Negara kita (Indonesia) adalah negara yang
plural, terdiri dari banyak suku bangsa, bahasa, agama, ras dlsb. Hidup bersama
sebagai warga negara Indonesia, tidak terhindarkan akan bersentuhan dengan
pluralitas tersebut. Di sisi lain, pandangan seseorang terhadap pluralitas
sangat menentukan bagaimana ia memperlakukan sesamanya dalam kehidupan
bersama di negeri kita ini. Misalnya saja terhadap pluralitas agama, jika
seseorang berpandangan bahwa pluralitas agama sebagai pemberian Tuhan yang memperkaya
khazanah religius di negara kita, maka ia akan menghargai dan menghormati orang
lain yang berbeda keyakinan dan tradisi religius dengannya.
Pandangan atau sikap yang dimiliki seorang
penganut agama memang akan sangat menentukan bagaimana ia memperlakukan sesamanya
yang berbeda keyakinan dengannya. Dalam uraian berikut akan ditinjau beberapa
sikap (posisi) yang biasanya dimiliki oleh umat beragama. Ada pun pendekatan dalam
diskursus ini diambil dari sudut pandang kekristenan.
Eksklusif
Penganut
agama yang mengambil sikap ini, siapa pun mereka akan menganggap bahwa agamanya
adalah yang paling benar dan paling sempurna. Sikap ini kelihatannya banyak
dipegang oleh kebanyakan orang beragama di Indonesia. Biasanya sikap ini
diwakili oleh kaum konservatif fundamental,[1]
yang seringkali menutup diri dari agama-agama lain dan menghindari dialog
(dapat dikatakan anti-dialog – jika mereka mau berdialog, tujuannya hanya untuk
menobatkan orang). Mereka mendasarkan sikapnya atas tafsiran mereka pada kitab
suci yang mereka yakini diilhami Allah dan mengandung kebenaran sejati yang
hanya dinyatakan kepada agama mereka, bukan kepada agama-agama lain. Dalam
kekristenan,
sikap eksklusif menempatkan Kristus sebagai jalan satu-satunya keselamatan,
yang mengambil dasar biblika dari dua teks Alkitab berikut:[2]
"Akulah jalan dan
kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak
melalui Aku.” (Yoh. 14:6)
“Dan keselamatan tidak
ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit
ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat
diselamatkan." (Kis. 4:12)
Dua kutipan Alkitab ini menjadi dasar sikap eksklusif Kristen Katolik sebelum diadakannya Konsili Vatikan II (1962-1965). Mereka beranggapan bahwa di luar Gereja Katolik tidak ada keselamatan dan pengampunan dosa. Dalam keputusan Paus Bonifacius VIII pada abad pertengahan, dinyatakan demikian: “Kita wajib oleh iman untuk percaya dan menerima bahwa ada satu Gereja kerasulan dan Katolik yang suci; kita sungguh-sungguh mempercayainya dan mengakuinya tanpa keraguan; di luar itu tidak ada keselamatan maupun pengampunan dosa… “[3]
Kemudian
dalam Konsili Florence dinyatakan bahwa “tidak ada seorangpun yang berada di
luar gereja Katolik, bukan hanya orang penyembah berhala tetapi juga orang
Yahudi, ahli bid’ah atau yang memisahkan diri, dapat menjadi bagian di dalam
kehidupan abadi tetapi mereka akan pergi ke dalam api kekal yang disiapkan
untuk setan dan para pengikutnya…”[4]
Ungkapan keeksklusifan Katolik tradisional ini jelas mau menyatakan bahwa,
hanya ada satu agama yang benar yaitu Gereja Katolik. Inti keeksklusifan ini
dikemudian menjadi fondasi bagi kaum Protestan yang didukung oleh tokoh-tokoh
seperti Karl Barth dan Hendrik Kraemer. Sikap mereka terhadap agama non-Kristen
dapat dikatakan sebagai ‘the radical
discontinuity type’.[5]
Untuk menunjukkan diskotinuitas antara agama Kristen dan agama non-Kristen,
Kraemer memakai pandangan Paulus mengenai iman dan perbuatan. Barth berpendapat
bahwa semua agama sebenarnya tidak memiliki kebenaran, agama memiliki kebenaran
hanya jika terhubung dengan penyataan Allah di dalam Yesus Kristus.[6]
Menurutnya, kekristenan pun sebenarnya tidak berbeda dengan agama-agama lain
jika anugerah Allah melalui Yesus tidak dinyatakan di dalamnya. Kekristenan
menjadi agama yang benar karena Allah yang menghendakinya. Sementara Kraemer
