Blog for personal reflection on theology, philosophy, history, sociology, psychology and science.
Hendi Rusli's Blog Founded on October, 2008
Tuesday, September 8, 2009
PERJANJIAN LAMA terhadap SEKITARNYA
I. Siapakah TUHAN, Allah Israel?
Perkembangan atau Perubahan?
Dalam bahasan ini Perjanjian Lama (PL) akan ditinjau dari sudut pandang evolusi. Paham tentang PL sebagai suatu perkembangan atau dipahami sebagai suatu perkembangan (evolusi). Pemahaman ini dimulai di Eropa dan Amerika. Penganut paham ini memahami bahwa dalam setiap bidang kehidupan terjadi perkembangan secara berangsur-angsur, yakni dari taraf yang rendah ke taraf yang lebih tinggi. Seorang ahli yang menganut paham ini mengatakan demikian, “kini kita mengetahui bahwa setiap paham yang terdapat di Alkitab dimulai dengan cara yang primitif dan bersifat kekanak-kanakan, kemudian berkembang dengan teratur dan mencapai puncaknya dalam Injil Kristus...” Dari sudut pandang ini PL dipahami sebagai suatu proses pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan rohani manusia yang selalu meningkat, sehingga pengertian tentang Allah semakin baik dan dalam. Namun pemahaman ini dibantah, dengan alasan sebagai berikut: 1) PL bukanlah buku pegangan bagi perkembangan agama yang bertaraf rendah ke taraf yang lebih tinggi, melainkan buku yang memuat kisah tindakan Allah terhadap umat-Nya. 2) PL sama sekali tidak menaruh minat pada proses evolusi yang dipergunakan sebagai kunci pembuka rahasia agama, sebab paham ini tidak dapat menjelaskan fakta bagaimana lahirnya sebuah persekutuan orang-orang beragama. 3) Seorang penyelidik agama, Rudolf Otto mengatakan bahwa, “Dalam sejarah ada sesuatu yang memberi corak dan “sesuatu” inilah yang membuatnya sungguh-sungguh menjadi sejarah”. Jika “sesuatu” ini dikaitkan dengan sejarah Israel dalam PL maka yang dimaksud adalah penyataan Allah dan pengikraran perjanjian-Nya di Sinai. Inilah awal perubahan total yang dapat dibandingkan dengan revolusi dan perubahan secara keseluruhan sebagai isi dari kepercayaan Israel.
Politeisme Di Sekitar Israel
Dari keterangan arkeologi kita dapat memastikan bahwa pada tahun sebelum 4000 SM sudah terdapat kuil-kuil di Timur Dekat Kuno sebagai tempat di mana ilah-ilah disembah. Kemudian sumber-sumber tertulis juga memberi keterangan bahwa, di Mesopotamia maupun di Mesir, dan juga di Siria-Palestina (millenium ke-3) telah terdapat politeisme bertaraf tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa alam semesta telah dianggap sebagai sesuatu yang berpribadi. Mereka mengadakan hubungan dengan kuasa-kuasa itu melalui pengalaman mereka yang merasakan bukti-bukti kuasa tersebut. Mereka menyadari hidupnya bergantung kepada kuasa-kuasa itu. Mereka memahami bahwa kuasa-kuasa/dewa-dewa itu tak terkatakan banyaknya. Di Mesopotamia misalnya terdapat ribuan dewa. Dewa-dewa tersebut dipercaya sebagai yang mengatur kosmos. Manusia dituntut untuk menjaga keseimbangan antara kuasa-kuasa tersebut dengan dewa-dewa.
Teologi Israel
Dalam PL pemujaan tidak lagi didasarkan pada kuasa-kuasa alam yang dapat mengancam. Akan tetapi pemujaan difokuskan hanya kepada Yahwe yang kepadanya kuasa-kuasa alam tersebut takluk. Langit, gunung, matahari dsb tidak lagi disembah namun semua itu dipahami sebagai yang menceritakan kemuliaan Allah. Yahwe dikenal dan dipuja oleh bangsa Israel bukan karena sebagai pemberi hujan, kesuburan, terang dsb; tetapi karena ia telah memilih Israel menjadi umat-Nya.
Hal lainnya yang menjadi keistimewaan teologi Israel dapat kita lihat misalnya mengenai keilahian yang tidak dinyatakan dengan jalan bayangan jenis kelamin sebagaimana yang terdapat dalam agama Kanaan. Namun demikian, PL juga menggambarkan Allah seperti manusia, memiliki bibir dan lidah, nafas, tangan dsb.
