia adalah seorang bangsa asing dari Moab yang percaya kepada Tuhan, yang kemudian diterima oleh bangsa Israel bahkan menjadi nenek moyang raja Daud (Rut 4:18-22) dan Yesus (Mat. 1:1-17). Kitab Rut yang menurut Blommendaal ditulis setelah zaman pembuangan bermaksud untuk memprotes sikap eksklusif bangsa Israel yang pada waktu itu memang dipengaruhi oleh maraknya sinkretisme pada zaman Ezra-Nehemia (465-424 sM). Pada periode ini bangsa Israel mengambil keputusan bahwa orang-orang Israel tidak boleh bercampur dengan bangsa-bangsa asing, bahkan isteri-isteri dari bangsa lain diusir (bdk. Ezra 10:1-4).[iv]

Selain kitab Rut, kitab Yunus juga memberi indikasi sifat universal kasih Allah kepada bangsa-bangsa lain, serta memiliki maksud yang sama dengan kitab Rut yaitu melawan partikularisme di Yehuda pada abad 5 sM.[v] Meskipun beberapa ahli seperti Kramer[vi] misalnya, mengatakan bahwa tema besar dari kitab Yunus bukanlah mengenai universalime melainkan lebih kepada hubungan antara Allah dan nabi Yunus. Namun, dalam kitab Yunus tersirat unsur-unsur universal dari tindakan dan kasih Allah kepada bangsa Niniwe. Dalam kisah ini sangat jelas bahwa tindakan Allah dalam Yunus 3:10 menunjukkan belas kasihan dan keuniversalan kasih-Nya untuk menyelamatkan. Dari kisah ini ditekankan bahwa kasih Allah tidak terbatas hanya kepada umat Israel saja. Yunus yang tidak mau menjalani perintah Tuhan, dengan ia melarikan diri ke Tarsis (Yun. 1:3) justru membatasi kasih Allah yang universal. Mungkin juga dapat dikatakan bahwa Yunus mewakili sikap ekslusif partikular bangsa Israel. Allah ternyata tidak demikian, Allah menyatakan keselamatan kepada bangsa Niniwe bahkan menyelamatkan awak kapal dan para penumpang yang ada di kapal yang dinaiki Yunus (Yun. 1:14-16). Allah Yahwe yang dikenal oleh umat Israel adalah juga Allah bagi bangsa-bangsa lain, sebagaimana dikatakan dalam Yunus 1:14 bahwa awak kapal dan orang-orang di dalamnya berseru: “Lalu berserulah mereka kepada TUHAN, katanya: "Ya TUHAN, janganlah kiranya Engkau biarkan kami binasa karena nyawa orang ini dan janganlah Engkau tanggungkan kepada kami darah orang yang tidak bersalah, sebab Engkau, TUHAN, telah berbuat seperti yang Kaukehendaki."


[i] Browning, Kamus Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 470.
[ii] Walter Lempp, Kitab Kejadian 5:1-12:3 (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2009.
[iii] Elisa B. Surbakti, Benarkah Yesus Juruselamat Universal? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 12.
[iv] Jan van Twist, Pahit Menjadi Manis: Suatu Eksegese Kitab Rut (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 64-65.
[v] Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama, terj. Naipospos (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 132.
[vi] A. Th. Kramer, Kitab Yunus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 8-9.

Sunday, August 28, 2011

FENOMENA HIPNOSIS

Fenomena hipnosis (dalam bahasa Inggris hypnosis, tapi sering diterjemahkan “hipnotis”) yang sekarang sedang marak, memang mengundang perhatian banyak orang. Sebagian orang menganggap hipnosis seperti ilmu gaib atau terkait dengan hal yang supra-natural. Namun sebenarnya hipnosis dapat dipahami secara sains dan dijelaskan secara ilmiah. Karena itu belakangan ini banyak beredar buku-buku tentang teori hipnosis. Misalnya saja buku karangan Willy Wong dan Andri Hakim yang menjadi best seller berjudul “Dahsyatnya Hipnosis”. Menurut pengarang buku ini, hipnosis dapat diartikan sebagai sebuah kondisi relaks, fokus atau konsentrasi. Kondisi ini sebenarnya merupakan kondisi pikiran alamiah yang dapat kita alami sehari-hari. Misalnya saja ketika kita mendengarkan musik dan terlarut di dalam alunannya, kita berada dalam kondisi hipnosis. Atau ketika kita berdoa, kita terkonsentrasi dan terfokus kepada kata-kata yang kita ucapkan, kita melupakan keadaan di sekitar kita.
Kondisi di atas sebenarnya sama ketika kita menonton seorang pemuda di TV yang sedang dihipnosis dalam acara Uya Emang Kuya. Perbedaannya, dalam acara tersebut si pemuda dipandu oleh Uya sang ahli hipnosis yang dengan sengaja menghipnosis si pemuda.
Mungkin yang menjadi pertanyaan dibenak kita, apakah semua orang dapat dihipnosis? Ya, semua orang dapat dihipnosis tetapi ada syaratnya, orang tersebut mau dan setuju untuk dihipnosis. Dan apakah semua orang dapat menjadi pemandu hipnosis ? Ya, sebenarnya semua orang dapat menjadi pemandu hipnosis dan bahkan menjadi seorang ahli hipnosis. Syaratnya, mereka hanya perlu memahami teori hipnosis, belajar trik menghipnosis, dan memraktikkannya. Mereka tidak perlu mandi air kembang atau bertapa di Gunung Kawi untuk menjadi seorang ahli hipnosis.
Jika pembaca penasaran dan ingin mendalami teori hipnosis, Anda dapat membaca buku yang saya singgung di atas. Semoga tulisan saya bermanfaat.

