Kitab Yehezkiel merupakan salah satu kitab yang unik dalam Perjanjian Lama. Selain tata bahasa yang digunakannya sangat baik, dimana para ahli menyebutnya "indah", "tinggi", "ringkas & tepat", kitab ini juga banyak menggunakan gambaran dan bahasa yang bersifat eskatologis (bersifat nubuat untuk hal-hal yang akan datang). Kitab ini cukup banyak dikutip, baik langsung maupun tidak langsung, dalam Perjanjian Baru (65 kali), yang terbanyak adalah dalam Kitab Wahyu (48 kali)[2]. Mengenai periodenya, kitab Yehezkiel termasuk ke dalam periode nabi-nabi kemudian, dalam masa pembuangan dan setelah pembuangan.
Pada Yehezkiel pasal 11:1-13 yang akan menjadi pembahasan berikut, Lembaga Alkitab Indonesia memberi judul “Pemimpin-pemimpin Israel Dihukum”. Namun, para ahli tidak sepakat mengenai judul yang diberikan pada Yehezkiel pasal 11:1-13. Peter C. Craigie misalnya, memberi judul “Kematian di Gerbang Bait Suci”, Daniel I. Block memberi judul “Sebuah Periuk dari yang Bersusah Hati” dan masih banyak lagi dari para ahli yang memberi judul yang berbeda. Namun, dalam pembahasan ini, penulis setuju dengan judul yang diberikan oleh LAI. Hal tersebut dikarenakan dalam perikop ini memang berbicara tentang hukuman Allah kepada para pemimpin Israel yang telah menyimpang dari ketetapan Tuhan.
Latar Belakang
Konteks Luas (dalam kanon)[3]
Jika dilihat dari konteks kanon, kitab Yehezkiel diterima dalam pengkanonan Ibrani sebagai kumpulan kitab-kitab suci. Pengkanonan ini yang kemudian disebut sebagai Kitab Perjanjian Lama yang diterjemahkan ke dalam berbagai terjemahan, seperti Targum, Septuaginta, Vulgata dan terjemahan-terjemahan lainnya. Adapun kitab nabi Yehezkiel digolongkan ke dalam kitab nabi-nabi (Nebiim). Kitab nabi Yehezkiel termasuk ke dalam nabi-nabi yang kemudian, yaitu sebagai nabi-nabi besar. Kitab nabi-nabi ini mulai disusun dalam pembuangan sampai masa setelah pembuangan. Dan justru kitab-kitab nabi-nabi inilah yang memberitahukan runtuhnya Yerusalem serta yang nubuat-nubuatnya kesampaian. Ketiga nabi-nabi besar dan dua belas nabi-nabi kecil, diperkirakan telah dibukukan sebelum tahun 200 SM.
Konteks Terbatas (Penulis)[4]
Kitab Yehezkiel ditulis oleh Yehezkiel sendiri.[5] Latar belakang sejarah Kitab Yehezkiel ialah Babel pada tahun-tahun awal pembuangan (593-571 SM). Nebukadnezar telah membawa tawanan orang Yahudi dari Yerusalem ke Babel dalam tiga tahap:
Ø Pada tahun 605 SM, pemuda-pemuda Yahudi pilihan dibawa ke Babel, antara lain Daniel dan ketiga sahabatnya.
Ø Pada tahun 597 SM, 10.000 tawanan dibawa ke Babel, di antaranya Yehezkiel.
Ø Pada tahun 586 SM, pasukan Nebukadnezar telah membinasakan kota dan Bait Sucinya, lalu membawa sebagian besar orang yang tidak terbunuh ke Babel.
Pelayanan Yehezkiel sebagai nabi terjadi pada masa sejarah PL yang paling gelap: tujuh tahun sebelum kebinasaan itu pada tahun 586 SM (593-586 SM) dan 15 tahun setelah kebinasaan itu (586-571 SM). Kitab ini mungkin selesai sekitar tahun 570 SM. Jadi masa penulisan kitab Yehezkiel dapat diperkirakan terjadi antara tahun 590-570 SM.
