EKSEGESE BILANGAN 17:1-13
Dalam dunia tafsir, untuk mengambil kerugma/pesan dari teks kitab suci dapat dilakukan dengan dua pendekatan metode tafsir, yaitu pendekatan sinkronik (“bersamaan waktu”) dan pendekatan diakronik (“melintasi waktu”). Dalam pendekatan sinkronik, teks kitab suci dapat diumpamakan sebagai “cermin” di mana si penafsir melihat dirinya ada bersamaan dengan teks, sebagai mana ia bercermin. Sedangkan dalam pendekatan diakronik, si penafsir melalui teks melihat jauh ke belakang, kepada sejarah teks dan sejarah si penulisnya atau komunitasnya.[1]
Dalam pembahasan hermeneutika di bawah ini, penulis mencoba membahas kitab Bilangan 17:1-13 dengan pendekatan kritik sumber,[2] yang termasuk ke dalam pendekatan diakronik. Adapun kitab Bilangan adalah bagian dalam Pentateukh (Perjanjian Lama). Istilah “Bilangan” dalam terjemahan bahasa Indonesia sebenarnya diambil dari Vulgata. Dan Vulgata mengambil istilah ini dari Septuaginta, di mana para penerjemah Septuaginta memberi nama “Bilangan” karena daftar angka yang dicatat dalam kitab ini.[3]
Terjemahan Yang Dipakai[4]
17:1 TUHAN berfirman kepada Musa:
17:2 "Katakanlah kepada orang Israel dan suruhlah mereka memberikan kepadamu satu tongkat untuk setiap suku. Semua kepala suku mereka harus memberikannya, suku demi suku, seluruhnya dua belas tongkat. Lalu tuliskanlah nama setiap kepala suku pada tongkatnya.
17:3 Pada tongkat Lewi harus kautuliskan nama Harun. Bagi setiap kepala suku harus ada satu tongkat.
17:4 Kemudian haruslah kauletakkan semuanya itu di dalam Kemah Pertemuan[5] di hadapan tabut hukum,[6] tempat Aku biasa bertemu dengan kamu.
17:5 Dan orang yang Kupilih, tongkat orang itulah akan bertunas; demikianlah Aku hendak meredakan sungut-sungut yang diucapkan mereka kepada kamu, sehingga tidak usah Kudengar lagi."
17:6 Setelah Musa berbicara kepada orang Israel, maka semua pemimpin mereka memberikan kepadanya satu tongkat dari setiap pemimpin, menurut suku-suku mereka, dua belas tongkat, dan tongkat Harun ada di antara tongkat-tongkat itu.
17:7 Musa meletakkan tongkat-tongkat itu di hadapan TUHAN dalam kemah hukum Allah.
17:8 Ketika Musa keesokan harinya masuk ke dalam kemah hukum itu, maka tampaklah tongkat Harun dari keturunan Lewi telah bertunas, mengeluarkan kuntum, mengembangkan bunga dan berbuahkan buah badam.
17:9 Kemudian Musa membawa semua tongkat itu keluar dari hadapan TUHAN kepada seluruh orang Israel; mereka melihatnya lalu mengambil tongkatnya masing-masing.
17:10 TUHAN berfirman kepada Musa: "Kembalikanlah tongkat Harun ke hadapan tabut hukum untuk disimpan menjadi tanda bagi orang-orang durhaka, sehingga engkau mengakhiri sungut-sungut mereka dan tidak Kudengar lagi, supaya mereka jangan mati."
17:11 Dan Musa berbuat demikian; seperti yang diperintahkan TUHAN kepadanya, demikianlah diperbuatnya.
17:12 Tetapi orang Israel berkata kepada Musa: "Sesungguhnya kami akan mati, kami akan binasa, kami semuanya akan binasa.
17:13 Siapa pun juga yang mendekat ke Kemah Suci TUHAN, niscayalah ia akan mati. Haruskah kami habis binasa?"
Sumber Yang Digunakan
Jika diteliti melalui teori sumber, Bilangan 17:1-13 lebih cenderung kepada sumber Priester (P).[7] Dengan alasan sebagai berikut:
Ø Cara bercerita yang sistematis dengan urutan yang baik dalam hal ini ayat 1-13.
Ø Menekankan akan sesuatu yang terjadi hanya karena Firman Allah saja, dimana Musa hanya menuruti saja yang diperintahkan oleh Tuhan bahwa Firman Tuhan yang berkuasa memilih dan menjadikan semuanya.