dalam sikap eksklusifnya berpandangan bahwa di luar Kristus tidak ada
keselamatan.[7] Ia
memandang negatif agama-agama lain, namun ia mengakui bahwa di dalam
agama-agama terdapat “benih ilahi” yang berasal dari Allah. Ia menyatakan bahwa
telah terjadi diskontinuitas antara agama Kristen dan agama-agama lain. Melalui
pendekatan realisme alkitabiah, ia merumuskan teologi misiologisnya bahwa
seluruh pertanyaan esensial dari semua agama harus dijawab oleh penyataan Allah
di dalam Yesus.[8]
Di
pihak lain Panikkar berpendapat,[9]
bahwa tuntutan kebenaran dari suatu agama biasanya memiliki ikatan langsung
dengan tuntutan ekslusivitas, yang berarti bahwa jika suatu pernyataan
dinyatakan benar, maka pernyataan lain yang berlawanan tidak dapat dinyatakan
benar. Misalnya, jika agama Islam menyatakan sebagai agama yang benar, maka
kebenaran yang ada di dalam agama lain tidak dapat digolongan sebagai
“kebenaran”. Panikkar mengemukakan bahwa sikap ini menimbulkan
kesulitan-kesulitan dalam dialog antar-agama, yaitu membawa peserta dialog dalam
bahaya akan sikap intoleransi, kesombongan dan penghinaan bagi yang lain.
Inklusif
Sikap
Inklusif lebih terbuka terhadap agama-agama lain dibanding dengan sikap
eksklusif. Pandangan inklusivisme beranggapan bahwa semua agama memang memiliki
kebenaran tetapi kebenaran itu bersumber dari agama yang satu. Agama yang satu
inilah yang memancarkan dan memberikan kebenaran kepada agama-agama yang lain.
Dalam inklusivisme keunikan dari suatu agama masih dijaga dan dipertahankan.
Misalnya, seorang Kristen inklusivis akan terbuka dengan pandangan kebenaran
agama-agama lain, namun ia tetap yakin bahwa sumber dari kebenaran itu ada di
dalam Kristus, mereka pada akhirnya akan menuju pada kebenaran Kristus yang ada
di dalam kekristenan. Dalam kalangan Islam, almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur)
mewakili posisi ini. Ia berpandangan bahwa di dalam agama-agama non-Islam,
mereka memang memiliki kebenaran sendiri, namun kebenaran itu tidak lepas dari
kebenaran yang ada di dalam Islam. Sekalipun bagi kaum inklusivis kebenaran sejati
hanya ada di dalam agamanya yang mengatur posisi agama-agama lain, mereka
biasanya lebih terbuka terhadap dialog.
Dalam teologi religionum para ahli sependapat bahwa Kart Rahner adalah orang yang mewakili posisi ini.[10] Rahner sebagaimana dikutip oleh John Hick mengatakan demikian, “Kristen sama sekali tidak menganggap anggota agama di luar Kristen semata-mata sebagai non-Kristen tetapi sebagai seseorang yang dapat dan harus dipertimbangkan dari berbagai segi sebagai seorang “Kristen anonim”…”[11] (Theological Investigations, Vol. 5, 1996, hal. 131). Dalam pandangannya terhadap agama-agama lain, Rahner menekankan rakhmat ilahi yang universal yang menjangkau agama-agama lain, sehingga mereka juga mendapat bagian dalam keselamatan yang telah dikerjakan Kristus di dalam kekristenan. Menurut Howard,[12] Rahner membentuk pendiriannya di dalam empat pernyataan berikut: 1) Agama Kristen memahami dirinya sebagai agama mutlak yang ditujukan untuk semua orang dan oleh karena itu tidak dapat mengakui agama lain sama dengan dirinya; 2) hingga saat Injil memasuki situasi sejarah seorang individu, sebuah agama bukan Kristen dapat mengisi individu yang bersangkutan tidak saja dengan pengetahuan alami mengenai Allah tetapi juga dengan unsur-unsur rahmat yang adiduniawi (pemberian sukarela Allah melalui Kristus); 3) oleh karena itu agama Kristen tidak selalu menghadapi agama lain sebagai bukan-Kristen belaka, melainkan sebagai orang Kristen anonim; dan 4) gereja tidak akan terlalu menganggap dirinya sebagai komunitas eksklusif orang-orang yang memiliki keselamatan, tetapi lebih sebagai barisan depan sejarah dan ungkapan yang tersurat dari harapan Kristen yang hadir sebagai realitas yang tersembunyi dalam agama-agama lain.