Pada masa pembuangan Babel itu, kenabian Israel mengalami perubahan besar. Nabi Yehezkiel dan Deutro-Yesaya merupakan tokoh besar yang mengubah kenabian Israel menjadi gejala kesusasteraan. Bukan hanya itu, nabi Yehezkiel menjadi nabi yang tersendiri, yang bercorak pro-kultus. Yehezkiel mengambil sikap yang positif terhadap kultus, ibadah dan ritus-ritus di tempat suci.[6]
Konteks Sosial-Politik[7]
Kitab Yehezkiel menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi yang diasingkan sejak tahun 597 SM hidup berkelompok-kelompok di daerah-daerah negeri Babel yang kosong atau yang jarang penduduknya. Orang-orang Yahudi dianggap sebagai “transmigran” yang dipakai pemerintah untuk membuka dan mengolah tanah baru. Merekapun dapat berdagang dan mencapai kesejahteraan lumayan. Mungkin sebagian kaum buangan kadang-kadang dikerahkan untuk kerja rodi pada bangunan-bangunan besar yang banyak ditangani raja Nebukadnezar. Kaum buangan Yahudi memiliki kebebasan terbatas. Mereka dipimpin oleh kaum tua-tua yang berulangkali tampil dalam kitab Yehezkiel 8:1, 14:1, dan 20:1.
Tafsiran Teks
Nabi Yehezkiel dibawa dalam penglihatan ke pintu gerbang Timur[8] dari Bait Allah oleh Roh (/rûªH/angin/nafas – tidak jelas apakah rûªH ini adalah Roh Tuhan, karena tidak ada keterangan) Di situ ia mengucapkan nubuatan melawan pemimpin-pemimpin yang menyimpang dari ketetapan-ketetapan Allah. Kata “periuk”[9] yang muncul di ayatnya yang ketiga, mungkin dimaksudkan kepada hati para pemimpin yang telah menyimpang dari ketetapan-ketetapan Tuhan. Mereka mengabaikan peringatan dari nabi-nabi; mereka merasa mampu mengatasi persoalan-persoalan mereka. Mungkin sikap mereka dipengaruhi oleh keberhasilan mereka mengatasi penyerbuan pada tahun 597 SM.[10]
Istilah mengenai “anak manusia” pada ayat 2, merupakan gelar yang digunakan untuk menekankan sifat nabi sebagai manusia, dan ini dimaksudkan untuk membedakan dengan sumber berita itu sendiri, yaitu Allah. Istilah Ben-´ädäm/ben-adam atau “anak manusia” mungkin juga menekankan sifatnya sebagai makhluk insani yang rendah.[11]
Pada ayat 3, frase mengenai rumah yang telah dibangun memiliki banyak arti dan salah satunya mau menyatakan bentuk penolakkan terhadap suatu visi bangunan di masa yang akan datang atau masa depan.[12] Maksud dari ungkapan “Kota inilah periuk dan kita dagingnya” mau menyatakan bahwa tembok-tembok kota akan melindungi mereka, seperti sebuah periuk melindungi daging dari api; karena itu peringatan dari nabi dapat diabaikan.[13]
Ayat 4, Allah menyatakan hukumannya melalui nubuat yang akan diberikan kepada hambanya. Nubuat ini akan menghukum orang-orang yang telah menyombongkan diri sebagaimana yang dikatakan pada ayat 3.
Ayat 5, rumah yang didirikan oleh umat sebenarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri, yang menganggap diri mereka sebagai pengganti yang sah dan yang mewarisi hak-hak yang dikuasai oleh umat Allah.[14] Sebenarnya Allah mengetahui isi hati mereka.
Ayat 6, bangsa Israel telah menyatakan diri sebagai wakil Allah yang sah, misalnya dengan menyatakan bahwa rumah-rumah Israel telah dibangun kembali (ayat 3). Mereka mau menyatakan sebagai orang-orang pilihan yang memiliki arti penting di dunia. Namun, di sisi lain mereka mau mencari posisi yang aman bagi diri mereka, yaitu dengan menumpahkan darah orang yang tidak bersalah.[15]
Ayat 7, hanya orang-orang yang menjadi korban dari persekongkolan pembunuhan itu yang akan menikmati keamanan kota itu. Pembunuh-pembunuh itu akan digiring ke luar (ay. 9) dan akan dihukum (dibunuh) dekat perbatasan tanah Israel (ay. 10). Mengenai penggenapan ayat ini lihat II Raja-raja 25:18-21.[16]
Ayat 8, pedang menunjukkan hukuman Allah atas mereka yang berlaku kejam dan menyimpang dari ketetapan-ketetapan Allah.