Kepercayaan Israel Sebagai Monoteisme
Kepercayaan Israel yang monoteisme (menyembah satu Allah) sebenarnya saling bertentangan dengan kepercayaan yang ada di sekitar Israel yaitu politeisme (menyembah banyak allah). Namun sebenarnya istilah monoteisme berasal dari pengertian filsafat Yunani. Tetapi meskipun demikian kita dapat mengacu kepada beberapa hal mengenai kepercayaan Israel. Pertama, Israel tidak pernah tiba pada suatu filsafat yang mempersoalkan jumlah Allah atau ilah tetapi yang menjadi penekanan adalah Israel telah dikuasai oleh kehadiran dan kuasa Allah yang esa di tengah banyak allah yang disembah oleh lingkungan di sekitarnya. Kedua, bahwa pokok istilah “monoteisme” sebenarnya adalah praktik monolatri, yaitu kebaktian khusus kepada Yahwe. Kebaktian ini hanya boleh ditujukan kepada Yahwe saja.
II. Apakah Yang Diperbuat TUHAN, Allah Israel ?
Penyataan
Pengetahuan tentang Allah tidak mungkin dapat dipisahkan dari pengetahuan tentang keselamatan. kita mengetahui tentang Allah melalui penyataan-Nya, yaitu perbuatan-perbuatan Allah untuk menyelamatkan umat (Israel). Dan tindakan-tindakan Allah selalu bersifat soteriologis (menyelamatkan), yaitu menolong, melepaskan dan memerdekakan. Namun meskipun demikian, hubungan antara Allah dengan ciptaan seringkali terjadi ketegangan besar. Penyataan Allah melalui kehendak-Nya seringkali diabaikan oleh ciptaan. Oleh karena itu menurut Alkitab, Allah telah menciptakan kehidupan sosial agar kehendak dan hukum-Nya dinyatakan. Allah memberikan hukum-Nya untuk mengatur ketertiban kehidupan sosial. Jadi dapat disimpulkan bahwa penyataan Allah juga ada di dalam Hukum yang diberikan kepada umat. Di samping itu penyataan Allah yang nyata dalam perbuatan-Nya dapat dimengerti ketika Allah berfirman untuk menjelaskan penyataan-Nya tersebut. Bangsa Israel yang dapat keluar dari Mesir tidak menyadari bahwa semua itu karena perbuatan tangan Tuhan yang menolong mereka. Namun, Tuhan menyadarkan mereka melalui firman yang diberikan-Nya kepada Musa sehingga mereka menyadarinya.
Pemilihan
Pemilihan Allah atas umat-Nya yaitu Israel tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang tidak adil dan pilih kasih. Dan tidak juga sebagai pengutamaan atau pengistimewaan segolongan manusia tertentu dari pihak Allah. Namun jika kita bertolak dari Ulangan 9:5-6 nyata bahwa Allah tidak pernah bermaksud untuk meninggikan suatu bangsa di atas bangsa yang lain berdasarkan keadilan-Nya. Namun sebaliknya, pemilihan Allah dapat merupakan suatu beban, yakni beban berat atas kehidupan Israel. Allah memang telah memilih Israel sebagai umat pilihan, tetapi Israel harus membayar dengan harga yang sangat mahal dan Israel harus pula menderita untuk menjadi bangsa pilihan Allah. Konsekuensi sebagai umat pilihan Allah adalah kesetiaan. Israel yang memberontak membuat Allah menyerahkannya kepada kehinaan, musuh-musuh di sekitarnya, kekalahan yang terus-menerus sebagai suatu pembelajaran bagi umat. Bahkan Israel sendiri sebagai umat pilihan mempertanyakan “mengapa Allah telah memilih kami?” dan pertanyaan ini mau menyatakan kehinaan dan kerendahan Israel sebagai umat pilihan. Namun demikian, Allah pada akhirnya selalu menolong pergumulan mereka.
Perjanjian
Perjanjian merupakan wujud di mana pemilihan Allah dikonkritkan sehingga dapat dilihat. Dalam perjanjian itu juga serentak terdapat jawab manusia atas pemilihan Allah. Perjanjian yang menggunakan istilah “berith” dalam bahasa Ibrani mendapat arti yang unik dalam sejarah perjanjian Israel, yakni untuk menyifatkan yang sangat istimewa antara Yahwe dan Israel. Dalam memahami teologi perjanjian ini, kita perlu meperhatikan beberapa hal, yaitu:
- Allah adalah satu-satunya pemberi perjanjian. Ia tidak memaksakannya melainkan menawarkannya.
