Labels

Hendi Rusli's Blog Founded on October, 2008

Saturday, April 10, 2010

MENDAKWA ALLAH? Catatan Tentang Teodisea

Sebuah Tinjauan, oleh Hendi Rusli

Tulisan berjudul Mendakwa Allah? Catatan tentang Teodisea oleh Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dalam jurnal Diskursus Vol. 4, No. 3, Oktober 2005 hal 231-249, mencoba menguraikan letak masalah dalam teodisea,[1] baik dalam filsafat maupun teologi. Penulis menolak penjelasan-penjelasan yang menurutnya kurang bermutu atau kurang memadai. Dengan mengikuti pandangan Louis Leahy, penulis menguraikan bagaimana filsafat teistik (=filsafat ketuhanan) menangani adanya penderitaan dalam ciptaan Allah. Magnis juga mencoba mengembangkan jalan “klasik” filsafat teistik Josef Schmidt yang membuka sebuah perspektif baru. Berikut adalah intisarinya:

Masalah Teodisea
Magnis, menolak pandangan agama yang mengatakan bahwa manusia diizinkan Allah untuk berdosa, yang kemudian menjadi akar penderitaannya. Menurutnya, masalah mengapa Allah mengizinkan dosa adalah masalah Allah sendiri, menusia tidak perlu pusing-pusing memikirkan hal ini. Namun di sisi lain, timbul pertanyaan: Mengapa ada penderitaan? Apakah Allah tidak dapat menciptakan alam raya dan manusia tanpa penderitaan? Inilah yang menjadi persoalan teodisea. Allah yang dipandang sebagai Maha Kasih, Penyayang, adil diperhadapkan dengan kenyataan penderitaan yang begitu melimpah, menimbulkan persoalan yang serius dalam teodisea. Mengenai hal ini, Romo Magnis berpendapat, “Penderitaan menjadi masalah justru karena Yang Ilahi dipahami, bahkan, oleh mereka yang percaya kepada-Nya, dialami, sebagai kekuatan yang peduli kepada manusia, yang adil, yang berbelaskasih, yang membebaskan, yang suka mengampuni kesalahan manusia, yang menyembuhkan. Atas dasar penghayatan Allah sebagai kekuatan yang menyelamatkan dan menyembuhkan, kenyataan penderitaan menjadi semakin tidak dapat dimengerti”.

Penjelasan-Penjelasan yang Tidak Memadai
Adapun penjelasan-penjelasan yang tidak memadai menurut Magnis, dapat saya ringkaskan sebagai berikut:
- Penderitaan adalah hukuman Allah atas dosa-dosa orang yang bersangkutan.
- Melalui penderitaan, Allah mencoba mutu manusia; hanya menusia yang bertahan dalam pendertitaan, pantas untuk menerima kebahagiaan abadi di surga.
- Penderitaan menjadi tidak berarti bila dibandingkan dengan ganjaran yang akan diterima di surga kelak.
- Penderitaan memurnikan hati, jadi bernilai secara moral.
- Dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada penderitaannya lebih baik daripada yang tidak ada penderitaannya (Leibniz).
- Manusia tidak dapat mengimbangi kemahakuasaan dan hikmat Allah; karena itu ia tinggal menerima saja segala apa yang terjadi sebagai kehendak Allah dengan tak perlu bertanya, apalagi protes.

Filsafat Teistik Louis Leahy
Dalam bagian ini, Franz Magnis mendekati masalah teodisea melalui filsafat teistik dengan dua langkah yang diuraikan oleh Louis Leahy. Dalam langkah pertama Leahy sependapat dengan Leibniz, bahwa tidak mungkin Allah menciptakan dunia tanpa adanya keburukan. Dalam langkah pertama ini Leahy mau menegaskan bahwa Allah tidak dapat dikatakan menciptakan secara positif keburukan dan dosa yang dilakukan manusia, melainkan mengizinkannya berlangsung. Mengapa Allah tidak menciptakan alam semesta dengan sempurna dan tanpa penderitaan? Menurut Leahy, hal ini diakibatkan karena secara hakiki setiap makhluk terbatas, dan tidak mungkin dibentuk “makhluk sempurna”. Karena itu jika diciptakan makhluk perasa, kemungkinan penderitaan adalah hakiki. Leahy menegaskan demikian, “Semakin berkembang perasaan dan kesadaran pada makhluk-makhluk itu, semakin besar pula kemampuannya menderita. Begitu pula dengan manusia sebagai makhluk hidup, dengan sendirinya terbatas, lemah, mudah terluka dan karena kodratnya tidak luput dari keausan, ketuaan/keusangan dan kematian”. Jadi dapat disimpulkan bahwa, kemungkinan untuk menderita adalah kodrat manusia. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Allah tidak mahakuasa. Allah tidak mungkin membuat hal-hal yang pada dirinya bertentangan. Hal ini menurut Leahy tidak mengurangi kemahakuasaan-Nya, melainkan sebaliknya berakar pada konsistensi Allah dalam kemengadaan-Nya. Tidak masuk akal mengharapkan agar Allah terus menerus campur tangan untuk mencegah makhluk-Nya menderita.