Ø Menonjolkan peraturan-peraturan dalam hidup keagamaan bangsa Israel yaitu dengan pemilihan jabatan imam dalam kehidupan keagamaan Israel.
Meskipun ciri-ciri sumber P cukup dominan dalam perikop ini, namun ada ciri sumber lain di dalamnya, yaitu sumber Yahwist (Y). Dengan alasan sebagai berikut:
Ø Menggunakan nama TUHAN, misalnya dalam ayat 1, 7, 9, 10, 11, dan ayat 13.
Ø Tuhan digambarkan dekat dengan Musa: Tuhan berbicara langsung kepada Musa tanpa perantaraan seperti mimpi atau kilat misalnya.
Berdasarkan analisa di atas dapat disimpulkan bahwa Bilangan 17:1-13 dalam penulisannya memakai dua sumber, yaitu sumber P dan Sumber Y. Namun sungguh pun demikian, dalam bahasan berikut ini saya hanya akan menaruh perhatian pada konteks penulisan sumber P. Hal ini dikarenakan penulis sumber P adalah redaktur yang kemudian (atau yang terakhir).
Masa Penulisan, Konteks Keagamaan dan Keadaan Israel Pada Waktu Itu (sumber P).
Penulis Priester ini berasal dari Yehuda dan berkarya pada zaman pembuangan di Babel sekitar abad 5 SM[8]. Bilangan 17:1-13 sebagaimana disinggung di atas berasal dari sumber P. Ini berarti bahwa bangsa Israel berada dalam pembuangan di Babilonia dan pada masa itu juga Bait Allah yang di Yerusalem telah hancur sehingga situasi bangsa Israel pada saat itu mengalami keterpisahan dari kegiatan kultus di Bait Allah di Yerusalem. Keadaan tanpa bait Allah di Babilonia, kehidupan sinkretisme dalam agama dan bahaya akan pengaruh bangsa-bangsa kafir mengancam keberadaan umat Israel. Keadaan-keadaan seperti inilah yang mendorong kelompok Priester untuk menulis segala tradisi yang ada dan mengumpulkannya supaya jangan hilang. Tujuan dari penulisan dari kelompok P ini adalah untuk mengingatkan bangsa Israel bahwa merekalah bangsa kudus Allah, sehingga sangat menekankan akan kehidupan kultus dan semua yang berhubungan dengan imamat,[9] seperti pada Bilangan 17:1-13 ini. Karena melalui kehidupan kultus hubungan antara Allah dan umat-Nya akan tetap terpelihara dan terus diperbaiki.
Tafsiran
Ayat 1-5
Bagian ini merupakan penegasan kembali akan jabatan imam. Dalam pemilihan ini Tuhan menggunakan tongkat sebagai simbol dari suku-suku Israel.
Pada ayat ke-3 terlihat pengaruh sumber P, yang menekankan keimaman Harun. Ayat 4 juga memperkuat sumber ini, di mana Tuhan memerintahkan Musa untuk menaruh tongkat-tongkat yang telah terkumpul di Kemah Pertemuan. Ini berkaitan erat dengan masa penulisan P (pembuangan), yang pada saat itu Bait Suci telah hancur dan kehidupan keagamaan bangsa Israel kacau. Namun pada ayat ini ditekankan oleh penulis P pentingnya Kemah Pertemuan, sebagai sarana pertemuan yang kudus antara Allah dan Umat di mana Allah menyatakan kehendak-Nya dan kehadiran-Nya.
Ayat 6-9
Musa menyampaikan perintah Tuhan kepada umat sesuai dengan yang diperintahkan Tuhan dan meletakkan tongkat-tongkat itu di kemah hukum Allah.
Allah menyatakan kehendak-Nya melalui tongkat Harun yang bertunas (ayat 8). Dengan cara demikian Allah memilih imam bagi Israel.
Ayat 10
Tuhan kembali berfirman kepada Musa, untuk mengembalikan tongkat Harun yang bertunas ke dalam tabut Hukum sebagai tanda bagi mereka yang meragukan Musa dan Harun sebagai orang pilihan Tuhan.
Ayat 11
Memperlihatkan kembali ketaatan Musa akan perintah Tuhan.
Ayat 12-13
Respon bangsa yang bersungut-sungut kepada Musa dan mereka menyadari akan kesalahannya.
