Hegel memandang bahwa Revolusi Perancis memainkan peranan penting dalam manusia menggunakan nalarnya, serta berani menundukkan realitas menurut standar yang rasional.
[2] Hegel menghubungkan konsep rasionya (intelek/nalar) dengan Revolusi Perancis, bahwa “tidak ada yang bisa dianggap sah dalam konstitusi kecuali ia dinilai benar oleh rasio”.
[3] Rasio bagi Hegel adalah sebagai tolok ukur yang menentukan suatu peraturan dapat dipakai atau tidak, atau dengan perkataan lain suatu peraturan akan sah bila masuk akal atau rasional.
Hegel kemudian berbicara mengenai “kesadaran universal” dan “Roh Absolut”. Thomas Hidya Tjaya
[4] memaparkan dua alasan mengapa Hegel berbicara hal ini. Pertama, di Eropa pada abad ke-19 sedang berkembang orientasi budaya yang baru, yaitu aliran romantik (romanticism) yang menekankan pembebasan emosi manusia dan ungkapan bebas kepribadian dalam karya-karya artistik. Gerakan ini (lihat footnote 61) merupakan kritik atas zaman rasionalisme pencerahan yang mengagung-agungkan peranan akal budi. Alasan kedua, pada periode yang hampir bersamaan, Eropa mengalami perang dan pergolakan. Di antaranya adalah Revolusi Inggris (1688) yang mengikis habis hak-hak ilahi para raja. Kemudian Revolusi Perancis (1789-1799) yang menghancurkan kekuasaan monarki yang selama ini didukung dan dilanggengkan oleh pihak gereja. Hegel mengalami pergolakan ini, namun ia memandangnya sebagai kelahiran dunia baru, yaitu realisasi dari apa yang ia sebut sebagai “Roh”,
[5] yang bertujuan menyempurnakan umat manusia melalui kebebasan yang diperoleh dari perang yang terjadi di mana-mana. Perjuangan demi kebebasan bagi Hegel adalah bentuk kesadaran manusia yang baru, yang akan terjadi pada semua orang (bersifat universal) sebagai manifestasi diri dari “Roh”. Dan gerak “Roh” inilah yang kemudian akan menjadi tema utama dalam sistem filsafat Hegel.
Meskipun Hegel hidup di era romantisisme sebagaimana disinggung di atas, filsafat Hegel tidak bercorak romantik. Filsafat Hegel lebih kental dengan warna idealisme,
[6] di mana pemikirannya dipengaruhi oleh filsuf-filsuf Jerman yang lebih dulu bergulat di dunia filsafat. Salah satu tokoh yang sangat mempengaruhi idealisme Jerman adalah Immanuel Kant. Dalam uraian Hamersma
[7] Kant mencoba mendamaikan antara empirisme (yang bertolak dari pengalaman indera) dengan rasionalisme (yang bertolak dari akal budi). Ia menekankan bahwa pengetahuan selalu merupakan “kerja sama” antara kedua unsur ini – indera dan akal budi, dan pengetahuan selalu merupakan sebuah sintesis. Hamersma mengutarakan bahwa Kant yang mempersatukan rasionalisme dan empirisme dalam suatu sintesis merupakan titik pangkal suatu periode baru, yaitu zaman idealisme (khususnya di Jerman). Menurut Kant,
[8] pengalaman kita mengenai dunia ditentukan oleh struktur akal-budi. Kant membedakan antara “dunia-penampakan” (fenomena) dengan “dunia-pada-dirinya-sendiri” (noumena). Misalnya, jika kita memakai kaca mata merah, maka semua yang nampak (fenomena) akan berwarna merah, meskipun apa yang kita lihat belum tentu berwarna merah (noumena). Menurut Kant, “dunia-pada-dirinya-sendiri” tidak dapat diketahui oleh manusia. Dalam idealisme setelah Kant (poskantian), yang dibangun oleh Fichte, Schelling dan kemudian Hegel, konsep tentang adanya “dunia-pada-dirinya-sendiri” ditolak. Mereka, khususnya Hegel telah mengembangkan filsafat yang berpusat pada dunia kesadaran, yaitu kesadaran universal yang bekerja di alam dan dalam kesadaran manusia.
[9] Dalam pandangan idealisme Hegel, apa pun yang nyata pasti dapat diketahui.
[10]
Schelling adalah orang ketiga yang cukup memberi pengaruh kepada pemikiran Hegel. Schelling mengajarkan Idealisme Objektif. Menurut Magee,
[13] Schelling dalam karyanya Philosophy of Nature, mengambil pandangan yang bertentangan dengan Fichte: bukan alam atau benda-benda yang merupakan ciptaan aku (subjek-pikiran), tetapi sebaliknya, aku (pikiran) adalah ciptaan alam. Baginya, segala sesuatu adalah sebuah proses tunggal, proses alam sebagai suatu keseluruhan. Alam yang dimaksud Schelling di sini adalah tidak hanya terdiri dari materi yang berada dalam ruang dan waktu; namun dunia alam itu seperti sebuah organisme raksasa yang kaya dengan kehidupan dan potensi, yang berubah secara terus-menerus, tumbuh dan berkembang, dan manusia (subjek-aku) adalah bagian darinya. Gaarder berpandangan, bahwa alam yang dimaksud Schelling adalah apa yang disebut sebagai “Roh dunia”
[14] yang nanti akan dibahas dalam filsafat Hegel. Hegel telah menggabungkan garis pemikiran Fichte dan Schelling di dalam kerangka dialektis menjadi Idealisme Absolut. Bagi Hegel, baik subjek maupun objek, keduanya aktif saling berinteraksi membentuk apa yang ia sebut sebagai “Roh Absolut”. Hal ini menurut Hegel, terjadi dalam kerangka intelek / Vernunft melalui dialektika, dari tesis, antitesis dan sintesis. Idealisme Subjektif Fichte dapat dipandang sebagai tesis, dan antitesisnya adalah Idealisme Objektif Schelling, keduanya menjadi sintesis di dalam Idealisme Absolut Hegel.