Dalam langkah kedua, Leahy menunjukkan masalah yang sebenarnya dari teodisea, yaitu dalam kenyataannya penderitaan terjadi di mana-mana tanpa makna, bahkan di luar “ukuran normal”. Argument pada langkah pertama, tidak lagi mampu untuk menjawab persoalan ini. Ya benar, jika penderitaan yang terjadi pada manusia hanya dalam batas “normal”, kita dapat katakan bahwa, “tidak patut terus menerus mengharapkan Allah campur tangan”. Namun, bagaimana dengan penderitaan yang terjadi di luar “ukuran normal”? Menurut Leahy, filsafat menyerah dengan persoalan ini. Filsafat hanya mengajukan sebuah syarat bahwa, masalah penderitaan hanya dapat dipecahkan apabila kita percaya mengenai kehidupan setelah kematian.

Filsafat Teistik Josef Schmidt
Schmidt mengembangkan filsafat teistik yang sudah dikenal sebelumnya. Sebagaimana Leahy, Josef Schmidt mendekati masalah teodisea dengan dua langkah. Yang pertama, melalui filsafat dan yang berikutnya melalui teologi. Schmidt bertolak dari pertanyaan: Jika ada Allah, dari mana keburukan dan kejahatan? Tetapi jika Allah tidak ada, dari mana hal-hal baik? Dengan pertanyaan ini, sebenarnya masalah teodisea sudah selesai katanya. Ia menjawab pertanyaan pertama dengan singkat saja, “saya tidak tahu”. Ia menegaskan bahwa filsafat tidak berurusan dengan pertanyaan pertama ini. Schmidt menegaskan bahwa, kalau masalah teodisea tidak dapat dipecahkan, maka jangan mencoba memecahkannya dengan menyangkal Allah. Mengenai pertanyaan pertama ini, Magnis mengatakan bahwa baik Schmidt maupun Leahy sependapat, tidak ada jawaban untuk pertanyaan ini. Bagaimana dengan pertanyaan kedua: Kalau tidak ada Allah, dari mana kebaikan? Pertanyaan ini dapat dijawab oleh filsafat. Jika tidak ada Allah, maka tidak ada kebaikan. Lalu yang menjadi pertanyaan, di mana pemecahan masalah teodisea? Magnis berpendapat bahwa, masalah teodisea dipecahkan karena satu fakta yang tidak dapat disangkal yaitu, bahwa ada pengalaman akan kebaikan yang sungguh-sungguh. Dan dari sini, dapat diambil dua unsur argumen. Pertama, adanya kebaikan. Yang kedua, pengalaman dari kebaikan itu. Schmidt menandaskan dalam langkah pertama ini, bahwa masalah teodisea pada prinsipnya diselesaikan. ‘Pada prinsipnya’ dalam arti bahwa Yang Baik bagaimana pun dipandang sebagai kekuasaan yang memenangkan segala-galanya.

Dalam langkah kedua, Schmidt bergerak ke ranah teologi sebagai refleksi atas iman. Teologi bertolak dari keyakinan bahwa, Allah menciptakan dunia karena Ia mencintainya. Namun hal ini, malah mempertajam masalah teodisea. C.S Lewis mengatakan, “Dalam arti tertentu masalah penderitaan diciptakan, daripada dipecahkan, oleh iman Kristen…” Di sisi lain, Stendhal melihat masalah ini dari sudut kebalikkannya, “Satu-satunya alasan untuk memaafkan Allah adalah bahwa Ia tidak ada”. Schmidt berpendapat, baik Lewis maupun Stendhal tidak memecahkan masalah. Menurutnya, apabila Allah disangkal, tidak masuk akal manusia menuduh Allah. Bertitik tolak dari pandangan ini Franz Magnis mengatakan, “Iman kepada Allah yang adil dan baik menjamin kemungkinan manusia untuk berproses. Justru Karena kita percaya, bahwa Allah adalah mahakuasa dan mahabaik, kita memproteskan penderitaan…Orang yang protes kepada Allah, sekaligus sudah menerima bahwa Ia, Allah, tidak dapat kita pahami. ”

Kesimpulan Franz Magnis-Suseno
Dalam akhir tulisannya, Franz Magnis bertanya: “Apakah filsafat angkat tangan terhadap masalah teodisea?” Jawabnya adalah tidak. Menurut Magnis, filsafat membantu orang-orang percaya untuk dapat mengerti apa artinya Allah itu mahakuasa, adil dan seratus persen baik. Para filosof yang percaya pada Allah, mereka beriman dengan mancari pengertian. Dan menurutnya, filsafatlah yang membantu baik dalam perumusan pertanyaan teodisea dengan segala ketajaman, maupun mengantar ke ambang pintu di belakang, di mana dapat ditemukan jawabannya.