Kesimpulan Tafsiran
Jika dilihat dari konteks masa penulisannya, Bilangan 17:1-13 mengindikasikan pergumulan si penulis (sumber P) dalam masa di pembuangan, di mana pusat ibadah (Bait Suci) telah hancur dan terjadi krisis kepemimpinan rohani bahkan terjadi sinkretisme agama. Melalui Bilangan 17:1-13 penulis P ingin menjawab pergumulan umat pada waktu itu yang membutuhkan pemimpin dan Bait Suci sebagai pusat ibadah umat Israel. Melalui tulisan ini kehidupan kultus, hubungan antara Allah dan umat-Nya diharapkan tetap terpelihara dan terus diperbaiki.
RefleksiPada masa sekarang, sulit mencari seorang pemimpin yang berintegritas, seperti Musa dan Harun misalnya. Di gereja yang dapat kita sebut sebagai wadah pembentukkan spiritualitas, banyak pemimpin/hamba Tuhan yang katanya dipilih oleh Tuhan kerap kali sikut-menyikut dan saling menjatuhkan. Hal ini terjadi hanya untuk memperebutkan jabatan kepemimpinan gerejawi yang bersifat organisasi. Apakah kehadiran seorang pemimpin hanya untuk itu? Tentu saja tidak! karena panggilan Tuhan tidak sebatas pada sebuah jabatan pendeta misalnya, penatua, ketua majelis atau ketua sinode.
Dalam Bilangan 17:1-13, meskipun Harun dipilih untuk jabatan keimaman dalam meredamkan perselisihan dan sungut-sungut umat, namun yang esensi dari panggilan Tuhan atas Harun atau orang-orang pilihan-Nya adalah untuk melayani dan bukan untuk jabatan. Sehingga sekalipun kita tidak memiliki status jabatan apapun di gereja, kita bisa tetap melayani dan memiliki integritas kepemimpinan.
[1] Untuk lebih jelasnya lihat blog Dr. Ioanes Rakhmat: ioanesrakhmat.blogspot.com, Pendekatan-Pendekatan Kritis Hermeneutik Kitab Suci, 19 Oktober 2008.
[2] Menurut para ahli, dalam Pentateukh ada 4 sumber yang menulis kitab-kitab tersebut. Yaitu, penulis sumber Y (Yahwe), penulis sumber E (Elohim), penulis sumber D (Deuteronomium) dan penulis sumber P (Imam). Prinsip kerja kritik sumber selalu bertolak dari pertanyaan-pertanyaan, seperti: a) apakah pada teks yang diteliti menunjuk adanya sumber? b) apa yang dikatakan sumber tersebut?
[3] Lasor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 1, (Jakarta: 1995 ), 232.
[4] Saya mengambil terjemahan dari Lembaga Alkitab Indonesia, namun terjemahan untuk kata lubet ab saya mengusulkan menjadi “kepala suku” bukan “pemimpin” hal ini dimaksudkan agar dapat membedakan antara Musa yang memimpin seluruh suku-suku Israel dengan kepala-kepala suku yang memimpin setiap suku.
[5] Sebagai sarana pertemuan yang kudus antara Allah dan umat, di mana Allah menyatakan kehendaknya atau yang melambangkan kehadiran Tuhan.
[6] Tempat menyimpan loh hukum (Taurat).
[7] Dr. J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama, (Jakarta: 2007), 58.
[8] Barnabas Ludji D.Th, Bahan Kuliah Kitab Taurat, (Cipanas: 2008), 5.
[9] Blommendaal, Ibid, 20.
Blog for personal reflection on theology, philosophy, history, sociology, psychology and science.
Hendi Rusli's Blog Founded on October, 2008
Thursday, November 27, 2008
Thursday, November 20, 2008
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN TEOLOGI REFORMATORIS PROTESTAN
Luther, Zwingli dan Calvin adalah tokoh-tokoh dalam reformasi gereja. Dikatakan sebagai tokoh reformasi, karena mereka mengkritik dan mereformasi ajaran Gereja Katolik Roma pada masa itu. Dikemudian hari, mereka juga menyebut gereja mereka “yang direformasikan”.[1] Antara aliran yang berkaitan erat dengan Martin Luther (1483-1546) di Wittenberg dengan aliran yang berkaitan erat dengan Ulrich Zwingli (1484-1531) di kota Zurich, Swis yang di dalamnya juga termasuk Johannes Calvin (1509-1564) terdapat banyak persamaan, namun ada juga perbedaan-perbedaanya. Berikut kita akan membahas persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaan dari ketiga tokoh reformasi di atas.