[1] Herbert Marcuse, Rasio dan Revolusi, terj. Imam Baehaqie (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 3.
[2] Marcuse, Rasio dan Revolusi, 3. Dalam bahasa Latin ratio berarti hubungan, pikiran. Dalam bahasa Yunani terdapat tiga istilah yang secara garis besar sama artinya: phronesis, nous, dan logos. Beberapa pengertian umum antara lain: 1) Kemampuan untuk melakukan abstraksi, memahami, menghubungkan, merefleksikan, memperhatikan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan, dsb. 2) Kemampuan untuk menyimpulkan. Rasio berbeda dengan kemampuan kehendak, kemampuan perasaan, kemampuan intuisi, dsb. Marcuse menggunakan kata “ratio” untuk menjelaskan kata Vernunft, sedangkan Tjahjadi menerjemahkan kata Vernunft dengan “intelek”. Sebenarnya kedua istilah ini terkait erat dan pada intinya sama, yaitu mengacu kepada kemampuan berpikir manusia (pikiran).
[3] Karl Marx, “Zur Kritik der Hegelschen Rechtsphilosophie” – Menuju Kritik terhadap Falsafah Hukum dari Hegel (Moskou: Franfurt M, 1927), 619 dikutip dalam Herbert Marcuse, Rasio dan Revolusi, terj. Imam Baehaqie (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 5.
[4] Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri (Jakarta: KPG, 2004), 6-9.
[5] Dalam bahasa aslinya (Jerman) adalah Geist; dalam bahasa Inggris diterjemahkan spirit, yang berakar dari bahasa Latin spiritus (roh, nafas). Istilah Yunaninya adalah psyche atau lebih tepatnya pneuma, istilah ini menunjuk pada prinsip kehidupan. Para ahli berpendapat bahwa sulit untuk mencari padanan kata ini dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris. Kata ini memiliki berbagai macam arti atau makna, misalnya: 1) prinsip hidup yang menggerakan setiap makhluk; 2) tekad batin atau kehendak; 3) pikiran atau kesadaran. Menurut Lorens Bagus, para filsuf kuno menganggap roh sebagai kegiatan pemikiran abstrak. Bagi Aristoteles misalnya, kegiatan roh tertinggi adalah pemikiran tentang pemikiran. Bagi mereka roh juga dianggap sebagai prinsip adirasional yang ditangkap secara langsung dan intuitif. Pandangan ini menurut Bagus berhubungan erat dengan agama. Menurut agama, roh tertinggi adalah Tuhan Ada Adikodrati, yang hanya bisa dikenal melalui iman. Filsuf lain seperti Telesio melihat bahwa roh adalah suatu distingsi awal – yang bukan merupakan ciri khas perkembangan-perkembangan kemudian. Telesio mengintrodusir ide roh sebagai materi halus dan prinsip seluruh gerakan alam semesta. Ide roh dengan pengertian ini sebenarnya telah dipahami dan terjadi dalam gerakan idelisme abad ke-19. Dan Fichte menyumbang pengertian semacam ini, dengan menyatakan bahwa tujuan kehidupan merupakan perkembangan tata rohani. Menurut Bagus, Hegel juga mempunyai tujuan yang sama. Hegel melihat roh sebagai kesatuan kesadaran-diri dan kesadaran yang dicapai dengan rasio. Ia juga menganggapnya sebagai kesatuan kegiatan praktis dan teoretis. Menurut Hegel, Roh mengatasi yang alamiah, yang inderawi. Roh memperoleh kediriannya dalam proses pengenalan-diri, dan sejarah adalah dialektika Roh.
[6] Idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa dunia tergantung pada gagasan yang kita bangun, atau merupakan hasil dari kegiatan kesadaran kita. Idealisme merupakan sebuah istilah yang pertama kali digunakan secara filosofis oleh Leibniz pada awal abad ke-18. Ia menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, yang diperlawankan dengan materialisme Epikuros. Istilah ini juga menunjukkan filsafat-filsafat yang yang memandang yang mental atau ideasional sebagai kunci masuk ke hakikat realitas. Dari abad ke-17 sampai permulaan abad ke-20, istilah ini telah banyak dipakai dalam pengklasifikasian filsafat. Adapun beberapa pengertian idealisme antara lain: 1) teori bahwa alam semesta adalah penjelmaan pikiran, 2) realitas dijelaskan berkenaan dengan gejala-gejala psikis seperti pikiran-pikiran, diri, roh, ide-ide, pikiran mutlak, dan seterusnya, yang jelas tidak berkenaan dengan materi, 3) realitas yang bereksistensi bergantung pada suatu pikiran dan aktivitas-aktivitas pikiran. Untuk lebih jelas, lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), 300-302.
[7] Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1990), 27.
[8] Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 6.
[9] Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 6.
[10] Richard Osborne, Filsafat untuk Pemula, terj. P. Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanusius, 2001), 108.
[11] Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, 36.
[12] Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, 36.
[13] Bryan Magee, Memoar Seorang Filosof, terj. Eko Prasetyo (Bandung: Mizan, 2005), 617.
[14] Gaarder, Dunia Sophie, 392.