Pada ayat 9 sampai ayat 11 menggambarkan bagaimana dahsyatnya hukuman Tuhan atas orang-orang yang menyimpang dari ketetapan-ketetapan Tuhan. Di ayat yang ke-11 dikatakan bahwa tempat penghukuman bagi mereka adalah di tanah Israel meskipun mereka saat ini berada di dalam pembuangan.
Ayat 12, menekankan kembali bahwa ketetapan-ketetapan dan peraturan-peraturan Allah harus menjadi yang utama di dalam hidup umat.
Perikop ini diakhiri dengan teriakan nabi Yehezkiel pada ayat 13, yaitu “Aduh, Tuhan Allah, apakah Engkau menghabiskan sisa Israel?” Yehezkiel mengeluh akan kehancuran Bait Allah, sebagaimana ia mengeluhkan ketika Allah mencurahkan amarah-Nya untuk memusnahkan seluruh sisa Israel (Yeh. 9:8). Sukar untuk memahami bagian ini, terutama yang menyangkut kematian Pelaca bin Benaya. Kemungkinan orang buangan mendengar kelak kematian Pelaca dan dengan takut-takut menghubungkannya dengan penglihatan nabi Yehezkiel tentang penghakiman Allah.[17]
Kesimpulan Teologis
Hukuman Tuhan senantiasa berlaku bagi orang-orang yang menyimpang dari ketetapan-ketetapan-Nya. Siapapun mereka, apakah orang terkemuka, pemimpin rohani atau sekuler, imam ataupun pemuka agama semua tidak lepas dari hukuman Allah, ketika mereka mulai menyimpang dari ketetapan-ketetapan Allah. Serta Orang-orang yang merugikan dan mencelakakan banyak orang, kehidupannya akan berakhir dengan mengenaskan (kematian/pedang).
Hermeneutik dalam Konteks Penulis Teks
Dalam bagian ini penulis mau mengingatkan umat yang berada di pembuangan Babel untuk tetap setia pada ketetapan-ketetapan Allah. Hukuman-hukuman yang digambarkan dalam perikop ini mau menunjukkan keseriusan Allah akan kesetiaan umat-Nya. Keberhasilan umat dalam mengatasi akibat dari serangan pada tahun 597 SM tidak perlu membuat umat menjadi sombong dan mengabaikan peringatan-peringatan para nabi.
Secara ringkas pesan kitab Yehezkiel dalam konteks penulis teks, minimal dapat dilihat dari dua hal berikut:[18]
a. Penulis Melawan Optimisme Orang-orang Buangan
Panggilan Yehezkiel 593 SM adalah setelah empat tahun peristiwa tahun 597, yakni pendudukan dan penjajahan Yerusalem oleh tentara Babel (bnd. II Raj. 24:8-17). Kerajaan Yehuda di bawah pemerintahan Zedekia nampaknya sudah mulai “normal” kembali, sedangkan kaum elit yang terbuang ke Babel itu semakin condong untuk percaya bahwa tidak lama lagi mereka akan pulang ke negeri asalnya (bnd. Yer. 29). Di sisi lain mereka memahami bahwa seakan-akan apa yang menimpa mereka itu bukan peringatan tegas supaya mereka memutar haluan dengan sungguh hati, melainkan hanya serangan oleh nasib malang semata-mata. Yehezkiel diutus untuk menentang optimisme itu. Pertama-tama di antara kaum buangan, di tempat perasingannya sendiri.
b. Menantang Israel, Kaum Pemberontak
Israel telah mendurhaka, yaitu pertama-tama mereka melanggar di bidang ibadah. Namun, pendurhakaan itu tidak terbatas pada bidang ibadah semata-mata. Yehezkiel menentang segala jenis ketidakadilan dan penindasan hukum yang merajarela yang dilakukan oleh umat. Semua lapisan masyarakat di bawah pimpinan raja, pemuka, imam dan nabi (Yeh. 22:23-31) turut memberontak dan kejahatan mereka (Yeh. 22:6-12) justru memperlihatkan bagaimana pelanggaran-pelanggaran terhadap Allah. Selain di bidang “agama”, “susila” dan “sosial” Israel bersalah juga di bidang “politik”, yakni di dalam tindak-tanduk mereka sebagai bangsa yang berhadapan dengan bangsa-bangsa di sekitarnya.