Persamaan Teologi Luther, Zwingli dan Calvin
Martin Luther, Ulrich Zwingli dan Johannes Calvin merupakan tokoh-tokoh reformasi yang mengkritik gereja Kalolik Roma pada masa itu, di mana terjadi krisis kepausan pada akhir abad pertengahan, yang juga berkaitan dengan krisis rohani yang dialami oleh anggota-anggota gereja. Luther, Zwingli dan Calvin dalam teologinya berpandangan bahwa kebenaran ilahi harus dicari dalam Alkitab, bukan dalam ajaran gereja sebagaimana yang banyak dirumuskan oleh gereja Katolik Roma, dan bahwa keselamatan semata-mata hanya oleh anugerah Allah melalui Yesus Kristus yang mati di kayu salib, dibangkitkan, dan naik ke surga untuk menebus dosa-dosa manusia.
Baik Luther, Zwingli dan Calvin memahami bahwa pelayanan sakramen gereja tidak dapat menyelamatkan. Karena dalam teologi Luther, Zwingli dan Calvin hanya Alkitab yang merupakan sumber kebenaran ilahi. Maka pemberitaan firman (khotbah) menjadi titik sentral dalam ibadah, dibandingkan dengan sakramen yang dianggap sangat penting dalam Gereja Katolik Roma.
Perbedaan Teologi Luther, Zwingli dan Calvin
Perbedaan antara Teologi Luther, Zwingli dan Calvin lebih banyak dibandingkan dengan persamaannya, meskipun mereka sama-sama menolak ajaran dari gereja Katolik Roma. Salah satu dari perbedaan yang ada adalah pandangan mereka mengenai Perjamuan Kudus.
a. Martin Luther (1483-1546)
Teologi Luther dipengaruhi oleh Augustinus dan teologinya berkembang di sebuah universitas. Hal ini dapat kita lihat dari 97 dalil yang ia keluarkan untuk menentang gereja Katolik Roma mengenai “Surat Penghapusan Siksa” yang ia diskusikan di universitas. Dalam tulisannya ini, Luther memperlihatkan pengaruh Augustinus. Teologi Luther, umumnya teologi Reformasi, biasanya diringkaskan dengan tiga ungkapan dalam bahasa Latin: sola gratia, sola fide dan sola Scriptura.
Mengenai Kristologi:[2] pandangan Luther mengenai ajaran tentang Yesus bertolak dari kesatuan antara kemanusiaan dan keilahian Kristus, yang berarti bahwa bagi Luther kemanusiaan Kristus ditentukan oleh keilahian-Nya.
Baptisan:[3] Luther menekankan kembali hubungan yang erat antara Sakramen dan Firman Allah. Menenai baptisan, Luther berpandangan bahwa Baptisan Kudus merupakan tanda yang ditetapkan Allah untuk memeteraikan janji-Nya sebagai pengampunan dosa manusia. Namun, Luther tetap mempertahankan bahwa percaya akan janji Allah perlu, karena hanya dalam iman orang dapat menikmati pengampunan yang dijanjikan dalam baptisan. Luther menyetujui Baptisan Anak, dan ia berpandangan bahwa tidak perlu orang mempunyai iman yang matang untuk menerima baptisan, sebab bukan imanlah yang menjadikan baptisan efektif, melainkan janji Allah.
Perjamuan Kudus:[4] Luther menolak doktrin Katolik Roma mengenai transsubstansiasi[5], tetapi tetap percaya akan kehadiran yang nyata dari tubuh dan darah Kristus “di bawah” roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus. Luther lebih menonjolkan iman dalam Perjamuan Kudus. Bagi Luther Perjamuan Kudus adalah tanda nyata bahwa keselamatan yang dijanjikan dalam Firman mengenai penebusan dosa oleh Kristus pada kayu salib, benar-benar diberikan kepada orang yang menyerahkan diri dalam iman kepada Allah yang rahmani. Tanpa iman, Perjamuan Kudus menjadi tanda keselamatan yang tidak efektif.
