Labels

Hendi Rusli's Blog Founded on October, 2008

Saturday, January 2, 2010

FILSAFAT ITU GELISAH


Oleh: Sindhunata
(diambil dari majalah BASIS, Nomor 09-10, Tahun ke-58, September-Oktober 2009, hal. 3)

Tak ada kata berhenti bagi filsafat. Filsafat selalu mencari. Karena itu siapa berfilsafat, ia selalu resah. Tak mungkin ia menepiskan keresahan itu dari hidupnya. Tak jarang keresahan itu menuntunnya berdiri di jurang tanda tanya: benarkah yang saya pegang selama ini? Jika tidak, ia pun akan nekad terjun ke jurang tersebut, dan bergulat lagi dengan pertanyaan yang makin giris dan menggugat pegangan hidupnya selama ini.

Hal itulah yang dialami Nietzsche. Ia berpendapat, manusia ini ditandai dengan “tanda tanya”. Dan menurut dia, tanda tanya itu adalah keingingintahuan yang amat berbahaya. Didorong oleh keingintahuan itu, setelah sembuh dari sakit yang berat, Pada tahun 1886, Nietzsche bertanya, dapatkah orang menjungkirkan dan memutar semua nilai yang selama ini jadi pegangannya? Kalau ya, tidakkah yang baik itu adalah yang jahat? Dan Tuhan, hanyalah penemuan dan akal licik dari setan belaka? Adakah semua hal pada dasarnya adalah salah? Jika kita adalah pihak yang tertipu, tidakkah justru karena itu kita juga adalah pihak yang menipu? Tidakkah kita semua adalah penipu?
Selalu bertanya, dan karenanya juga siap senantiasa untuk berubah, itulah yang dilakukan oleh filsuf Polandia, Leszek Kolakowski (81), yang baru saja meninggal dunia, bulan Juli 2009 lalu. Kolakowski dilahirkan pada 1927 di kota industry, Radom. Semasa invasi Jerman di Polandia tahun 1945, Kolakowski yang waktu itu belum genap delapan belas tahun, hanya punya satu keinginan, yakni menjadi komunis. Maklum, ia anti Gestapo, yang telah membunuh ayahnya. Dan ia anti-kapitalisme, yang pada hematnya telah menyediakan tanah yang subur bagi tumbuhnya rezim otoriter Hitler. Hanya komunismelah yang bisa menentukan masa depan. Kolakowski lalu masuk dalam organisasi kepemudaan Partai Komunis. Semboyan “Perdamaian, kesamarataan, dan kebebasan” dipegangnya untuk melawan khayalan filasafat katolik dan kaum borjuis yang sedang melapuk.

Kolakowski yang muda dan cerdas itu menjadi bintang harapan para kamerad dan fungsionaris partai. Ternyata dengan tajam ia mulai mengkritisi ajaran partai dan berpendapat, marxisme harus direformasi. Lebih daripada anggota partai, Kolakowski adalah seorang filsuf. Maka wajar bila ia lebih mengutamakan akal dan pemikiran daripada doktrin partai. Ia berpendapat, adalah penghinaan terhadap akal manusia, bahwa komunisme mengidentikkan kebenaran dengan penyangga kebenaran, yakni kaum proletariat. Kolakowski menjadi makin provokatif, ketika ia mengkritik dan bersikap negatif terhadap apa saja yang dimutlakkan, termasuk absolutisme proletariat. Ia bilang, lebih baik ia mengambil posisi yang dianggap sinting daripada melalaikan kehati-hatian dan kecurigaan terhadap klaim-klaim absolutis (Thomas asssheuer, die Zeit, 23 Juli 2009).

