Labels

Hendi Rusli's Blog Founded on October, 2008

Thursday, November 19, 2009

INDIVIDU DAN KOMUNITAS DALAM PERJANJIAN LAMA


INDIVIDU DAN KOMUNITAS DALAM PERJANJIAN LAMA


Di dalam Perjanjian Lama hubungan antara individu dan komunitas memiliki sesuatu yang unik. Secara hukum atau keagamaan, komunitas di lingkungan Israel Kuno mendapat posisi yang penting. Di lingkungan tersebut kehidupan seorang individu akan dipengaruhi oleh komunitasnya, bahkan dapat dikatakan bergantung kepada komunitasnya. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah dengan demikian peranan individu di lingkungan Israel Kuno menjadi hilang atau melebur di dalam komunitas? Ini adalah pertanyaan yang juga perlu dipikirkan. Melalui paper ini akan diulas mengenai individu dan komunitas di dalam Perjanjian Lama. Pembahasan berikut akan melihat istilah dari ‘individu’ dan ‘komunitas’ itu sendiri. Kemudian akan ditinjau bagaimana komunitas umat di dalam Perjanjian Lama; peranan individu di dalam Perjanjian Lama, serta bagaimana hubungan keduanya. Dari pembahasan tersebut akan ditarik refleksi teologisnya, kemudian relevansinya dalam konteks sekarang.

Terminologi
Menurut KBBI individu sebagai bentuk kata benda adalah pribadi orang atau orang seorang. Individual sebagai kata sifat berkenaan dengan manusia secara pribadi, bersifat pribadi. Sedangkan istilah komunitas menurut KBBI adalah masyarakat atau kelompok orang yang hidup dan saling berinteraksi di dalam tempat tertentu. Istilah ini berasal dari kata komuni, yang dalam bahasa Yunaninya adalah koinonia - koinwni,a artinya persekutuan atau persaudaraan.[1] Dalam bahasa Ibrani kata Ish (Kel. 21:12, 14,20; Bil. 6:2; Ul. 19:11 dsb) atau Ishah sering diterjemahkan dengan ‘seseorang’ dan mengacu kepada pribadi/individu. Di samping itu kata ganti orang pertama tunggal ani atau anoki juga selalu mengacu kepada pribadi seseorang atau individu (misalnya dalam Kej. 46:4; Ul. 26:5 atau Yesaya 65:18). Sedangkan untuk komunitas atau kelompok, sering digunakan kata anahnu sebagai kata ganti orang pertama jamak (Ul. 26:6-9). Namun secara khusus istilah komunitas sering dikenakan kepada:

umat yang memiliki persekutuan dengan Allah, menggunakan kata am (Ul. 1:28, 2:10, 4:6 dsb).
bangsa – goy (Kej. 10:5, Yes. 36:18-20 dsb).
jemaah – qahal (Ul. 33:4); keluarga – mispahah (kej. 46:31). Kata mispahah biasanya dikenakan kepada keluarga besar, yang terdiri dari sanak saudara lainnya, namun tidak lebih dari komunitas suku.

Solidaritas Di Sekitar Israel[2]
Kesadaran akan kesetiakawanan dalam kehidupan orang-orang Timur pada masa lampau dinyatakan di dalam bentuk yang berbeda dari sekedar apa yang kita pahami sekarang ini. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan hidup sebagai pengembara yang kemudian berkembang menjadi kaum petani. Namun hidup sebagai pengembara tetap adalah karakteristik dari kehidupan orang-orang Timur di sekitar Israel. Kaum sebagai suatu unit menentukan struktur-struktur dalam masyarakat dan secara umum kehidupan para anggota kaum di dasarkan pada keagamaan yang mempersatukan pribadi-pribadi menjadi komunitas. Di mana komunitas ini membentuk sikap hidup setiap individu. Dalam komunitas tersebut mereka saling memiliki (rasa ini berakar di dalam struktur masyarakat patriakal), mulai dari unit keluarga, kaum, suku dan seterusnya. Karena asosiasi yang dekat ini, maka konsep dari hukum yang berlaku adalah bersifat kolektif. Kesalahan dari salah satu anggota keluarga atau kaum atau suku akan menuntut juga seluruh pertanggungjawaban keluarga atau kaum atau suku tersebut.