Dari
pernyataan Rahner di atas, ia tetap memberi keunikan pada kekristenan, ia juga
bahkan mematahkan sikap eksklusif orang-orang Kristen. Pandangan Rahner memang
memberi pengaruh kepada komunitas Kristen eksklusif dan membuka jalan bagi
dialog antar-agama. Bahkan sikap ini didukung dalam Konsili Vatikan II, yang
mengakui adanya unsur-unsur kebenaran di dalam agama-agama lain.[13]
Sehingga dengan demikian posisi Rahner semakin mendapat dukungan yang kuat. Di
pihak lain, Panikkar[14]
menyoroti bahwa sikap inklusif ini pun membawa kesulitan dalam dialog
antar-agama, yaitu sikap ini dapat menimbulkan bahaya kesombongan, karena hanya
agama kitalah yang memiliki hak istimewa untuk menerima penyataan Allah dan
keselamatan kekal; selain itu kita juga yang menentukan bagi agama-agama lain,
posisi kebenaran yang bagaimana yang harus mereka ambil. Kita toleran menurut
pandangan kita sendiri, namun tidak menurut pandangan agama lain yang juga
menuntut hak istimewa seperti kita untuk berada di puncak.
Pluralis
Berbeda
dengan sikap inklusif yang masih mempertahankan keunikan agamanya, bagi seorang
pluralis, keunikan tersebut sama sekali larut karena memandang semua agama
setara – memiliki kebenarannya masing-masing. Dalam artian bahwa segala sesuatu
sahih dan benar pada tempat dan situasinya.[15]
Seorang penganut agama Kristen yang mengambil posisi inklusif akan tetap
mempertahankan keunikan di tengah sikap toleransinya bahwa, keselamatan hanya
karena anugerah Allah melalui Yesus Kristus. Sedangkan seorang Kristen yang
pluralis akan menganggap semua agama unik, memiliki cara sendiri-sendiri dalam
mencapai keselamatan sehingga bukan hanya kekristenan yang istimewa, tetapi
semua agama memiliki keistimewaannya sendiri. Dalam konteks Islam di Indonesia almarhum Abdurahman Wahid atau Gus Dur adalah penganut paradigma ini, bahkan ketika ia
meninggal, mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono memberi gelar sebagai Bapak
Pluralisme Indonesia.
Beberapa pakar berpendapat bahwa di dalam pluralisme, kebenaran kerap kali bersifat relatif dan memiliki keabsahannya sendiri, tergantung pada pihak yang mengklaim kebenaran tersebut. Sehingga pluralisme seringkali dikonotasikan dengan relativisme.[16] Meskipun beberapa pakar lainnya seperti Knitter dan Granakan memisahkannya secara berbeda (Joas Adiprasetya, 2002: 74). Di sisi lain, ada juga pakar yang memandang bahwa Pluralism is an open model. Yaitu model yang mau saling mengenal, merangkul, memberi, bertumbuh bersama untuk memperoleh sebuah model bersama – dalam pluralisme, singularitas dan pluralitas saling memperkuat (Ioanes Rakhmat, Diskusi Milis Jaringan Islam Liberal, 2008). Pendekatan yang dilakukan pihak Kristen dalam pluralisme biasanya menggunakan pendekatan teosentris[17] bukan menggunakan pendekatan kristosentris atau ekklesiosentris yang pada umumnya digunakan dalam eksklusivisme dan inklusivisme.
Teolog
Kristen yang dapat mewakili posisi ini dan paling dikenal adalah John Hick. Di
samping John Hick ada banyak teolog-teolog lain yang dapat digolongkan dalam
paradigma ini, dan mereka mengungkapkan sikap ini secara berbeda-beda,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Siburian:[18]
“semua agama sama benarnya” (Hans Kung) atau “setiap agama memiliki
keabsahannya sendiri untuk keselamatan” (Granakan), atau “semua agama adalah
banyak jalan menuju pusat” (Knitter). Dari semua teolog ini, dapat
dikatakan bahwa John Hick adalah yang
paling menonjol dan radikal. Bagi John Hick Kristus dan agama Kristen tidak
dapat menyelamatkan agama-agama lain sebagaimana dipahami di dalam
inklusivisme. Bukan Kristus yang menjadi pusat bagi agama-agama lain, tetapi
Allah. John Hick menegaskan bahwa semua agama dapat datang kepada Allah tanpa
melalui agama Kristen atau Kristus.
Setiap agama memiliki keabsahannya masing-masing atas keselamatan dan wahyu
Allah yang dimilikinya sendiri tanpa harus bertitik tolak kepada Kristus.