Friday, January 7, 2011

BACKGROUND OF HEGEL

Tulisan berikut ini adalah tulisan kedua saya mengenai Hegel. Dalam bagian ini saya mencoba meninjau latar belakang dari Hegel.

Latar belakang pemikiran Hegel sangat terkait erat dengan Revolusi Perancis. Menurut Herbert Marcuse,[1] Hegel menulis filsafat secara umum sebagai respon atas tantangan Revolusi Perancis yang ingin menata kembali negara dan masyarakat di atas dasar rasional, dengan harapan bahwa institusi sosial dan politik dapat berjalan dengan kebebasan dan kepentingan individu. Revolusi Perancis tidak hanya menghapuskan absolutisme feodal, tetapi juga membebaskan individu untuk menjadi mandiri dan tidak tergantung lagi pada orang lain atau faktor luar yang mempengaruhinya. Kebebasan itu menyebabkan eksistensi manusia dengan segala pergumulannya, baik kesenangannya, cara kerja, dan semua yang dilakukannya tidak lagi bergantung pada otoritas-otoritas dari luar yang selama ini membatasi kebebasannya, tetapi kini digantikan oleh aktifitas rasionalnya sendiri yang merdeka.

Hegel memandang bahwa Revolusi Perancis memainkan peranan penting dalam manusia menggunakan nalarnya, serta berani menundukkan realitas menurut standar yang rasional.[2] Hegel menghubungkan konsep rasionya (intelek/nalar) dengan Revolusi Perancis, bahwa “tidak ada yang bisa dianggap sah dalam konstitusi kecuali ia dinilai benar oleh rasio”.[3] Rasio bagi Hegel adalah sebagai tolok ukur yang menentukan suatu peraturan dapat dipakai atau tidak, atau dengan perkataan lain suatu peraturan akan sah bila masuk akal atau rasional.
Hegel kemudian berbicara mengenai “kesadaran universal” dan “Roh Absolut”. Thomas Hidya Tjaya[4] memaparkan dua alasan mengapa Hegel berbicara hal ini. Pertama, di Eropa pada abad ke-19 sedang berkembang orientasi budaya yang baru, yaitu aliran romantik (romanticism) yang menekankan pembebasan emosi manusia dan ungkapan bebas kepribadian dalam karya-karya artistik. Gerakan ini (lihat footnote 61) merupakan kritik atas zaman rasionalisme pencerahan yang mengagung-agungkan peranan akal budi. Alasan kedua, pada periode yang hampir bersamaan, Eropa mengalami perang dan pergolakan. Di antaranya adalah Revolusi Inggris (1688) yang mengikis habis hak-hak ilahi para raja. Kemudian Revolusi Perancis (1789-1799) yang menghancurkan kekuasaan monarki yang selama ini didukung dan dilanggengkan oleh pihak gereja. Hegel mengalami pergolakan ini, namun ia memandangnya sebagai kelahiran dunia baru, yaitu realisasi dari apa yang ia sebut sebagai “Roh”,[5] yang bertujuan menyempurnakan umat manusia melalui kebebasan yang diperoleh dari perang yang terjadi di mana-mana. Perjuangan demi kebebasan bagi Hegel adalah bentuk kesadaran manusia yang baru, yang akan terjadi pada semua orang (bersifat universal) sebagai manifestasi diri dari “Roh”. Dan gerak “Roh” inilah yang kemudian akan menjadi tema utama dalam sistem filsafat Hegel.