Kecaman Yehezkiel memuncak ketika Yerusalem diumpamakan sebagai “pohon anggur yang tak berguna” (Yeh. 15:1-8). Yehezkiel dalam kecamannya mau menyatakan bahwa, pohon anggur yang bernama Yerusalem itu tak berguna dalam keadaan utuh, maka tak ada gunanya lagi, selain untuk dibakar sampai hangus (ay. 4-6).
Hermeneutik Penafsir dalam Konteks Sekarang
Hukuman Allah tetap berlaku bagi mereka yang menyimpang dari ketetapan-ketetapan Allah atau firmannya. Pemimpin-pemimpin rohani khususnya dalam gereja, seperti Pendeta, Penatua, Majelis jemaat tidak bisa bermain-main dan mengelabui Tuhan dalam pelayanan mereka. Tuhan akan senantiasa konsisten menghukum siapa saja yang mulai menyimpang dari ketetapan-ketetapan-Nya.
Kesimpulan
Yehezkiel 11:1-13 secara khusus berbicara mengenai hukuman Allh kepada umat Israel, khususnya para pemimpin-pemimpin Israel yang menyimpang dari ketetapan-ketetapan Allah. Kebanyakan ahli mengatakan bahwa kitab Yehezkiel ditulis oleh Yehezkiel sendiri. Latar belakang sejarah kitab Yehezkiel ialah Babel pada tahun-tahun awal pembuangan (593-571 SM). Pada masa pembuangan Babel, kenabian Israel mengalami perubahan besar. Nabi Yehezkiel dan Deutro-Yesaya merupakan tokoh besar yang mengubah kenabian Israel menjadi gejala kesusasteraan. Bukan hanya itu, nabi Yehezkiel menjadi nabi yang tersendiri, yang bercorak pro-kultus.
[1] Tulisan ini adalah paper saya dan telah dipresentasikan tanggal 30 April 2009 dalam mata kuliah Hermeneutik Perjanjian Lama IV, yang diampu oleh Dr. Barnabas Ludji.
[2] Paragraf ini dikutip dari: www.gky.or.id/gema2
[3] Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama, (Jakarta: 2005), hal. 10-12.
[4] Dikutif dari situs sabda: www.sabda.org/sejarah/full_life, Kitab Yehezkiel.
[5] Lihat www.gky.or.id/gema2, Pengantar Kitab Yehezkiel.
[6] Prof. Wismoady Wahono Ph.D, Di Sini Kutemukan, (Jakarat: 1994), hal. 251.
[7] Dr. C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama, (Yogyakarta:1991), hal. 270
[8] Pintu gerbang merupakan tembok pertahanan suatu kota. Sebagaimana dujelaskan pada Yeh. 11:1 pintu gerbang Timur adalah pintu yang menghadap ke sebelah timur dari Bait Allah/rumah Tuhan.
[9] Kata sîr pada ayat 3, 7, dan ayat 11 yang dalam LAI diterjemahkan “periuk”, penggunaannya sudah cukup tepat. Kata sîr dapat juga diterjemahkan kail, kait, duri, atau onak. Kata ini dalam penggunaannya di ayat 3, 7 dan 11 selalu dihubungkan oleh partikel konjungsi le> (dan) dengan kata BäSär yang diterjemahkan oleh LAI “daging”.
[10] Tafsiran Alkitab Masa Kini, (Jakarta:2006), 519.
[11] C. Bart, Theologia Perjanjian Lama 4, (Jakarta:1993), 85.
[12] Eichrodt, The Old Testament Library: Ezekiel, (Philadelphia: 1970), 136.
[13] Ibid, Tafsiran Alkitab Masa Kini.
[14] Eichrodt, Ibid, 137.
[15] Eichrodt, Ibid, 138.
[16] Ibid, Tamki, 520.
[17] Dianne Bergant & Robert J. Karis (ed), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, (Yogyakarta:2002), 597.
[18] C. Bart, Ibid, 86-95.