Komunitas Dalam Perjanjian Lama
Suatu komunitas dalam Perjanjian Lama dapat mengacu kepada keluarga, kaum, suku atau bangsa.

Keluarga[3]
Keluarga merupakan komunitas terkecil, yang terdiri dari individu-individu yaitu suami, isteri, semua anak, baik yang sudah menikah maupun yang belum, abdi-abdi, sanak saudara yang tidak memiliki keluarga sendiri, termasuk juga semua pengembara yang kebetulan untuk beberapa waktu tinggal bersama mereka. Di Israel Kuno keluarga memiliki peranan yang cukup penting. Salah satunya adalah dalam hukum. Kepala keluarga atau ayah memiliki tanggung jawab dan kekuasaan hukum atas seisi rumahnya, termasuk anak laki-lakinya yang telah menikah dan memiliki rumah sendiri namun tinggal di tanah milik leluhur mereka.[4] Hal ini misalnya dapat kita lihat dari cerita tentang Gideon dalam kitab Hakim-Hakim. Gideon meskipun telah menikah dan mempunyai anak laki-laki remaja (Hak. 8:20), namun ia masih takut kepada “rumah ayahnya” serta kaum keluarganya (Hak. 6:27), karena itu ia dilindungi oleh ayahnya Yoas (Hak. 6:30-31) dari kemungkinan hukuman mati tanpa perlindungan.[5] Di samping itu Ayah sebagai seorang individu dianggap sebagai asal-usul dan sumber kehidupan, sehingga sebagaimana kisah Gideon, keberadaan anak tergantung dari ayahnya.

Kaum[6]
Sekelompok keluarga yang bersatu dan saling berhubungan membentuk kaum, yang merupakan komunitas yang lebih besar dari keluarga. Ketika sudah menetap kelompok ini membentuk suatu desa. Marga dipimpin oleh para kepala keluarga yang disebut tua-tua. Dalam hukum yang digubah oleh aliran deuteronomis (D), mereka dapat menentukan hidup dan mati seseorang (Ul. 21:18-21). Salah satu keistimewaan marga adalah kesetiakawanannya. Dalam lingkup ini kita mengenal istilah go’el yang diterjemahkan dengan “penebus”. Karena kesetiakawanan kelompok/komunitas, kejahatan yang dilakukan terhadap salah satu warga adalah kejahatan terhadap seluruh kelompok. Karena itu pembalasan pun tidak dilakukan terhadap orang yang bersangkutan, melainkan sanak saudaranya yang sekaum yang disebut sebagai “penuntut darah” (Bil. 35:19).

Suku[7]
Komunitas yang lebih besar dari kaum adalah suku, yang dibentuk oleh beberapa marga yang berasal dari nenek moyang yang sama. Nenek moyang yang sama adalah dasar yang kuat bagi kesetiakawanan mereka. Nenek moyang juga dipakai untuk menjelaskan hubungan antar suku. Keduabelas suku Israel yang membentuk satu bangsa di bawah Daud mendasarkan kesatuan mereka pada keduabelas suku anak Yakub. Kesetiakawanan dalam suku sangat dekat dengan kesetaikawanan dalam marga. Misalnya, Abimelekh meminta bantuan kepada saudara-saudaranya sedarah untuk mendukung usahanya menjadi raja (Hak. 9). Tanggungjawab tidak terletak pada pribadi, tetapi pada keluarga. Jika persoalannya besar maka tanggungjawab itu diletakkan pada suku dan bahkan pada angkatan selanjutnya. Misalnya, ketika Akhan melanggar hukum yang keras dan mencuri di kota Yerikho yang hancur, dikatakan bahwa Israel berdosa (Yos. 7:1, 11).