Meskipun Hegel hidup di era romantisisme sebagaimana disinggung di atas, filsafat Hegel tidak bercorak romantik. Filsafat Hegel lebih kental dengan warna idealisme,[6] di mana pemikirannya dipengaruhi oleh filsuf-filsuf Jerman yang lebih dulu bergulat di dunia filsafat. Salah satu tokoh yang sangat mempengaruhi idealisme Jerman adalah Immanuel Kant. Dalam uraian Hamersma[7] Kant mencoba mendamaikan antara empirisme (yang bertolak dari pengalaman indera) dengan rasionalisme (yang bertolak dari akal budi). Ia menekankan bahwa pengetahuan selalu merupakan “kerja sama” antara kedua unsur ini – indera dan akal budi, dan pengetahuan selalu merupakan sebuah sintesis. Hamersma mengutarakan bahwa Kant yang mempersatukan rasionalisme dan empirisme dalam suatu sintesis merupakan titik pangkal suatu periode baru, yaitu zaman idealisme (khususnya di Jerman). Menurut Kant,[8] pengalaman kita mengenai dunia ditentukan oleh struktur akal-budi. Kant membedakan antara “dunia-penampakan” (fenomena) dengan “dunia-pada-dirinya-sendiri” (noumena). Misalnya, jika kita memakai kaca mata merah, maka semua yang nampak (fenomena) akan berwarna merah, meskipun apa yang kita lihat belum tentu berwarna merah (noumena). Menurut Kant, “dunia-pada-dirinya-sendiri” tidak dapat diketahui oleh manusia. Dalam idealisme setelah Kant (poskantian), yang dibangun oleh Fichte, Schelling dan kemudian Hegel, konsep tentang adanya “dunia-pada-dirinya-sendiri” ditolak. Mereka, khususnya Hegel telah mengembangkan filsafat yang berpusat pada dunia kesadaran, yaitu kesadaran universal yang bekerja di alam dan dalam kesadaran manusia.[9] Dalam pandangan idealisme Hegel, apa pun yang nyata pasti dapat diketahui.[10]

Tokoh berikutnya yang cukup mempengaruhi Hegel adalah Fichte dan Schelling. Menurut pandangan Fichte,[11] dalam filsafat ada dua “jalan raya”, yaitu jalan idealisme dan jalan materialisme. Idealisme beranggapan bahwa objek-objek diberi “bentuk” oleh “subjek” (akal - manusia). Sedangkan materialisme sebaliknya, benda atau objek-objek yang memberi “bentuk” kepada akal melalui pengamatan. Dari antara kedua jalan tersebut, Fichte memilih jalan idealisme, yaitu Idealisme Subjektif. Ia juga mengkritik Kant, yang mengatakan bahwa benda-benda pada dirinya sendiri (das Ding an sich) berdiri lepas dari subjek. Fichte menekankan, sebagaimana dikemukakan Hamersma,[12] benda-benda (alam) atau objek tidak dapat berdiri sendiri lepas dari subjek, karena subjeklah yang benar-benar “menciptakan” objek atau benda-benda tersebut (das Ding fuer mich).

Schelling adalah orang ketiga yang cukup memberi pengaruh kepada pemikiran Hegel. Schelling mengajarkan Idealisme Objektif. Menurut Magee,[13] Schelling dalam karyanya Philosophy of Nature, mengambil pandangan yang bertentangan dengan Fichte: bukan alam atau benda-benda yang merupakan ciptaan aku (subjek-pikiran), tetapi sebaliknya, aku (pikiran) adalah ciptaan alam. Baginya, segala sesuatu adalah sebuah proses tunggal, proses alam sebagai suatu keseluruhan. Alam yang dimaksud Schelling di sini adalah tidak hanya terdiri dari materi yang berada dalam ruang dan waktu; namun dunia alam itu seperti sebuah organisme raksasa yang kaya dengan kehidupan dan potensi, yang berubah secara terus-menerus, tumbuh dan berkembang, dan manusia (subjek-aku) adalah bagian darinya. Gaarder berpandangan, bahwa alam yang dimaksud Schelling adalah apa yang disebut sebagai “Roh dunia”[14] yang nanti akan dibahas dalam filsafat Hegel. Hegel telah menggabungkan garis pemikiran Fichte dan Schelling di dalam kerangka dialektis menjadi Idealisme Absolut. Bagi Hegel, baik subjek maupun objek, keduanya aktif saling berinteraksi membentuk apa yang ia sebut sebagai “Roh Absolut”. Hal ini menurut Hegel, terjadi dalam kerangka intelek / Vernunft melalui dialektika, dari tesis, antitesis dan sintesis. Idealisme Subjektif Fichte dapat dipandang sebagai tesis, dan antitesisnya adalah Idealisme Objektif Schelling, keduanya menjadi sintesis di dalam Idealisme Absolut Hegel.