Pada masa pembuangan Babel itu, kenabian Israel mengalami perubahan besar. Nabi Yehezkiel dan Deutro-Yesaya merupakan tokoh besar yang mengubah kenabian Israel menjadi gejala kesusasteraan. Bukan hanya itu, nabi Yehezkiel menjadi nabi yang tersendiri, yang bercorak pro-kultus. Yehezkiel mengambil sikap yang positif terhadap kultus, ibadah dan ritus-ritus di tempat suci.[6]
Konteks Sosial-Politik[7]
Kitab Yehezkiel menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi yang diasingkan sejak tahun 597 SM hidup berkelompok-kelompok di daerah-daerah negeri Babel yang kosong atau yang jarang penduduknya. Orang-orang Yahudi dianggap sebagai “transmigran” yang dipakai pemerintah untuk membuka dan mengolah tanah baru. Merekapun dapat berdagang dan mencapai kesejahteraan lumayan. Mungkin sebagian kaum buangan kadang-kadang dikerahkan untuk kerja rodi pada bangunan-bangunan besar yang banyak ditangani raja Nebukadnezar. Kaum buangan Yahudi memiliki kebebasan terbatas. Mereka dipimpin oleh kaum tua-tua yang berulangkali tampil dalam kitab Yehezkiel 8:1, 14:1, dan 20:1.
Tafsiran Teks
Nabi Yehezkiel dibawa dalam penglihatan ke pintu gerbang Timur[8] dari Bait Allah oleh Roh (/rûªH/angin/nafas – tidak jelas apakah rûªH ini adalah Roh Tuhan, karena tidak ada keterangan) Di situ ia mengucapkan nubuatan melawan pemimpin-pemimpin yang menyimpang dari ketetapan-ketetapan Allah. Kata “periuk”[9] yang muncul di ayatnya yang ketiga, mungkin dimaksudkan kepada hati para pemimpin yang telah menyimpang dari ketetapan-ketetapan Tuhan. Mereka mengabaikan peringatan dari nabi-nabi; mereka merasa mampu mengatasi persoalan-persoalan mereka. Mungkin sikap mereka dipengaruhi oleh keberhasilan mereka mengatasi penyerbuan pada tahun 597 SM.[10]
Istilah mengenai “anak manusia” pada ayat 2, merupakan gelar yang digunakan untuk menekankan sifat nabi sebagai manusia, dan ini dimaksudkan untuk membedakan dengan sumber berita itu sendiri, yaitu Allah. Istilah Ben-´ädäm/ben-adam atau “anak manusia” mungkin juga menekankan sifatnya sebagai makhluk insani yang rendah.[11]
Pada ayat 3, frase mengenai rumah yang telah dibangun memiliki banyak arti dan salah satunya mau menyatakan bentuk penolakkan terhadap suatu visi bangunan di masa yang akan datang atau masa depan.[12] Maksud dari ungkapan “Kota inilah periuk dan kita dagingnya” mau menyatakan bahwa tembok-tembok kota akan melindungi mereka, seperti sebuah periuk melindungi daging dari api; karena itu peringatan dari nabi dapat diabaikan.[13]
Ayat 4, Allah menyatakan hukumannya melalui nubuat yang akan diberikan kepada hambanya. Nubuat ini akan menghukum orang-orang yang telah menyombongkan diri sebagaimana yang dikatakan pada ayat 3.
Ayat 5, rumah yang didirikan oleh umat sebenarnya untuk kepentingan diri mereka sendiri, yang menganggap diri mereka sebagai pengganti yang sah dan yang mewarisi hak-hak yang dikuasai oleh umat Allah.[14] Sebenarnya Allah mengetahui isi hati mereka.
Ayat 6, bangsa Israel telah menyatakan diri sebagai wakil Allah yang sah, misalnya dengan menyatakan bahwa rumah-rumah Israel telah dibangun kembali (ayat 3). Mereka mau menyatakan sebagai orang-orang pilihan yang memiliki arti penting di dunia. Namun, di sisi lain mereka mau mencari posisi yang aman bagi diri mereka, yaitu dengan menumpahkan darah orang yang tidak bersalah.[15]
Ayat 7, hanya orang-orang yang menjadi korban dari persekongkolan pembunuhan itu yang akan menikmati keamanan kota itu. Pembunuh-pembunuh itu akan digiring ke luar (ay. 9) dan akan dihukum (dibunuh) dekat perbatasan tanah Israel (ay. 10). Mengenai penggenapan ayat ini lihat II Raja-raja 25:18-21.[16]
Ayat 8, pedang menunjukkan hukuman Allah atas mereka yang berlaku kejam dan menyimpang dari ketetapan-ketetapan Allah.