Bangsa
Menurut Eichrodt,[8] umat Israel yang membentuk suatu komunitas yang lebih besar dari sekedar keluarga, marga, ataupun suku menjadi suatu bangsa yang besar dipengaruhi oleh situasi sejarah. Yaitu, dari situasi sebagai suku-suku pengembara/nomaden, umat Israel berkembang menjadi suku-suku yang menetap dan memiliki tanah air. Dari hal ini mereka memiliki kesadaran untuk membentuk suatu bangsa dengan seorang raja yang menjadi pemimpinnya sebagaimana yang mereka lihat pada bangsa-bangsa sekitarnya. Dari segi politik[9] Israel merupakan suatu bangsa yang bersatu hanya selama pemerintahan Daud dan Salomo. Setelah itu ada dua bangsa, yaitu Israel dan Yehuda. Sesudah Samaria jatuh hanya terdapat sisa yang merupakan sisa yang tidak pernah memperoleh kembali kekuasaan politik. Oleh karena itu dalam PL, Israel lebih dipandang sebagai suatu komunitas religius daripada suatu bangsa.

Individu Dalam Perjanjian Lama
Menurut Preuss[10] setiap orang Israel melihat dirinya sebagai seorang anggota dari komunitasnya (apakah keluarga, kaum, suku atau pun bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah). Ada suatu hubungan yang sangat dekat antara individu dan komunitas. Misalnya, Yakub adalah nenek moyang dari suku-suku Israel tetapi juga bagi orang-orang Israel secara keseluruhan. Contoh lain, di dalam kitab Ulangan 26:5-9 mengenai penggunaan kata ani sebagai bentuk tunggal dengan kata anahnu sebagai bentuk jamak, seringkali penggunaannya tidak dapat dibedakan. Kata ani sering juga mengacu atau mewakili suatu komunitas. Nama-nama nenek moyang suku-suku Israel sebagai individu di dalam beberapa kitab, misalnya dalam Kejadian 49 atau Ulangan 33 mewakili suku-suku secara keseluruhan. Demikian Juga halnya dengan Esau yang mewakili Edom dalam Kejadian 27; Ohola yang mewakili Israel/Samaria dan Oholiba mewakili Yehuda/Yerusalem dalam Yehezkiel 23; seorang wanita bernama Gomer yang mewakili Israel sebagaimana dicatat dalam Hosea 1 & 3; demikian juga karena kesetiaan Abraham, seluruh keturunannya diberkati; dalam 2 Samuel 7, pilihan atas Daud berarti pilihan atas seluruh umat. Dari contoh-contoh tersebut dapat ditegaskan bahwa hubungan individu dan komunitas begitu erat. Abraham dan Daud adalah dua pribadi namun mereka mewakili komunitas Israel.

Di sisi lain Paul Joyce[11] mengemukakan bahwa, sebagai keluarga dekat atau anggota rumah tangga, orang Israel kuno biasanya menganggap dirinya sebagai bagian dari sebuah keluarga besar. Dan lebih luas lagi, ia pun menganggap dirinya sebagai bagian dari salah satu suku Israel. Serta yang terpenting adalah bahwa orang Israel sadar sebagai bagian dari salah satu “Anak-anak Israel” umat Allah. Yahweh pertama-tama dan terutama adalah Allah bangsa Israel; dan dapat dikatakan bahwa Dialah satu-satunya Allah bagi seorang individu Israel sejauh individu itu ikut serta dalam bangsa Israel, yang menganggap dirinya sebagai umat pilihan Allah yang memiliki hubungan yang khusus dengan Yahweh.

