Blog for personal reflection on theology, philosophy, history, sociology, psychology and science.
Hendi Rusli's Blog Founded on October, 2008
Thursday, March 12, 2009
AGAMA DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI DAN SOSIOLOGI
Agama dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Sebagian orang melihat agama sebagai sesuatu yang kudus, sakral, dan rohani yang mendatangkan kebaikan bagi umat manusia. Namun di sisi lain, orang melihatnya secara berbeda. Agama adalah suatu kebodohan, tidak masuk akal. Karena mereka memandang agama sebagai ciptaan manusia yang di dalamnya penuh dengan mitos-mitos. Apakah memang demikian? Adakah disiplin ilmu lain di samping teologi, yang melihat agama secara berbeda? sehingga pandangan-pandangan tersebut muncul.
Agama dalam Perspektif Teologi
Dalam perspektif teologi agama dipandang sebagai sesuatu yang dimulai dari atas (dari Tuhan sendiri melalui wahyu-Nya). Manusia beragama karena Tuhan yang menanamkan kesadaran ini. Tuhan memperkenalkan diri-Nya kepada manusia melalui berbagai penyataan, baik yang dikenal sebagai penyataan umum, seperti penciptaan alam semesta, pemeliharaan alam, penciptaan semua makhluk dsb. maupun penyataan khusus, seperti yang kita kenal melalui firman-Nya dalam kitab suci, penampakan diri kepada nabi-nabi, bahkan melalui inkarnasi menjadi manusia dalam dogma Kristen.
Penyataan-penyataan Tuhan ini menjadi dasar untuk kehidupan beriman dan beragama umat manusia. Melalui wahyu yang diberikan Tuhan, manusia dapat mengenal Tuhan; manusia tahu cara beribadah; memuji dan mengagungkan Tuhan. Misalnya, bangsa Israel sebagai bangsa beragama dan menyembah hanya satu Tuhan (monoteisme) adalah suatu bangsa yang mengimani bahwa Tuhan menyatakan diri terlebih dulu dalam kehidupan mereka. Dalam Perjanjian Lama Tuhan memanggil nabi Nuh kemudian Abraham dan keturunan-keturunannya. Sehingga mereka dapat membentuk suatu bangsa yang beriman dan beribadah kepada-Nya. Tuhan juga memberi petunjuk mengenai bagaimana harus menyembah dan beribadah kepada Tuhan. Kita dapat melihat dalam kitab Imamat misalnya. Semua hal ini dapat terjadi karena Tuhan yang memulainya. Dan tanpa inisiatif dari atas (dari Tuhan) manusia tidak dapat beriman, beribadah dan beragama.
Contoh lain, terjadi juga dalam agama Islam. Tuhan menurunkan wahyu kepada nabi Muhammad. Melalui wahyu yang diterimanya, Muhammad mengajarkan dan menekankan monoteisme di tengah politeisme yang terjadi di Arab. Umat dituntun menyembah hanya kepada Dia, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Melalui wahyu yang diterimanya, Muhammad memiliki keyakinan untuk menobatkan orang-orang Arab yang menyembah banyak tuhan/dewa. Dan melalui wahyu yang diturunkan Tuhan juga, Muhammad mampu membentuk suatu umat yang beragama, beribadah dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dapat disimpulkan bahwa agama dalam perspektif teologi tidak terjadi atas prakarsa manusia, tetapi atas dasar wahyu dari atas. Tanpa inisiatif Tuhan melalui wahyu-Nya, manusia tidak mampu menjadi makhluk religius yang beriman dan beribadah kepada Tuhan. Jadi berbicara soal agama dalam perspektif teologi harus dimulai dengan wahyu Allah atau penyataan yang Allah berikan kepada manusia.
Agama dalam Perspektif Sosiologi
Sosiologi mempelajari masyarakat umum secara sosiologis, namun dalam ilmu sosiologi terdapat cabang ilmu yang mempelajari secara khusus masyarakat beragama, yang di kenal sebagai ilmu Sosiologi Agama. Objek dari penelitian sosiologi agama adalah masyarakat beragama yang memiliki kelompok-kelompok keagamaan. Seperti misalnya, kelompok Kristen, Islam, Budha dll. Sosiologi agama memang tidak mempelajari ajaran-ajaran moral, doktrin, wahyu dari agama-agama itu, tetapi hanya mempelajari fenomena-fenomena yang muncul dari masyarakat yang beragama tersebut. Namun demikian, ajaran-ajaran moral, doktrin, wahyu dapat dipandang sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi fenomena-fenomena yang muncul tersebut.