[1] Herbert Marcuse, Rasio dan Revolusi, terj. Imam Baehaqie (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 3.
[2] Marcuse, Rasio dan Revolusi, 3. Dalam bahasa Latin ratio berarti hubungan, pikiran. Dalam bahasa Yunani terdapat tiga istilah yang secara garis besar sama artinya: phronesis, nous, dan logos. Beberapa pengertian umum antara lain: 1) Kemampuan untuk melakukan abstraksi, memahami, menghubungkan, merefleksikan, memperhatikan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan, dsb. 2) Kemampuan untuk menyimpulkan. Rasio berbeda dengan kemampuan kehendak, kemampuan perasaan, kemampuan intuisi, dsb. Marcuse menggunakan kata “ratio” untuk menjelaskan kata Vernunft, sedangkan Tjahjadi menerjemahkan kata Vernunft dengan “intelek”. Sebenarnya kedua istilah ini terkait erat dan pada intinya sama, yaitu mengacu kepada kemampuan berpikir manusia (pikiran).
[3] Karl Marx, “Zur Kritik der Hegelschen Rechtsphilosophie” – Menuju Kritik terhadap Falsafah Hukum dari Hegel (Moskou: Franfurt M, 1927), 619 dikutip dalam Herbert Marcuse, Rasio dan Revolusi, terj. Imam Baehaqie (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 5.
[4] Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri (Jakarta: KPG, 2004), 6-9.
[5] Dalam bahasa aslinya (Jerman) adalah Geist; dalam bahasa Inggris diterjemahkan spirit, yang berakar dari bahasa Latin spiritus (roh, nafas). Istilah Yunaninya adalah psyche atau lebih tepatnya pneuma, istilah ini menunjuk pada prinsip kehidupan. Para ahli berpendapat bahwa sulit untuk mencari padanan kata ini dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris. Kata ini memiliki berbagai macam arti atau makna, misalnya: 1) prinsip hidup yang menggerakan setiap makhluk; 2) tekad batin atau kehendak; 3) pikiran atau kesadaran. Menurut Lorens Bagus, para filsuf kuno menganggap roh sebagai kegiatan pemikiran abstrak. Bagi Aristoteles misalnya, kegiatan roh tertinggi adalah pemikiran tentang pemikiran. Bagi mereka roh juga dianggap sebagai prinsip adirasional yang ditangkap secara langsung dan intuitif. Pandangan ini menurut Bagus berhubungan erat dengan agama. Menurut agama, roh tertinggi adalah Tuhan Ada Adikodrati, yang hanya bisa dikenal melalui iman. Filsuf lain seperti Telesio melihat bahwa roh adalah suatu distingsi awal – yang bukan merupakan ciri khas perkembangan-perkembangan kemudian. Telesio mengintrodusir ide roh sebagai materi halus dan prinsip seluruh gerakan alam semesta. Ide roh dengan pengertian ini sebenarnya telah dipahami dan terjadi dalam gerakan idelisme abad ke-19. Dan Fichte menyumbang pengertian semacam ini, dengan menyatakan bahwa tujuan kehidupan merupakan perkembangan tata rohani. Menurut Bagus, Hegel juga mempunyai tujuan yang sama. Hegel melihat roh sebagai kesatuan kesadaran-diri dan kesadaran yang dicapai dengan rasio. Ia juga menganggapnya sebagai kesatuan kegiatan praktis dan teoretis. Menurut Hegel, Roh mengatasi yang alamiah, yang inderawi. Roh memperoleh kediriannya dalam proses pengenalan-diri, dan sejarah adalah dialektika Roh.
[6] Idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa dunia tergantung pada gagasan yang kita bangun, atau merupakan hasil dari kegiatan kesadaran kita. Idealisme merupakan sebuah istilah yang pertama kali digunakan secara filosofis oleh Leibniz pada awal abad ke-18. Ia menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, yang diperlawankan dengan materialisme Epikuros. Istilah ini juga menunjukkan filsafat-filsafat yang yang memandang yang mental atau ideasional sebagai kunci masuk ke hakikat realitas. Dari abad ke-17 sampai permulaan abad ke-20, istilah ini telah banyak dipakai dalam pengklasifikasian filsafat. Adapun beberapa pengertian idealisme antara lain: 1) teori bahwa alam semesta adalah penjelmaan pikiran, 2) realitas dijelaskan berkenaan dengan gejala-gejala psikis seperti pikiran-pikiran, diri, roh, ide-ide, pikiran mutlak, dan seterusnya, yang jelas tidak berkenaan dengan materi, 3) realitas yang bereksistensi bergantung pada suatu pikiran dan aktivitas-aktivitas pikiran. Untuk lebih jelas, lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), 300-302.
[7] Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1990), 27.
[8] Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 6.
[9] Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 6.
[10] Richard Osborne, Filsafat untuk Pemula, terj. P. Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanusius, 2001), 108.
[11] Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, 36.
[12] Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, 36.
[13] Bryan Magee, Memoar Seorang Filosof, terj. Eko Prasetyo (Bandung: Mizan, 2005), 617.
[14] Gaarder, Dunia Sophie, 392.