- Perjanjian merupakan ikatan persekutuan antara Allah dan bangsa Israel.
- Perjanjian bukanlah merupakan ikatan alami antara Allah dengan bangsa, seperti terdapat dalam agama-agama Timur Kuno. Namun Perjanjian ini didasarkan kepada sejarah yang berlangsung antara Yahwe dengan Israel dan atas dasar perbuatan-perbuatan Allah yang berkuasa dan melepaskan Israel sebagai umat-Nya.
- Yahwe adalah tetap menjadi Allah yang kudus yang berkehendak menyucikan umat-Nya. Israel tidak suci dengan sendirinya melainkan karena mereka ditarik ke dalam lingkungan perjanjian dan dibawa ke dalam persekutuan dengan Yahwe. Dalam Perjanjian, Yahwe memberi peraturan, yakni Hukum-Nya (Torah) dan Israel berjanji untuk menaatinya. Dengan melakukan itu Israel disucikan. Jadi dapat disimpulkan bahwa isi Perjanjian itu juga adalah Hukum atau Torah yang telah dibagikan kepada israel.
Jabatan Raja
Perbuatan Allah juga secara implisit dapat terlihat dari jabatan raja yang ada di Israel. Jika kita perhatikan, jabatan raja di Israel berbeda dengan jabatan raja yang ada di sekitarnya. Raja tidak berfungsi sebagai dewa/allah sebagaimana di Mesir. Ataupun sebagai pengatur ketertiban politik yang diberikan oleh dewa-dewa. Jabatan raja yang ada di Israel sebenarnya atas inisiatif umat, yang akhirnya disetujui oleh Yahwe. Meskipun permintaan itu sebenarnya untuk menggantikan posisi Yahwe sebagai raja mereka. Namun tetap saja yang menjadi raja satu-satunya atas mereka adalah Yahwe sendiri. Atau menurut kepercayaan Israel, pemahaman mengenai raja adalah bahwa selain Allah sebagai Raja tidak ada tempat bagi raja sebagai Allah. Yahwe telah mengizinkan adanya raja, namun Ia menghendaki agar raja itu memerintah atas nama-Nya.
Makna Hidup dan Sejarah
Perbuatan Allah nyata dalam kehidupan pribadi lepas pribadi umat Israel sebagai bangsa pilihan Allah. Makna hidup orang Israel dapat dilihat dari tanggung jawabnya secara perseorangan kepada Allah dan terikat kepada-Nya secara perseorangan pula. Dan dengan adanya pandangan tentang ikatan dan kewajiban ini, manusia dapat mengetahui juga cara menerangkan perkara-perkara yang terjadi dalam kehidupannya. Dalam hubungannya dengan janji Allah ini, manusia harus belajar melihat pergantian serta urutan antara kejayaan dan kegagalannya, kesukaan dan kedukaan, kasih dan benci, kebahagiaan dan kemalangan, perang dan damai atau singkatnya “hari-hari yang baik dan buruk” yang akan memberi makna bagi kehidupan manusia dalam sejarahnya.
III. Apakah Yang Dituntut TUHAN Allah Dari Umat-Nya?
Yang dituntut Allah dari umat adalah umat menjadi “bangsa yang kudus” dan menjadi “kerajaan imam” yaitu beribadat kepada Yahwe dan memiliki etika yang baik. Dan ini berarti mengenai hal melayani Allah, baik dalam kebaktian maupun dalam pergaulan dengan sesama.
Hari-Hari Raya Agama Sebagai Hari Peringatan
Israel sebagai imamat yang rajani dan bangsa pilihan Allah dituntut untuk memperingati hari-hari tertentu sebagai hari raya keagamaan. Hari-hari raya yang ada dalam Israel berbeda dengan hari-hari raya di sekitarnya, yang memiliki unsur-unsur magis. Bangsa-bangsa di sekitar Israel percaya bahwa dengan melakukan ritus-ritus keagamaan maka mereka dapat menyebabkan penjelmaan dewata di bumi ini. Mereka mendasarkan hari-hari raya agama dengan cerita-cerita mite. Dan hari-hari raya ini hanya memiliki satu maksud, yakni mengulangi perjuangan yang terjadi antara kuasa-kuasa alam yang berpribadi dengan chaos (kekacauan/kebinasaan).