Atas dasar itu kita juga dapat berbicara tentang wahyu sebagai variabel dari masyarakat yang beragama, meskipun bukan itu yang menjadi titik tolaknya. Lain halnya dengan perspektif teologi, jika dipandang dari sosiologi, agama tidak dilihat berdasarkan wahyu yang datang dari atas, tetapi dilihat atas dasar pengalaman konkrit pada masa kini maupun pada masa lampau. Jadi apa itu agama didasarkan pada pengalaman manusia.
Manusia dalam hidupnya senantiasa bergumul dengan ketidakpastian akan hari esok, keberuntungan, kesehatan dsb. Manusia juga bergumul dengan ketidakmampuannya yaitu untuk mencapai apa yang diharapkan, baik yang bersifat sehari-hari maupun yang ideal. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan manusia. ketidakmampuan ini terus dialami baik oleh manusia primitif maupun modern. Misalnya, mengapa manusia harus mati, bagaimana menghindari kematian, bagaimana menghindari bencana alam dsb. Dalam ketidakmampuan ini manusia mencari pertolongan, juga kepada kekuatan-kekuatan yang ada di luar dunia, yang tidak kelihatan/supranatural.
Dalam pencarian tersebut manusia terus mengalami tahap perkembangan, yaitu mulai dari tahap anismisme, politeisme dan kemudian monoteisme. Pada tahap animisme manusia percaya bahwa semua benda memiliki jiwa atau roh yang dapat memberi pertolongan kepadanya. Sedangkan pada tahap politeisme yang dikenal sebagai tahap yang lebih tinggi dari tahap animisme, di mana manusia telah mengenal konsep-konsep tentang tuhan/dewa yang berada di luar sana. Namun tuhan/dewa tersebut banyak jumlahnya. Dan mereka mulai menyembah tuhan-tuhan mereka sesuai dengan apa yang mereka yakini mampu memberi pertolongan kepada mereka. Tahap terakhir adalah monoteisme sebagai tahap yang tertinggi. Pada tahap ini manusia memiliki konsep tentang tuhan/dewa yang esa, yang tidak terbagi-bagi dan merupakan sumber segala sesuatu yang mampu menolong dan menjawab segala keterbatasan-keterbatasannya.
Dalam mencapai hal tersebut di atas (kebahagiaan) manusia melakukan usaha non-religius selama manusia masih mampu meraih kebahagiaan. Namun, jika usaha ini gagal, maka manusia melakukan metode lain (animisme-politeisme-monoteisme), yaitu dengan kekuatan yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra, namun yang diyakini ada dan dapat membantunya. Bahkan keyakinan itu diwujudkan bukan saja pada saat dia mengalami ketidakmampuan tadi, tetapi juga terus berperan dalam seluruh hidupnya. Yaitu melalui tahap-tahap tadi. Dan inilah yang disebut agama dalam arti luas.
Jadi dalam perspektif sosiologi, sebenarnya agama adalah ciptaan manusia. Lebih jauh lagi sebetulnya manusia menciptakan Tuhan bagi kepentingannya sendiri, yaitu untuk mengatasi ketidakpastiannya, ketidakmampuannya dan keterbatasannya.
Refleksi
Dapat terbuka terhadap berbagai sudut pandang mengenai agama, merupakan modal awal menjadi makhluk religius yang budiman. Memiliki sikap seperti ini akan membawa kita terus bergerak progresif ke arah pemahaman yang lebih dalam mengenai agama, bahkan makna Tuhan itu sendiri. Sehingga kehidupan beragama kita senantiasa mencerahkan, serta mampu membawa kebaikan bagi sesama kita, baik yang beragama maupun yang tidak beragama sekalipun.
Subscribe to:
Posts (Atom)