Hubungan Individu dengan Komunitas
Menurut H. Wheeler Robinson[12] yang dikutif oleh Paul Joyce, bangsa Israel mempunyai “kepribadian kelompok”. Di kalangan Israel kuno, batas-batas kepribadian seorang individu tidak ditentukan dengan jelas dan kebanyakan bagian PL harus dipahami dalam terang bahwa individu tidak dibedakan dari kelompoknya. Misalnya dalam cerita Akhan dalam Yosua 7, kesalahan satu orang diperluas kepada kelompoknya. Mulanya keseluruhan bangsa Israel dikalahkan dalam pertempuran, tetapi ketika Akhan diisolasikan sebagai tertuduh, seluruh keluarganya pun dihukum mati bersamanya. Bagi Robinson, kepribadian Akhan dianggap meluas kepada kelompoknya. Namun di sisi lain para ahli mengatakan bahwa keluarga Akhan dihukum mati bersamanya bukan karena diri Akhan secara pribadi meluas kepada keluarganya; sebaliknya bahwa keluarga Akhan dianggap sebagai harta miliknya. Kehancuran keluarganya adalah bagian dari penghukuman Akhan. Di sini terlihat bahwa moralitas, hukum, dan agama dalam Perjanjian Lama yang menjadi satuan yang penting adalah bukan individu melainkan komunitas. Orang Israel berpaling kepada keluarganya untuk mendapat bantuan dan perlindungan, khususnya apabila miliknya dan kelanjutan namanya terancam.[13] Misalnya dalam Ulangan 25:5-10 digambarkan, ketika seorang laki-laki meninggal dan meninggalkan jandanya yang tidak mempunyai anak, saudara lelakinya diharapkan akan menikahi mantan isterinya, dan anak pertama dari perkawinan itu akan meneruskan nama dari si suami yang telah meninggal tersebut, sehingga namanya tidak akan lenyap dari Israel. Hal lain yang dapat kita lihat mengenai hubungan antara individu dan komunitas dalam PL adalah:

Tentang Tujuh Keturunan Saul yang Dihukum Mati dalam 2 Samuel 21:1-9.
Diceritakan bahwa pada masa Daud terjadi kelaparan selama tiga tahun berturut-turut di negeri Israel. Daud menanyakan hal ini kepada Tuhan, dan ternyata bencana ini diakibatkan oleh Saul dan keluarganya yang memiliki hutang darah, karena Saul telah membunuh orang-orang Gibeon.[14] Daud meminta orang Gibeon agar mereka sendiri yang menentukan syarat yang harus dipenuhi untuk memulihkan keadaan mereka. Orang Gibeon meminta agar Daud menyerahkan tujuh anak laki-laki Saul kepada mereka untuk digantung di hadapan Tuhan di Gibeon, di Bukit Tuhan.
Dari cerita ini terlihat bahwa hubungan antara Saul sebagai Individu sangat kuat dengan keluarganya sebagai komunitas. Saul telah mati dan tidak dapat menebus kesalahannya, oleh sebab itu keluarganya bertanggungjawab atas hal itu.[15]

Tentang Penebus Dalam Im 25:25, 39-43
Bagian ini mengatur mengenai relasi kekeluargaan berkenaan dengan penebusan. Apabila seorang yang miskin terpaksa menjual tanahnya atau bahkan dirinya sendiri menjadi budak, seorang sanak keluarganya yang terdekat diharapkan bertindak sebagai go’el atau penebus agar hak miliknya atau saudara yang miskin itu kembali berada di tengah keluarganya. Perlu dicatat bahwa saudara – akh yang dapat menebus adalah anggota kaum, suku atau bangsa yang sama.[16]

Refleksi Teologis
Solidaritas seseorang dengan sesamanya atau komunitasnya merupakan hal yang berkenan dan dikehendaki Allah. Tuhan menghendaki agar umat-Nya dapat belajar untuk mengasihi sesamanya, setiap individu sebagai pribadi yang unik ciptaan Allah harus menjadi bagian dari komunitas umat Allah. Salah satu Solidaritas Allah kepada umat-Nya yang paling nyata adalah melalui hukum dan peraturan-peraturan-Nya yang berfungsi untuk mengatur relasi umat dengan sesamanya. Di samping itu, kita juga dapat melihat solidaritas Allah melalui perjanjian-Nya dengan Nuh, pemilihan Abraham serta pemilihan bangsa Israel sebagai umat-Nya.