Gereja dan negara:[6] Luther melihat hubungan antara gereja dan negara sangat mempengaruhi pemerintah dalam kehidupan gereja. Menurutnya sebaiknya raja diikutsertakan sebagai orang partikelir dalam pimpinan gereja demi mencegah bahaya timbulnya kasta iman tersendiri yang hierarkis. Jadi, baginya yang terpenting adalah sekali-kali bukanlah pengaturan hubungan antara gereja dan Negara.
b. Ulrich Zwingli (1484-1531)[7]
Zwingli pernah menjadi pastor Gereja Katolik Roma di Glarus. Ia adalah murid dari Erasmus, namun dalam pekerjaannya itu, ia lebih banyak dipengaruhi oleh Augustinus. Zwingli berpendapat bahwa suatu doktrin tidak boleh berlawanan dengan akal. Hal ini dapat kita bandingkan dengan teologi Luther yang kurang menekankan peranan akal dalam teologinya.
Baptisan: dalam salah satu karyanya, Zwingli menulis buku berjudul Baptisan, Baptisan Ulang dan Baptisan Anak. Di dalamnya ia membela dilakukannya baptisan anak, baginya baptisan anak merupakan tanda perjanjian, dan perjanjian meliputi seluruh keluarga bukan hanya oknum-oknum tertentu. Namun, meskipun ia mempertahankan baptisan anak, Zwingli (berlainan dengan Luther) menolak kepercayan Katolik Roma, bahwa baptisan, juga baptisan anak memberikan kelahiran baru dan pengampunan dosa. Ia berpendapat bahwa baptisan merupakan tanda luar dari iman kita. Lebih lanjut Zwingli berpandangan bahwa sakramen (baptisan) adalah tindakan simbolis, yang menunjuk kepada keselamatan yang diberikan Kristus dan yang dipakai oleh orang-orang percaya untuk memperingati dan untuk menyatakan iman mereka.
Mengenai Perjamuan Kudus: Zwingli menolak kehadiran yang nyata dari tubuh dan darah Kristus, ia menegaskan bahwa roti dan anggur hanya lambang dari tubuh dan darah Kristus. Bagi Zwingli Perjamuan Kudus merupakan peringatan pengucapan syukur, pada waktu mana kita memperingati karya Kristus di kayu salib. Ia juga berpendapat, bahwa “tubuh” dan “darah” adalah lambang untuk keselamatan yang diperoleh Kristus dengan tubuh dan darah-Nya di kayu salib.[8]
Gereja dan negara: Zwingli tidak begitu menaruh perhatian yang khusus pada peranan negara dalam gereja sebagaimana pandangan Luther. Ketika ia diangkat menjadi imam di wilayah Glarus tahun 1516, ia menentang praktek perdagangan tentara bayaran yang dilakukan pemerintah Swis. Menurutnya praktek-praktek ini tidak bermoral dan Zwingli mengkritik hal ini dengan khotbah-khotbah yang ia utarakan.
c. Johannes Calvin (1509-1564)[9]
sebelum mengikuti studi teologi, Calvin sempat belajar di universitas di Paris, fakultas hukum. Calvin mengagumi Erasmus dengan Humanismenya, bahkan Calvin pernah menghasilkan karya ilmiah Humanisme pada tahun 1532.[10]
Mengenai Kristologi: pandangan Calvin mengenai ajaran tentang Kristus bertolak dari perbedaan antara tabiat ilahi dan tabiat manusiawi dalam diri Kristus dan menekankan bahwa walaupun dalam Kristus ke-allah-an berdiam secara penuh, itu tidak berarti bahwa keilahian-Nya terbatas pada Yesus sebagai manusia.
Baptisan: Calvin melihat baptisan sebagai tanda pengampunan dosa dan kelahiran baru. Pengampunan ini diberikan Allah kepada manusia sebelum ia lahir, sehingga tidak dapat diikat pada pelayanan baptisan. Lebih lanjut baptisan menurut Calvin menandai bahwa orang percaya ikut serta dalam kematian dan kebangkitan Kristus, dan bahwa orang percaya menjadi satu dengan Kristus. Konsekuensi dari ikatan baptisan dengan keanggotaan gereja bagi Calvin adalah bahwa pelayanan baptisan harus terjadi di dalam kebaktian jemaat, oleh pejabat yang ditentukan oleh gereja, yaitu Pendeta.