Dalam kehidupan ibadat bangsa Israel, terdapat tiga hari raya tahunan yang harus dirayakan oleh setiap orang Israel di hadapan Yahwe. Hari-hari raya itu adalah sbb:
Perayaan Paskah
Dalam PL perayaan Paskah dilukiskan kepada kita sebagai perayaan peringatan pembebasan dari Mesir. Perayaan ini dirayakan pertama kali pada malam sebelum keluaran, di mana darah pada kedua tiang pintu dan ambang atas menjadi tanda bagi Allah untuk melewati rumah tersebut. Setelah perayaan Paskah selama tujuh hari berturut-turut mereka harus memakan roti tidak beragi. Sebagai lanjutan dari perayaan Paskah.
Hari Raya Pentakosta
Hari raya Pentakosta sebenarnya bernama “hari raya lepas tujuh minggu” atau “hari raya menuai”. Hari raya ini adalah perayaan pengucapan syukur atas panen, terutama atas panen gandum dan sebagai waktu kesukaan atas karunia Yahwe.
Hari Raya Pondok Daun
Hari raya ini sebelumnya dikenal sebagai hari raya pengumpulan hasil usaha dari ladang. Dalam hari raya Pondok Daun orang Israel selama tujuh hari tinggal di pondok-pondok supaya diketahui oleh keturunan-keturunan orang Israel bahwa Tuhan telah menyuruh orang Israel tinggal di pondok-pondok selama Yahwe membawa mereka keluar dari tanah Mesir. Jadi isi dari hari raya Pondok Daun nyata berisi sejarah keselamatan.
Hari Raya Bulan Baru
Dirayakan sebagai hari raya yang kudus (Bil. 10:10), dengan korban-korban istimewa (Bil. 28:11-14). Dari Amos 8:5 dapat diketahui bahwa pada hari itu pekerjaan tidak boleh dilakukan.
Di samping hari-hari raya di atas ada hari-hari raya lainnya yang kemudian terjadi hanya sebagai hari peringatan atau mengandung arti peringatan. Misalnya seperti hari raya Purim, yakni peringatan akan pertolongan bagi orang Yahudi di Susan (Persia), berkat tindakan Ester dan Mordekhai (lihat kitab Ester). Pada hari raya ini di rumah sembahyang dibacakan kitab Ester.
Dari uraian-uraian di atas kita dapat simpulkan bahwa unsur yang terpenting dari hari-hari raya Israel adalah peringatan akan perbuatan-perbuatan Allah dalam sejarah keselamatan. Bukan sebagai drama pementasan yang menggambarkan persatuan yang serasi antara alam (dunia dewata) dan masyarakat (dunia manusia) sebagaimana yang terdapat pada hari-hari raya kafir di sekitar Israel.
Ibadat/Kebaktian Korban
Hal lainnya yang dituntut dari Allah Israel dari umat adalah persembahan korban. Dan salah satu aspek yang terpenting dari ibadat Israel adalah kebaktian korban. Namun untuk dapat memahami secara teologis mengenai kebaktian korban, maka ada beberapa kesukaran yang dihadapi, yaitu:
- Para pengarang dari kalangan para imam yang banyak menerangkan tentang ibadat korban, ternyata tidak pernah menyusun mengenai “teologi korban”. Mereka hanya menaruh perhatian pada bagaimana pelaksanaannya bukan pada tujuannya (untuk apa?).
- Ibadat korban adalah salah satu contoh terjelas dari pengaruh yang meresap ke Israel dari wilayah sekitarnya.
- Dalam berbagai tingkatan waktu dari sejarah Israel ternyata berlaku juga pelbagai praktek yang sama sekali berbeda.
Dalam dunia kuno, anggapan orang kafir tentang korban terkait dengan anggapan antropomorf (Allah/dewa digambarkan seperti manusia) tentang dewa. Antara manusia dengan dewa terdapat ikatan kekeluargaan, sehingga para dewa menyerupai manusia. Para dewa memerlukan manusia, teristimewa korban dari manusia. Manusia telah diciptakan untuk melayani dewa-dewa. Ibadat korban yang dilakukan terdiri dari hidangan makanan dan minuman kepada dewa-dewa. Dalam naskah kuno di sekitar Israel kita dapat menemukan bahwa “para dewa menyantap korban-korban serta meminum korban minuman”. Dalam naskah Babel ada keterangan bahwa seseorang dapat menghentikan persembahan korban, sehingga dewa mengalami kelaparan lalu mengikuti orang itu sambil merengek-rengek meminta korban. Hanya dengan demikian dewa dapat hidup tentram dan bersikap ramah kepada manusia.