Relevansi
Hubungan antara individu dan komunitas sebagaimana yang dipahami dalam Perjanjian Lama masih sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan masa kini, khususnya dalam kehiduapan berkeluarga dan bahkan bermasyarakat. Dalam kehidupan di keluarga, kita sebagai pribadi adalah bagian dari anggota keluarga yang lainnya. Ikut mendidik adik kita atau keponakan agar menjadi baik adalah tanggungjawab kita juga sebagai bagian dari anggota keluarga. Dalam kehidupan bermasyarakat kita dapat saling peduli dengan tetangga, saling menolong, menjaga keamaman dan kebersihan lingkungan dsb. Wujud solidaritas kita dapat dilakukan melalui pastisipasi kita dalam kegiatan kerja bakti misalnya, atau turut serta dalam siskamling untuk menjaga keamaman lingkungan sekitar. Dengan menerapkan prinsif solidaritas tersebut, maka akan tercipta rasa saling peduli, rasa memiliki dan akhirnya tercipta kesejahteraan bagi lingkungan dan komunitas bersama.





KEPUSTAKAAN


Browing, W.R.F. Kamus Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2007.

Eichrodt, Walther. Theology of The Old Testament:Vilume Two. English, Tottenham Road: SCM Press Ltd. 1967.

Paterson, Robert M. Kitab Imamat. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2002.

Preuss, Horst D. Theology of the Old Testament: Vol. 1. English: Wesminster John Knox Press. 1995.

Rogersen, John. Studi Perjanjian Lama Bagi Pemula. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1997.

Rothlisberger, H. Tafsiran 2 Samuel. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1970.

Suharyo. Mengenal Alam Hidup Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius. 1992.

Tim Prima Pena. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gitamedia Press.

Wright, Christopher. Hidup Sebagai Umat Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2007.



[1] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta:2007), 210.
[2] Walther Eichrodt, Theology of the Old Testament: Volume Two, (English:1967), 233-234.
[3] Suharyo, Mengenal Alam Hidup Perjanjian Lama, (Yogyakarta:1992), 67.
[4] Dr. Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah, (Jakarta:2007), 158-159.
[5] Ibid
[6] Suharyo, Ibid, 68-69
[7] Suharyo, Ibid, 69.
[8] Eichrodt, Ibid, 253.
[9] Suharyo, Ibid, 71-72.
[10] Horst D. Preuss, Theology of the Old Testament Vol. 1, (English:1995), 60-61.
[11] John Rogerson, Studi Perjanjian Lama Bagi Pemula. (Jakarta:1997). 79.
[12] Rogerson, Ibid, 80-82.
[13] Rogerson, Ibid, 79.
[14] Dr. H. Rothlisberger, Tafsiran 2 Samuel, (Jakarta:1970), 154.
[15] Ibid, 155.
[16] Dr. Robert M. Paterson, Kitab Imamat, (Jakarta: 1997), 338.

Wednesday, November 11, 2009

EKSPOSISI AMSAL 31:1-9


Sebagaimana telah disinggung oleh kebanyakan ahli, kitab Amsal dapat digolongkan sebagai sastra kebijaksanaan dalam Perjanjian Lama. Kitab Amsal berisi banyak ajaran dan nasehat untuk memperoleh cara hidup yang baik dan bahagia. Ajaran atau nasehat-nasehat tersebut dibungkus dalam bentuk pribahasa atau petuah. Banyak di antaranya adalah petunjuk-petunjuk praktis dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, petunjuk dalam hal pekerjaan, relasi dengan sesama, dan bahkan di dalam kehidupan berkeluarga. Dalam pembahasan berikut, Amsal pasal 31:1-9 berbicara mengenai nasehat seorang ibu kepada anaknya. Yaitu ibu yang bijaksana dan peduli kepada anaknya yang telah manjadi pemimpin.