Tuesday, November 30, 2010

BIOGRAPHY OF HEGEL

Hegel dengan nama lengkap George Wilhelm Friedrich Hegel lahir di Stuttgart, Jerman pada tanggal 27 Agustus 1770.[1] Hegel hidup di era romantisisme[2] Jerman. Ia sempat belajar teologi sebelum mendalami filsafat. Ketika muda Hegel lebih tertarik pada mistisisme dan ia memandangnya secara luas, seperti sebuah intelek yang menampakan diri sebagai pengetahuan mistik.[3] Para pakar berpendapat bahwa sistem filsafat Hegel dipengaruhi juga oleh teologinya. Roger Scruton, dalam A Short History of Modern Philosophy mengatakan bahwa Hegel adalah seorang filosof idealis berlatar belakang teolog, dan pada dirinya terpadu dua struktur bangunan intelektual, yaitu teologi dan idealisme postkantian. [4]


Karier akademik Hegel mulai kelihatan ketika ia menjadi tenaga pengajar di Universitas Jena. Menurut Gaarder,[5] sebelum ia memulai kariernya di Jena, Hegel pada usia delapan belas tahun telah belajar teologi di Tubingen. Di Tubingen Hegel Mulai menaruh perhatian pada hubungan antara teologi dan filsafat.[6] Kemudian pada tahun 1799, ia mulai bekerja dengan Schelling di Jena ketika Gerakan Romantik mengalami pertumbuhan yang pesat. Dan setelah menjalani satu periode sebagai asisten profesor di Jena, ia diangkat menjadi profesor di Heidelberg tahun 1816,[7] tempat di mana pusat Romantisisme Nasional Jerman berada. Pada tahun 1818 ia diangkat menjadi profesor di universitas Berlin. Di Berlin ia menjadi sangat terkenal dan kariernya terus memuncak, bahkan ia disebut sebagai “professor professorum”. Hegel meninggal pada tanggal 14 November 1831, karena penyakit kolera yaitu “kolera jenis paling intensif”.[8]

[1] Roger Scruton, “A Short History of Modern Philosophy”, (London: Search Press, 1963), 159. Dikutip dalam Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 85.
[2] Romantisisme merupakan suatu gerakan merentang dari akhir abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19. Romantisisme meliputi dan mempengaruhi kehidupan spiritual dalam segala dimensinya. Gerakan ini secara historis sebenarnya adalah reaksi dari Zaman Pencerahan yang menekankaan dan bertitik tolak dari akal sebagai pangkal dari segala sesuatu. Antara romantisisme dan idealisme Jerman terdapat pengaruh timbal balik yang besar dan sejumlah pertentangan. Untuk lebih jelas, lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), 959-964.
[3] Bertrand Russel, History of Western Philosophy (London: George Allen and Unwin LTD, 1946), 757.
[4] Dr. Zubaedi, Filsafat Barat, 85. Idealisme poskantian adalah idealisme setelah Kant, yang dibangun oleh Fichte, Schelling dan Hegel. Mereka menolak konsep adanya “dunia-pada-dirinya-sendiri”.
[5] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1996), 392.
[6] G.W.F Hegel, Hegel: Nalar Dalam Sejarah, peny. Robert S. Hartman (Jakarta: Teraju Mizan, 2005), xii.
[7] Russel, History of Western Philosophy, 757.
[8] Simon-Petrus L. Tjahjadi, tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes Sampai Whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 73.

Thursday, July 22, 2010

MENGENAL REMAJA


Usia remaja merupakan salah satu tahap yang harus dilewati dalam kehidupan manusia. Tahap ini adalah tahap kritis, di mana terjadi transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Keinginan untuk mencari jati diri dan mendapatkan pengakuan dari keluarga serta lingkungan masyarakat menjadi
hal yang penting dalam kehidupan remaja.