Pada ayat 9 sampai ayat 11 menggambarkan bagaimana dahsyatnya hukuman Tuhan atas orang-orang yang menyimpang dari ketetapan-ketetapan Tuhan. Di ayat yang ke-11 dikatakan bahwa tempat penghukuman bagi mereka adalah di tanah Israel meskipun mereka saat ini berada di dalam pembuangan.
Ayat 12, menekankan kembali bahwa ketetapan-ketetapan dan peraturan-peraturan Allah harus menjadi yang utama di dalam hidup umat.
Perikop ini diakhiri dengan teriakan nabi Yehezkiel pada ayat 13, yaitu “Aduh, Tuhan Allah, apakah Engkau menghabiskan sisa Israel?” Yehezkiel mengeluh akan kehancuran Bait Allah, sebagaimana ia mengeluhkan ketika Allah mencurahkan amarah-Nya untuk memusnahkan seluruh sisa Israel (Yeh. 9:8). Sukar untuk memahami bagian ini, terutama yang menyangkut kematian Pelaca bin Benaya. Kemungkinan orang buangan mendengar kelak kematian Pelaca dan dengan takut-takut menghubungkannya dengan penglihatan nabi Yehezkiel tentang penghakiman Allah.[17]
Kesimpulan Teologis
Hukuman Tuhan senantiasa berlaku bagi orang-orang yang menyimpang dari ketetapan-ketetapan-Nya. Siapapun mereka, apakah orang terkemuka, pemimpin rohani atau sekuler, imam ataupun pemuka agama semua tidak lepas dari hukuman Allah, ketika mereka mulai menyimpang dari ketetapan-ketetapan Allah. Serta Orang-orang yang merugikan dan mencelakakan banyak orang, kehidupannya akan berakhir dengan mengenaskan (kematian/pedang).
Hermeneutik dalam Konteks Penulis Teks
Dalam bagian ini penulis mau mengingatkan umat yang berada di pembuangan Babel untuk tetap setia pada ketetapan-ketetapan Allah. Hukuman-hukuman yang digambarkan dalam perikop ini mau menunjukkan keseriusan Allah akan kesetiaan umat-Nya. Keberhasilan umat dalam mengatasi akibat dari serangan pada tahun 597 SM tidak perlu membuat umat menjadi sombong dan mengabaikan peringatan-peringatan para nabi.
Secara ringkas pesan kitab Yehezkiel dalam konteks penulis teks, minimal dapat dilihat dari dua hal berikut:[18]
a. Penulis Melawan Optimisme Orang-orang Buangan
Panggilan Yehezkiel 593 SM adalah setelah empat tahun peristiwa tahun 597, yakni pendudukan dan penjajahan Yerusalem oleh tentara Babel (bnd. II Raj. 24:8-17). Kerajaan Yehuda di bawah pemerintahan Zedekia nampaknya sudah mulai “normal” kembali, sedangkan kaum elit yang terbuang ke Babel itu semakin condong untuk percaya bahwa tidak lama lagi mereka akan pulang ke negeri asalnya (bnd. Yer. 29). Di sisi lain mereka memahami bahwa seakan-akan apa yang menimpa mereka itu bukan peringatan tegas supaya mereka memutar haluan dengan sungguh hati, melainkan hanya serangan oleh nasib malang semata-mata. Yehezkiel diutus untuk menentang optimisme itu. Pertama-tama di antara kaum buangan, di tempat perasingannya sendiri.
b. Menantang Israel, Kaum Pemberontak
Israel telah mendurhaka, yaitu pertama-tama mereka melanggar di bidang ibadah. Namun, pendurhakaan itu tidak terbatas pada bidang ibadah semata-mata. Yehezkiel menentang segala jenis ketidakadilan dan penindasan hukum yang merajarela yang dilakukan oleh umat. Semua lapisan masyarakat di bawah pimpinan raja, pemuka, imam dan nabi (Yeh. 22:23-31) turut memberontak dan kejahatan mereka (Yeh. 22:6-12) justru memperlihatkan bagaimana pelanggaran-pelanggaran terhadap Allah. Selain di bidang “agama”, “susila” dan “sosial” Israel bersalah juga di bidang “politik”, yakni di dalam tindak-tanduk mereka sebagai bangsa yang berhadapan dengan bangsa-bangsa di sekitarnya.