Lain halnya dengan ibadat korban dalam PL di Israel, paham tersebut di atas sangat asing bagi PL. Dalam PL kita tidak mendengar bahwa Yahwe menyantap korban-korban persembahan. Meskipun korban makanan terdapat juga dalam PL, tetapi itu tidak dimaksudkan sebagai santapan untuk Tuhan. Ibadat korban yang dimaksud dalam PL adalah untuk memelihara persekutuan dengan Yahwe, untuk memberikan persembahan sebagaimana dilakukan orang terhadap raja, dan untuk mewujudkan rasa bakti. Kita juga tidak pernah menemukan di dalam PL bahwa Allah tergantung pada persembahan korban manusia. Perbedaan asasi ini diungkapkan dalam PB sebagai berikut, “Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa...” (Kis. 17:24-25).
Inti pokok dari ibadat korban dalam PL dapat dikatakan bahwa, manusia tidak memberikan sesuatu kepada Allah, tetapi segenap kebaktian dan ibadat korban adalah pemberian Allah. Kebaktian korban dilakukan sebagai cara untuk memuliakan nama-Nya, dan terutama sebagai jalan untuk menebus dosa. Kebaktian digunakan untuk memelihara persekutuan dengan Allah yaitu persekutuan yang terjadi oleh perjanjian. Jadi ibadat sudah terangkum dalam perjanjian sebagai dasarnya. Ibadat Israel juga tidak di arahkan kepada ketertiban dalam kosmos, tetapi sekali lagi pada perhubungan yaitu antara Allah dengan umat-Nya. Umat diberi kesempatan untuk memuliakan Yahwe, memelihara persekutuan, dan terutama untuk menerima penebusan dosa. Maka di sini kita mendapati corak kebaktian Israel yang khas, yaitu corak yang berhubungan dengan keinsafan dosa, penyesalan dan kesadaran batin yang dikenal Israel. Keinsafan dosa yang sungguh-sungguh ini tidak terdapat dalam politeisme bangsa-bangsa di sekitar Israel.
Refleksi
Buku yang berjudul PERJANJIAN LAMA terhadap SEKITARNYA, karangan Dr. G.E. Wright dan Dr. A.de Kuiper merupakan buku yang cukup langka, khususnya dalam bahasa Indonesia. Perjanjian Lama ditinjau secara menyeluruh beserta pengaruh-pengaruh yang ada di sekitarnya, seperti kebudayaan, kepercayaan, dsb. yang mempengaruhi apa yang terdapat dalam PL. Penulis berusaha menguraikan dengan padat pengaruh-pengaruh yang ada di sekitar PL, dan ia juga menjabarkan keistimewaan dan kemurnian dari apa yang terdapat di dalam PL.
Di sisi lain Penulis mengatakan bahwa teori evolusi tidak dapat dipakai untuk memahami PL dengan alasan, bahwa PL merupakan buku yang memuat kisah tindakan Allah terhadap umat-Nya; PL sama sekali tidak menaruh minat pada proses evolusi yang dipergunakan sebagai kunci pembuka rahasia agama; dan di dalam PL terdapat “sesuatu” yang memberi corak khusus yaitu penyataan Allah. Namun pernyataan itu memiliki kecenderungan untuk kita dapat mengatakan bahwa, si penulis kurang melihat fakta. Karena faktanya adalah pemahaman manusia akan penyataan yang diterima dari Allah juga terus bergerak progresif dan berevolusi. Puncak penyataan Allah yang diyakini terdapat di dalam diri Yesus Kristus tidak terjadi secara tiba-tiba saja, tetapi melalui proses yang bertahap, baik melalui penyataan ataupun perjanjian. Dan hal itu dimulai pada zaman Nuh, kemudian terus berkembang dan mencapai puncaknya pada zaman Perjanjian Baru, bahkan sampai saat ini pun pemahaman tersebut masih akan terus berkembang dan berevolusi.
(Disadur dari buku Perjanjian Lama Terhadap Sekitarnya, karangan G. Ernesh Whrigt & A.de Kuiper (Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1976.)
Subscribe to:
Posts (Atom)