Tahun 1966, Kolakowski memihak mahasiswa dan menentang cara-cara teror yang dilakukan komunis untuk membentuk pendapat masyarakat. Ia pun dicap revisionis dan intelektual yang nihilistis. Ia meracuni pikiran anak-anak muda, seperti yang dilakukan Sokrates. Ia terus melakukan perlawanan dengan pemikirannya yang kritis. Dan lahirlah masterpiece-nya yang mendapat reputasi internasional, yakni tiga seri tebal tentang aliran-aliran pokok dalam marxisme. Dalam karyanya ini, Kolakowski melucuti penipuan-penipuan yang dilakukan oleh ajaran marxisme yang ortodoks. Tudingnya, mereka telah mengubah dan memanipulasikan harapan-harapan manusia yang penuh dengan tanda tanya menjadi kebenaran-kebenaran yang absolut. Mereka seakan menjemput kebenaran-kebenaran itu dari tabernakel masa depan, padahal sebelumnya mereka sendiri sudah meletakkan kebenaran-kebenaran tersebut. Marxisme bermula dengan upaya peluhuran manusia, tapi berakhir dengan tragedi yang berdarah. Itulah yang terjadi dengan stalinisme, di mana manusia dinistakan dalam perbudakan dan penghambaan yang feodal, di mana kehidupan manusia dibenamkan dalam samudra pembohongan. Ramalan-ramalan marxisme ternyata berakhir dengan kebohongan. “Marx pasti tidak mengasosiasikan komunisme dengan Gulag. Tapi komuisme terlaksana sebagai Gulag, itu semuanya pasti bukan kebetulan,” kata Kolakowski.
Di mata Kolakowski, marxisme tak ubahnya seperti teologi dan pendirian pseudo-religius, yang suka bermain-main dengan imajinasi dan spekulasi masa depan. Kolakowski mengatakan, bukan keadilan tapi kebebasanlah nilai tertingggi bagi manusia. Ia menjauhi kebenaran-kebenaran marxisme yang pseudo-religius itu. Yang harus dilakukan manusia adalah menyegarkan kembali pencerahan budi, demokrasi kekuasaan, dan pembagian yang adil dari sumber daya alam yang terbatas.

Tahun 1989, komunisme benar-benar gulung tikar. Dan Francis-Fukuyama merayakan kejatuhan itu sebagai akhir sejarah, di mana satu-satunya yang bakal berjaya meraja adalah kapitalisme dan demokrasi. Kolakowski tidak ikut di dalam perayaan tersebut. Baginya, kapitalisme Barat tetaplah dihidupi oleh kepalsuan, di mana berkuasa setan-setan lama, yang menggoda manusia untuk mendewakan dirinya sendiri tanpa batas. Dalam kapitalisme, manusia tidak hidup dalam kebebasannya. Sementara derajat dan kemampuan akal manusia sudah diturunkan menjadi alat untuk mengejar kepentingan dirinya. Kata Kolakowski, sekarang kita tidak takut lagi akan komunisme tapi akan serba ketidakpastian, karena kita telah menggerogoti dasar-dasar terdalam hidup kita, di mana seharusnya dibangun kepercayaan akan kehidupan. Kepercayaan itu hilang. Gantinya adalah ketakutan yang serba tidak jelas dan menentu.

Kolakowski juga mengkritik pemikiran liberal yang merebak dalam kapitalisme. Pemikiran liberal yakin, bahwa yang jahat bisa ditiadakan begitu saja. Menurut Kolakowski, itu mustahil sebab yang jahat itu masuk lewat celah dunia, yang tidak kita ketahui tapi harus kita waspadai. Pendeknya, kita harus bisa hidup dalam konflik di antara yang baik dan yang jahat. Konflik itu membuat kita berani menerima perbedaan dan ketidakcocokan. Itulah dasar toleransi, yang akan membuat kita memeluk kebaikan tanpa kecurigaan, menjadi berani tanpa fanatisme, hidup dengan kecerdasan tanpa keraguan, serta memupuk harapan tanpa selimut khayalan.
Begitulah Kolakowski, filsuf yang terus gelisah sampai akhir hayatnya. Memang, kegelisahan yang terus bertanya adalah ciri khas filsafat.