Eksposisi yang disajikan berikut bersifat praktis dan sederhana. Namun dari hal yang praktis itu kita dapat mengambil maknanya. Bagian pertama dalam bahasan berikut akan meninjau latar belakang kitab Amsal, khususnya pasal 31:1-9. Setelah itu tafsiran singkat Amsal 31:1-9. Dari hasil tafsiran tersebut akan diangkat relevansinya untuk konteks sekarang.

Latar Belakang
Menurut Weiden,[1] kitab Amsal tidak ditulis sekali jadi oleh seseorang ataupun oleh sekelompok orang. Jika diperhatikan dengan teliti dalam kitab Amsal terdapat kalimat-kalimat berikut, “Amsal-amsal Salomo” (10:1), Juga ini adalah amsal-amsal dari orang bijak” (24:23), “Perkataan Abur Bin Yake dari Masa”. Hal ini memperlihatkan bahwa kitab Amsal tidak disusun sekaligus, tetapi sedikit demi sedikit tumbuh sebagai hasil dari penggabungan. Jika dilihat dari masa periodenya, bentuk terakhir dari kitab Amsal berasal dari zaman Yudaisme, kemungkinan sekali setelah periode Ezra.[2]

Kitab Amsal khususnya pasal 31:1-9 tidak memberikan keterangan yang eksplisit mengenai siapa itu Lemuel, demikian juga dengan ibu Lemuel yang memberi pengajaran di dalam perikop ini. Hanya ada sedikit keterangan mengenai Lemuel, yaitu bahwa ia seorang raja. Tidak jelas apakah raja di Israel atau raja di luar Israel, namun kemungkinan Lemuel adalah seorang raja di luar Israel. Di sisi lain Amsal 31:4-5 memiliki kemiripan dengan amsal-amsal di amenemope[3] dalam Ajaran Ani yang berbicara mengenai minuman keras. Hal ini memberi sinyalir bahwa Amsal 31:1-9 kemungkinan besar berasal dari luar Israel (Timur Dekat Kuno) yang kemudian diambil dan dimasukkan ke dalam sastra kebijaksanaan Israel (kitab Amsal). Namun yang menjadi pertanyaan, apakah dengan demikian Amsal ini memiliki makna teologis? Atau bersifat teologis? Perlu diketahu bahwa penyataan-penyataan Allah tidak hanya terjadi di lingkup intern Israel semata. Ada yang dinamakan sebagai Tertib Ilahi, di mana penyataan Allah ditanamkan juga dalam alam semesta pada waktu penciptaan.[4] Tata tertib Ilahi ini menjadi sumber aturan kehidupan manusia di dalam alam, juga dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan bahkan dalam kehidupan sehari-hari di keluarga. Jadi dapat dikatakan bahwa Amsal 31:1-9 memiliki makna dan sifat teologis meskipun tidak berasal dari lingkup intern umat Israel.


Penjelasan Amsal 31:1-9[5]

Ayat 1-2
Bagian ini memberikan pengantar dari perkataan Lemuel yang ia dapat dari pengajaran ibunya. Dilihat dari gaya penulisan, ayat 2 merupakan sebuah contoh menarik mengenai pararelisme tangga di mana setiap anak kalimat mengulangi sesuatu dari anak kalimat sebelumnya, namun juga menambah sesuatu yang baru. Terjemahan harfiah dari ayat 2 kelihatan seperti berikut:

Apa, anakku?
Apa, anak kandungku?
Apa, anak nazarku?

Ayat 3
Si ibu memperingati putranya mengenai dua kejahatan, yaitu seks dan alkohol. Ayat ini secara khusus memperingatkan kita agar tidak membuang-buang tenaga karena perempuan atau kehilangan semangat karena perempuan. Jika hal ini dikaitkan dengan Salomo, maka kehidupan seks yang berlebihan menjadi kelemahan baginya, bahkan ia menjauh dari Tuhan.