Kecaman Yehezkiel memuncak ketika Yerusalem diumpamakan sebagai “pohon anggur yang tak berguna” (Yeh. 15:1-8). Yehezkiel dalam kecamannya mau menyatakan bahwa, pohon anggur yang bernama Yerusalem itu tak berguna dalam keadaan utuh, maka tak ada gunanya lagi, selain untuk dibakar sampai hangus (ay. 4-6).
Hermeneutik Penafsir dalam Konteks Sekarang
Hukuman Allah tetap berlaku bagi mereka yang menyimpang dari ketetapan-ketetapan Allah atau firmannya. Pemimpin-pemimpin rohani khususnya dalam gereja, seperti Pendeta, Penatua, Majelis jemaat tidak bisa bermain-main dan mengelabui Tuhan dalam pelayanan mereka. Tuhan akan senantiasa konsisten menghukum siapa saja yang mulai menyimpang dari ketetapan-ketetapan-Nya.
Kesimpulan
Yehezkiel 11:1-13 secara khusus berbicara mengenai hukuman Allh kepada umat Israel, khususnya para pemimpin-pemimpin Israel yang menyimpang dari ketetapan-ketetapan Allah. Kebanyakan ahli mengatakan bahwa kitab Yehezkiel ditulis oleh Yehezkiel sendiri. Latar belakang sejarah kitab Yehezkiel ialah Babel pada tahun-tahun awal pembuangan (593-571 SM). Pada masa pembuangan Babel, kenabian Israel mengalami perubahan besar. Nabi Yehezkiel dan Deutro-Yesaya merupakan tokoh besar yang mengubah kenabian Israel menjadi gejala kesusasteraan. Bukan hanya itu, nabi Yehezkiel menjadi nabi yang tersendiri, yang bercorak pro-kultus.
[1] Tulisan ini adalah paper saya dan telah dipresentasikan tanggal 30 April 2009 dalam mata kuliah Hermeneutik Perjanjian Lama IV, yang diampu oleh Dr. Barnabas Ludji.
[2] Paragraf ini dikutip dari: www.gky.or.id/gema2
[3] Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama, (Jakarta: 2005), hal. 10-12.
[4] Dikutif dari situs sabda: www.sabda.org/sejarah/full_life, Kitab Yehezkiel.
[5] Lihat www.gky.or.id/gema2, Pengantar Kitab Yehezkiel.
[6] Prof. Wismoady Wahono Ph.D, Di Sini Kutemukan, (Jakarat: 1994), hal. 251.
[7] Dr. C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama, (Yogyakarta:1991), hal. 270
[8] Pintu gerbang merupakan tembok pertahanan suatu kota. Sebagaimana dujelaskan pada Yeh. 11:1 pintu gerbang Timur adalah pintu yang menghadap ke sebelah timur dari Bait Allah/rumah Tuhan.
[9] Kata sîr pada ayat 3, 7, dan ayat 11 yang dalam LAI diterjemahkan “periuk”, penggunaannya sudah cukup tepat. Kata sîr dapat juga diterjemahkan kail, kait, duri, atau onak. Kata ini dalam penggunaannya di ayat 3, 7 dan 11 selalu dihubungkan oleh partikel konjungsi le> (dan) dengan kata BäSär yang diterjemahkan oleh LAI “daging”.
[10] Tafsiran Alkitab Masa Kini, (Jakarta:2006), 519.
[11] C. Bart, Theologia Perjanjian Lama 4, (Jakarta:1993), 85.
[12] Eichrodt, The Old Testament Library: Ezekiel, (Philadelphia: 1970), 136.
[13] Ibid, Tafsiran Alkitab Masa Kini.
[14] Eichrodt, Ibid, 137.
[15] Eichrodt, Ibid, 138.
[16] Ibid, Tamki, 520.
[17] Dianne Bergant & Robert J. Karis (ed), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, (Yogyakarta:2002), 597.
[18] C. Bart, Ibid, 86-95.