Tanggapan
Dalam tulisan ini, meskipun uraian Franz Magnis-Suseno banyak mengacu kepada Louis Leahy dan Josef Schmidt, namun alurnya jelas dan terarah. Menurut hemat saya, tulisan ini belum menyelesaikan persoalan teodisea. Sebagaimana judul yang diberikan, tulisan ini lebih memberi catatan-catatan untuk memperjelas persoalan teodisea. Pandangan-pandangan ahli dari Louis Leahy dan Josef Schmidt yang diacu Magnis sebenarnya kurang memadai untuk menjawab persoalan-persoalan teodisea, sekalipun tidak dapat disangkal hal ini merupakan upaya yang sangat luar biasa untuk memecahkan teodisea.

Mengapa saya katakan bahwa uraian Magnis mengenai teodisea ini kurang memadai? Karena menurut saya, Franz Magnis kurang konsisten dalam membicarakan posisi Allah dalam persoalan teodisea. Di satu sisi, Magnis tidak ingin berurusan atau berbicara tentang Allah ketika ia mencoba memecahkan masalah teodisea. Pendapat Magnis berikut ini, membenarkan hal tersebut. 1) “Masalah mengapa Allah mengizinkan dosa adalah masalah Allah sendiri, menusia tidak perlu pusing-pusing memikirkan hal ini”. 2) “Penderitaan menjadi masalah justru karena Yang Ilahi dipahami, bahkan, oleh mereka yang percaya kepada-Nya, dialami, sebagai kekuatan yang peduli kepada manusia, yang adil, yang berbelaskasih, yang membebaskan, yang suka mengampuni kesalahan manusia, yang menyembuhkan. Atas dasar penghayatan Allah sebagai kekuatan yang menyelamatkan dan menyembuhkan, kenyataan penderitaan menjadi semakin tidak dapat dimengerti”. Dalam dua argumen ini jelas, bahwa untuk memecahkan teodisea, kita seharusnya tidak perlu membicarakan tentang Allah. Karena hal ini akan menambah tajam persoalan teodisea. Namun meskipun demikian, di lain pihak Magnis justru sependapat dengan Schmidt, bahwa Allah harus tetap terlibat dan tidak dapat disangkal dalam memecahkan masalah teodisea. Hal ini dapat kita lihat dari argumentasi Magnis yang membenarkan pendapat Schmidt, “Iman kepada Allah yang adil dan baik menjamin kemungkinan manusia untuk berproses. Justru Karena kita percaya, bahwa Allah adalah mahakuasa dan mahabaik, kita memproteskan penderitaan…Orang yang protes kepada Allah, sekaligus sudah menerima bahwa Ia, Allah, tidak dapat kita pahami”. Magnis juga menegaskan, bahwa kita harus tetap beriman kepada Allah yang mahakuasa, adil dan seratus persen baik. Iman yang mencari pengertian akan mampu menyelesaikan persoalan teodisea.

Jika argumentasi Leahy, Schmidt maupun Magnis tidak memadai, bagaimanakah memecahkan persoalan teodisea ini? Sejauh mereka masih melibatkan Allah dalam teodisea, dengan dua pertanyaan yang diajukan Schmidt (1. Jika ada Allah, dari mana keburukan dan kejahatan? 2. Tetapi jika Allah tidak ada, dari mana hal-hal baik?), maka persoalan teodisea masih tetap menjadi dilema dan tidak terpecahkan. Mereka takut disebut ateis ketika mereka tidak melibatkan Allah dalam persoalan teodisea. Menurut hemat saya, kita tidak harus menjadi seorang ateis tetapi non-teisme, ketika kita tidak berbicara tentang Allah. Menjawab dua pertanyaan Schmidt di atas, sebenarnya kita tidak perlu melibatkan Allah (dalam arti berbicara tentang konsep-konsep Allah yang telah kita bentuk, seperti misalnya: pengasih, penyayang, mahakuasa, dsb). Keburukan dan hal-hal baik yang terjadi pada manusia dan alam semesta tidak harus ditafsir bahwa Allah bertanggung jawab di dalamnya. Keburukan dan hal-hal baik yang terjadi harus dipahami secara natural dan tidak terlepas dari hukum alam, yang telah Allah tetapkan. Menjadi tanggung jawab manusia, jika hal-hal yang buruk terjadi di luar “batas normal”. Manusia harus memecahkan persoalan ini dengan akal budi yang dimilikinya, tanpa harus melibatkan atau mempersalahkan Allah dengan segala atribut yang dimiliki-Nya (Pengasih, penyayang, mahakuasa, dsb).


[1] Teodisea berasal dari dua kata Yunani: theos (allah) dan dikee (keadilan). Jadi, teodise adalah doktrin tentang keadilan allah.