Ayat 4-7
Bagian ini lebih banyak berbicara mengenai alkohol. Peringatan ini bukan saja penting bagi Lamuel tetapi juga bagi semua raja, pangeran atau orang yang berkedudukan tinggi.
Ayat 6 dan 7 mencatat mengenai anggur bagi orang yang sedang “binasa” atau “susah hati”. Orang yang jatuh ke dalam minuman keras hidupnya seakan-akan tidak memiliki harapan lagi, dan hal ini tidak pantas bagi raja.

Ayat 8-9
Kedua ayat ini adalah nasehat positif untuk Lamuel. Sang ibu mendorong agar putranya berpihak kepada orang-orang miskin dan lemah. Seorang pemimpin tidak hanya harus terlepas dari kejahatan tetapi juga harus berusaha menolong orang yang dipimpinnya.

Relevansi Dalam Konteks Sekarang
Amsal 31:1-9 memberi peringatan yang tegas mengenai bahaya minuman keras dan perempuan. Hal ini dengan jelas ditujukan kepada mereka (kaum lelaki) yang memiliki kuasa, jabatan dan harta benda. Minuman yang memabukan dapat memberi kenikmatan, tetapi di sisi lain membuat kita terlena dan kecanduan bahkan melupakan tugas dan tanggung jawab kita. Demikian juga halnya dengan perempuan, ia dapat memabukan kita bahkan membuat kita tidak berdaya. Peringatan ini sangat krusial bagi para pemimpin yang menjadi panutan banyak orang dan menentukan nasib banyak orang. Minuman keras dan perempuan dapat membuat para pemimpin atau yang memiliki kuasa menjadi tidak berdaya. Tidak hanya pemimpin-pemimpin besar seperti dalam pemerintahan misalnya, tetapi juga pemimpin di keluarga, seorang laki-laki sebagai kepala keluarga harus berhati-hati dengan perempuan dan minuman keras.

Lebih jauh dari hal di atas, amsal ini juga ditujukan bagi semua kaum laki-laki, terkhusus kaum muda. Seorang pemuda yang memiliki dedikasi tinggi, kecerdasan, tubuh yang sehat, wibawa dsb. jangan sampai karena seorang wanita menjadi seperti orang bodoh tidak berdaya, tidak mau belajar, murung, bahkan menjadi sakit-sakitan. Minuman keras sebagai pelarian bagi anak muda perlu diwaspadai, karena jika tidak ia akan menghancurkan masa depannya. Tentunya Tuhan menginginkan agar anak-anakNya menjadi bijaksana dalam menyikapi setiap segi kehidupan. Tuhan juga menginginkan agar kita terlepas dari bahaya akan minuman keras dan perempuan yang menghancurkan hidup kita.

Refleksi
Amsal 31:1-9 merupakan amsal yang berasal dari luar Israel. Meskipun berasal dari luar Israel, Amsal ini tetap memiliki makna teologis. Hal tersebut didasarkan pada Tertib Ilahi yang tertanam di alam semesta untuk mengatur hal yang baik bagi kehidupan manusia. Secara khsusus amsal ini berbicara mengenai bahaya dari minuman keras dan perempuan. Hal ini masih sangat relevan bagi kehidupan kita saat ini. Dan bahaya ini tidak hanya ditujukan kepada para pemimpin atau mereka yang memiliki kekuasaan, namun juga kepada setiap kaum laki-laki. Mereka diajak untuk bersikap bijak terhadap wanita yang dicintainya, serta tidak terjebak di dalam kenikmatan minuman keras yang memabukan.

[1] Dr. Win van der Weiden, Seni Hidup, (Yogyakarta:1995), 48-49.
[2] Pdt. Dr. Barnabas Ludji, Diktat kuliah Hermeneutik PL III: Kitab Amsal, 10.
[3] Tremper Longman III, Hikmat dan Hidup Sukses, (Jakarta: 2007), 91.
[4] Pdt. Ishak Roedy, M.Th., Catatan kuliah: Studi Amsal, (Cipanas: 10 September 2009).
[5] Robert L. Alden, Tafsiran Praktis Kitab Amsal, (Malang:2002), 289-290.