Remaja sering kali sibuk dengan dirinya sendiri, yang tidak mudah dimengerti dan diterima oleh orang dewasa. Kadang-kadang dia dipandang sebagai orang dewasa, tetapi lain waktu ia dianggap sebagai anak yang masih ingusan. Hubungan dengan temannya tidak menentu, ada kalanya akrab ada kalanya bermusuhan. Mungkin pada suatu ketika ia cinta dan bangga terhadap dirinya, tetapi lain kali ia merasa malu dan benci terhadap dirinya.

Kondisi emosi yang labil membuat anak-anak remaja melakukan hal-hal yang di luar etika dan aturan. Tidak jarang perkelahian antar remaja terjadi, namun tidak jelas sebabnya. Bahkan perkelahian dapat meningkat menjadi permusuhan kelompok, yang menimbulkan korban pada kedua belah pihak. Anak-anak remaja juga sering terjerumus dalam pergaulan bebas dan obat-obat terlarang.


Remaja dalam Keluarga

Penentuan seseorang telah remaja atau belum dalam suatu keluarga sangat ditentukan oleh kondisi anggota keluarga. Penentuan seseorang dianggap remaja atau anak-anak di dalam suatu keluarga sangat tergantung pada pengetahuan orang tua, cara pandang orang tua terhadap sesuatu dan juga pemahaman orang tua terhadap anaknya. Banyak orang tua yang tidak mengerti usia remaja itu seperti apa dan bagaimana, bahkan ada seorang anak yang sudah mencapai usia remaja, namun masih dianggap sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan pendapatnya tidak perlu dipertimbangkan. Hal inilah yang mungkin dapat menimbulkan masalah, yaitu ketidakstabilan hubungan mereka. Oleh karena itu orang tua perlu memiliki pengetahuan tentang siapakah remaja itu, apa yang dibutuhkannya, bagaimana orang tua harus bersikap, dan apakah sifat-sifat yang ditimbulkan oleh anak pada usia remaja tersebut.

Dari uraian di atas jelas bahwa pengakuan remaja dalam suatu rumah tangga sangat tergantung pada sejauh mana orang tua remaja tersebut dapat memahami mereka sebagai anak-anak yang akan tumbuh menjadi dewasa.

Remaja Dalam Masyarakat

Penentuan seseorang telah remaja dapat juga ditentukan dari penerimaan masyarakat terhadap remaja tersebut. Masyarakat yang paling sederhana yang masih hidup secara alamiah, seperti bertani, menangkap ikan, dan sebagainya, mereka tidak mengenal masa remaja. Tidak ada batas umur yang jelas antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Begitu tubuh si anak besar dan kuat, mereka dianggap telah mampu melakukan pekerjaan seperti yang telah dilakukan orang dewasa, maka mereka dapat dikatakan sebagai remaja/pemuda. Maka saat itulah mereka diterima dalam lingkungannya, pendapatnya didengar dan diperhatikan - mereka sudah terlatih untuk memikul tanggung jawab keluarga. Jadi jelas bahwa tahapan kehidupan dikalangan masyarakat sederhana sangat tergantung oleh tenaga fisik dan keterampilan yang dimiliki, sehingga pada tahapan remajapun dapat dikatakan sudah dewasa asalkan sudah mampu bekerja dan bisa memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga.

Sementara itu untuk masyarakat desa yang agak maju, dikenal remaja dengan berbagai istilah yang menunjukan adanya kelompok umur yang tidak termasuk kanak-kanak dan tidak pula dewasa, misalnya jaka-dara, bujang-gadis. Masa berlangsungnya sebutan tersebut biasanya tidak lama, kira-kira sesuai dengan umur remaja awal (sekitar umur 13 tahun atau baligh/puber), sampai pertumbuhan fisik mencapai kematangan sekitar umur 16-17 tahun.
Lain halnya dengan masyarakat maju. Remaja belum dianggap sebagai anggota masyarakat yang perlu didengar dan dipertimbangkan pendapatnya serta dianggap belum sanggup bertanggung jawab atas dirinya. Terlebih dahulu mereka harus lebih menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kapasitas tertentu, serta mempunyai kemantapan emosi, sosial dan kepribadian.