Pandangan Hick yang menyatakan bahwa Allah sebagai pusat dari agama-agama
didasarkan pada Revolusi Copernikus. Menurutnya,[19]
pandangan tradisional dari teologi Ptolomeus yang menyatakan bahwa bumi sebagai
pusat tata surya harus segera ditinggalkan karena tidak mengandung kebenaran.
Revolusi Copernikus yang mengubah pandangan tradisional secara radikal, bahwa
bukan bumi yang menjadi pusat tata surya tetapi matahari, seharusnya menjadi
paradigma kita dalam teologi agama-agama. Revolusi ini menurut Hick, harus
mentransformasi suatu perubahan dogma Kristen dari pemikiran bahwa agama
Kristen yang berada di pusat kepada pemikiran Allah yang menjadi pusat
agama-agama. Dengan demikian setiap agama berputar mengelilingi poros yang
memberi cahaya itu, yaitu Allah.
Bagi
Panikkar[20]
pluralisme pun memiliki kelemahan-kelemahan. Sikap ini kelihatannya
mengandaikan kecukupan diri dari setiap tradisi dan menyangkal adanya kebutuhan
untuk berjalan di luar tembok-tembok dari suatu tradisi tertentu dari manusia.
Karena menekankan keunikan masing-masing, sikap ini memecah keluarga manusia ke
dalam bagian-bagian yang terpisah, membuat bentuk pertobatan apa pun menjadi
suatu pengkhianatan terhadap adanya orang itu sendiri. Sikap ini mengijinkan
pertumbuhan tetapi tidak mengijinkan mutasi. Namun di sisi lain, Panikkar
menyoroti bahwa sikap ini menjanjikan banyak kemungkinan untuk hipotesis awal,
akan pengharapan bahwa kita pada akhirnya akan berjumpa meskipun saat ini masih
harus menanggung perbedaan-perbedaan yang ada.
[1] Paul Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, terj. Nico A.
Likumahuwa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 37.
[2] Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2002), 50.
[3] John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, terj. Amin
Ma’ruf & Taufik Aminuddin (Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2006), 24.
[4] Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, 24.
[5] Kadarmanto Hardjowasito,
“The Problem of Religious Pluralism”, A
Man for All Seasons, ed. Margriet Gosker (Michigan USA: Grand Rapid,
2010), 56.
[6] Joas, Mencari Dasar Bersama, 53.
[7] Togardo Siburian, Kerangka Teologi Religionum Misioner
(Bandung: STT Bandung, 2004), 58.
[8] Joas, Mencari Dasar Bersama, 59.
[9] Raimundo Pannikar, Dialog Intra Religius, ed. A. Sudiarja (Yogyakarta: Kanisius, 1994),
18-20.
[10] Siburian, Kerangka Teologi Religionum Misioner,
69.
[11] Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, 30.
[12] Howard, Pluralisme: Tantangan bagi Agama-Agama, 104.
[13] A. A. Yewangoe, Agama-Agama dan Kerukunan (Jakarta: BPK
Gunung Mulia), 76.
[14] Panikkar, Dialog Intra Religius, 21-22.
[15] Silvester Kanisius, Allah dan Pluralisme Religius (Jakarta:
Obor, 2006), 161.
[16] Keterkaitan antara
pluralisme dan relativisme dapat ditelusuri dari pemikiran Ernst Troeltsch
melalui refleksi teologisnya yang ingin mendamaikan antara relativisme historis
dan absolutisme religius. Benar bahwa Allah itu transenden dan tidak dapat
dibandingkan dengan sesuatu yang terbatas, namun Allah yang transenden itu juga
hadir dan dapat dijumpai dalam kenyataan imanen dalam konteks sejarah manusia,
yang dapat mengalami sesuatu dan hidup dalam suatu proses sejarah tertentu yang
temporal dan spasial. Dan melalui agama yang dalam proses tertentu inilah
kehadiran Allah secara imanen dapat dialami. Dengan demikian bagi Troeltsch,
agama sebagai bentuk dari manifestasi dari Yang Absolut tidak bisa menjadi
absolut karena keterikatan historisnya (sehingga bersifat relatif). Lihat Joas,
Mencari Dasar Bersama, 74-75.
[17] Premis dasar
pendekatan teosentris yang dikerjakan kaum pluralis terletak pada kehendak
universal Allah untuk menyelamatkan seluruh manusia.
[18] Siburian, Kerangka Teologi Religionum Misioner,
69.
[19] Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, 32-37.
[20] Panikkar, Dialog Intra Religius, 23-24.
No comments:
Post a Comment