Remaja dalam Hukum dan Perundang-undangan

Dalam pemilihan umum seseorang baru dianggap sah sebagai calon pemilih bila mereka telah berumur 17 tahun. Untuk memperoleh surat ijin mengemudi (SIM) seeorang harus berumur minimal 18 tahun. Dan apabila seseorang melakukan tindakan pidana, seperti mencuri, merampok, sedang usianya masih dibawah 18 tahun, maka apabila dijatuhi hukuman tidak dimasukan kedalam penjara, melainkan dititipkan ditempat yang telah disediakan untuk menampung mereka selama menjalani hukuman dan mereka tetap diberi kesempatan untuk pergi ke sekolah. Apabila umur mereka telah mencapai 18 tahun, mereka telah dipandang dewasa dan harus menjalani hukuman sebagai orang dewasa, dipenjarakan dan sebagainya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa remaja awal, sekitar umur 13-17 tahun masih dalam hukum dan perundang-undangan dianggap sebagai orang yang belum dewasa dan masih harus dibimbing sehingga jika ia kedapatan melakukan pelanggaran tidak diberi hukuman selayaknya orang dewasa, sedangkan untuk remaja akhir, sekitar umur 18-21 tahun dalam hukum dan perundang-undangan telah diakui sebagai orang dewasa.

Pertumbuhan Biologis dan Psikologis Remaja

a. Dimensi Biologis

Secara umum usia remaja berkisar antara 13-19 tahun tetapi ada juga ahli yang mengatakan antara 13-21, dan pada usia tersebut manusia mengalami banyak perubahan-perubahan baik secara fisik maupun psikologis yang dialami oleh laki-aki maupun perempuan.
Perubahan fisik yang dialami oleh remaja putra pada usia tersebut antara lain bahunya akan semakin membesar dan ototnya semakin berkembang, suaranya mulai membesar dan agak serak, badan meninggi, produksi hormon mulai meningkat, tumbuh bulu-bulu di tempat tertentu (ketiak, sekitar kelamin, kumis, jenggot, jambang, dan lainnya), rambutnya pun mulai berminyak dan yang aneh adalah akan mengalami mimpi indah atau yang dikenal “mimpi basah.” Untuk wanita perubahan fisiknya yaitu pinggulnya sudah mulai membesar, mulai muncul haid atau menstruasi (proses gugurnya sel telur wanita karena sel telur yang matang tidak dibuahi), buah dada semakin membesar, wajahnya mulai bertambah halus dan cantik, hal ini diikuti dengan keinginan untuk mulai berdandan dan suaranya pun berubah semakin merdu.

Hal tersebut diatas terjadi karena remaja mengalami masa pubertas, dimana pada masa ini hormon (gonadotrophins) seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua macam pertumbuhan, yaitu:

Follicle Stimulating Hormone (FSH)
Luteinizing Hormone (LH)

Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone (dua jenis hormon wanita). Pada anak laki-laki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating (ICSH) merangsang pertumbuhan testoteron. Pertumbuhan yang semakin cepat dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seseorang baik laki-laki maupun perempuan.

b. Dimensi Psikologis

Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak, pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Dari hasil penelitian di Chicago, AS menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan waktu hanya 45 menit untuk merubah dari mood “senang luar biasa” menjadi “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan waktu beberapa jam untuk melakukan hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah atau kegiatan sehari-hari di rumah.
Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat peka terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain selalu mengagumi dan selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi dan mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat para remaja selalu memperhatikan dirinya dan citra yang direfleksikan (self-image) dan Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik.

Remaja putri selalu bersolek berjam-jam di depan cermin karena mereka percaya orang akan memperhatikan kecantikannya, sedangkan remaja putra akan membayangkan bahwa ia akan dikagumi oleh lawan jenisnya jika ia terlihat hebat dan unik. Pada usia 16 tahun keatas, keeksentrikan remaja akan berkurang jika ia dihadapkan dengan dunia nyata. Pada saat itu, remaja akan mulai sadar bahwa orang lain memiliki dunia sendiri dan tidak selalu sama dengan dunia mereka apa yang dihadapi dan dipikirkannya. Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan orang lain, kemudian menjadi tidak mendasar. Pada saat itulah remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan imajinasi dan angan-angan mereka dengan kenyataan.

Para remaja sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka. Tindakan impulsif sering dilakukan; sebagian karena mereka tidak sadar dan belum memperhitungkan akibat jangka pendek dan jangka panjangnya. Remaja yang punya kesempatan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka, maka akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya diri dan mampu bertanggung jawad. Rasa percaya diri dan rasa tanggung jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati diri positif pada remaja. Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif diri sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh mereka sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu sebagai seseorang yang membutuhkan nasehat dan berbagai cara akan dicari olehnya.

Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh individu pada masa remaja adalah masalah “Siapakah saya” pertanyaan itu sah dan normal adanya karena pada masa ini kesadaran diri (self-awareness) mereka sudah mulai berkembang mengalami banyak sekali perubahan. Remaja mulai merasakan bahwa dirinya berbeda dengan orang tuanya dan memang ada remaja yang ingin merasa berbeda. Inipun hal yang normal karena remaja dihadapkan dengan banyak pilihan, karenanya tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah dan selalu ingin mencoba, baik dalam peran sosial maupun dalam perbuatan. Contoh: anak seorang insinyur bisa saja ingin menjadi seorang dokter karena tidak mau melanjutkan atau mengikuti jejak ayahnya. Ia akan mencari idola seorang dokter yang sukses dan berusaha menyerupainya dalam tingkah laku. Bila ia merasakan peran itu kurang sesuai, remaja akan dengan cepat mengganti peran lain yang dirasakannya lebih sesuai. Begitu seterusnya sampai ia menemukan peran yang ia rasakan sangat pas dengan dirinya. Proses mencoba peran ini merupakan suatu pembentukan jati diri yang sehat dan juga sangat normal. Tujuannya sangat sederhana; ia ingin menemukan jati diri atau identitas dirinya.

Banyak orang tua khawatir bahwa percobaan peran ini menjadi berbahaya, kekhawatiran itu memang memiliki dasar yang kuat karena dalam proses percobaan ini orang tua tidak dilibatkan. Para remaja takut, apabila orang tua mereka dilibatkan, mereka tidak menyetujui, tidak menyenangi atau malah menjadi sangat khawatir. Orang tua menjadi kehilangan pegangan karena mereka tiba-tiba tidak lagi memiliki control terhadap anak remaja mereka. Pada saat inilah kehilangan komunikasi antara orang tua dengan remaja mulai terlihat. Orang tua remaja mulai berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda sehingga kesalahpahaman sangat mungkin terjadi.

Salah satu upaya lain bagi orang tua untuk megetahui diri remaja adalah melalui tes-tes psikologis atau yang lebih dikenal dengan tes minat dan bakat. Tes tersebut menyangkut tes kepribadian, tes intelegensi dan tes minat. Walau terlihat sederhana, dampak dari hasil tes tersebut sangat luas. Tes psikologi dapat diibaratkan sebuah pisau lipat yang terlihat sekilas tidak berbahaya; namun di tangan orang yang bukan ahlinya atau yang kurang bertanggung jawab, alat ini akan menjadi sangat berbahaya. Alat tes tersebut diinterpretasikan secara salah atau secara tidak menyeluruh oleh orang yang kurang berpengalaman atau tidak memiliki dasar ilmu yang cukup sehingga membawa dampak yang negatif. Akibatnya, para remaja akan merasa lebih bingung dan merasa tidak yakin akan hasil tes tersebut. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk mencari psikolog yang memang sudah terbiasa memberikan tes psikologi sehingga dapat menjamin obyektivitas tes tersebut.

Satu hal yang perlu diingat adalah hasil tes psikologi untuk remaja sebaiknya jangan ditelan mentah-mentah atau dijadikan patokan yang baku, mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang sangat erat dengan perubahan. Alat tes ini tidak semestinya dijadikan buku primbon atau acuan baku dalam penentuan langkah menuju masa depan, misalnya dalam mencari sekolah atau mencari karir. Seringkali, seiring dengan perkembangan remaja dan perubahan lingkungan disekitarnya, konklusi yang diterima dari hasil tes bisa berubah dan menjadi tidak relevan lagi.

Sehubungan dengan explorasi diri melalui internet atau media massa, remaja hendaknya berhati-hati dalam menginterprestasikan hasil-hasil yang diterima dari tes-tes psikologi online melalui internet. Harap diingat bahwa banyak diantara tes tersebut yang masih sebatas uji coba dan belum dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Selain itu dibutuhkan kejujuran untuk mampu menerima diri apa adanya, sehingga remaja tidak mengembangkan identitas virtual yang berbeda dengan hal yang asli.


Sumber Bacaan

Daradjat, Zakiah Prof. Dr. Hj. 1993. Remaja, Harapan dan Tantangan. Jakarta:
CV. Ruhama.

Kesler, jay. 1978. To Big to Spank. California: Published by Regal Books Ventura.

Perkembangan Psikologis Remaja Putri. Majalah Gadis. Hlm.16. Jakarta:
20 April 2001.

Purwoko, Yudho. 2001. Memecahkan Masalah Remaja. Bandung:
Yayasan Nuansa Cendikia.

“Relief”. Ensiklopedi Indonesia Jilid 5. hlm. 2878. Jakarta:
ICHTISAB Baru-Van Hoeve. 1984.

Sandels, Bill. 1987. Almost Everything Teens want Parents to Know. New Jersey:
The Fleming H. Revell Company.

Setiono, lilly H. Team e-psikologi. Beberapa Permasalahan Remaja. http//www.
e-psikologi.com/remaja/130802.htm. Jakarta: 2002.

Tempo [Jakarta] 29 Maret, 2002.