Perjamuan Kudus: Calvin berpandangan, bahwa Perjamuan Kudus adalah tanda, tetapi bukan tanda kosong, sebab tanda ini diberikan Allah melalui Anak-Nya, supaya orang percaya melalui roti dan anggur betul-betul dipersatukan dengan tubuh dan darah Kristus. Dalam Perjamuan Kudus, Kristus betul-betul hadir untuk menjadi satu dengan orang-orang percaya, dan menguatkan iman mereka. Kristus membuat makanan jasmani menjadi rohani, sehingga orang-orang yang ikut dalam Perjamuan Kudus menerima apa yang telah diterima Kristus pada kayu salib, yakni pengampunan dosa dan hidup yang kekal.
Gereja dan negara: Calvin berpendapat bahwa negara perlu selama gereja masih berada di dunia ini, itu tidak berarti bahwa ia menyerahkan segala-galanya kepada pemerintah. Dengan tegas ia menetapkan batas antara gereja dan negara, atau dengan istilah lain, antara pemerintahan rohani dan duniawi/politik. Ia juga menjelaskan bahwa pemerintah berasal dari Allah, tetapi pemerintahan rohani yang diselenggarakan oleh gereja, membina manusia supaya memperoleh keselamatan abadi, sedangkan pemerintahan sipil, yang ditangani oleh negara, membina kehidupan bersama di dunia ini.
Refleksi
Pengaruh yang diberikan oleh Martin Luther, Ulrich Zwingli dan Johannes Calvin sampai saat ini begitu terasa, khususnya dalam kehidupan gereja-gereja di Indonesia. Meskipun ketiga tokoh tersebut memiliki banyak perbedaan dalam mereformasi gereja, namun mereka memiliki dasar yang sama, yaitu bahwa kebenaran ilahi harus di cari dalam Alkitab.
Mengingat saat ini gereja telah melebur ke dalam pengaruh tradisi atau pandangan Lutheran dan Calvin (tanpa mengkritisi ulang konteks atau latar belakang atau situasi pada saat itu, yang membentuk pandangan para reformator: kebenaran hanya diperoleh dari Alkitab), kita juga perlu bersikap kritis. Apakah kebenaran ilahi hanya dapat di cari lewat Alkitab saja? Atau ada kebenaran-kebenaran ilahi yang lain di luar Alkitab?
Dengan menggumuli pertanyaan-pertanyaan tersebut, diharapkan kita tidak terjebak dalam sikap merasa diri paling unggul (triumfalistik), yang cenderung menghakimi.
[1] Dr. Christiaan de Jonge, Gereja Mencari Jawab, (Jakarta:1994), hal. 22.
[2] Christiaan de Jonge, Apa Itu CALVINISME? (Jakarta:1998), 52.
[3] Ibid, 191.
[4] Ibid, 217.
[5] Dalam transubstansiasi, roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus benar-benar berubah menjadi darah dan daging Kristus.
[6] Dr. W.J. Kooiman, Martin Luther, (Jakarta:2001), 160-161.
[7] Tony Lane, Runtut Pijar, (Jakarta:1990), 142-144.
[8] de Jonge, op.cit., Calvinisme, 218.
[9] de Jonge, op.cit., Calvinisme, 53-235.
[10] Lane, op.cit., 147.
sumber gambar: http://www.calvin500.com/wp-content/uploads/2009/04/john-calvin-79.jpg
Wednesday, November 19, 2008
PERANG SALIB
Perang Salib merupakan salah satu pokok bahasan yang cukup penting dalam sejarah gereja. Namun para pakar sejarah gereja khususnya di Indonesia kurang menaruh perhatian yang khusus dalam bahasan yang tersendiri. Dalam tulisan ini saya mencoba mengkaji akan pokok bahasan tersebut.
Bagian pertama tulisan ini akan diawali dengan latar belakang Perang Salib, yang kemudian disusul dengan pembahasan mengenai Perang Salib pertama sampai Perang Salib keempat, kemudian sejarah ringkas Perang Salib kelima sampai kesembilan. Mengenai dampak dari Perang Salib bagi daerah kekuasaan Islam maupun Eropa Barat menyusul dibagian berikutnya. Dan bagian yang terakhir ditutup dengan analisa dan refleksi.
Latar Belakang[1]
Pertemuan pertama bangsa Eropa dengan Islam terjadi akibat kebijakan-kebijakan negara muslim baru, yang terbentuk setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. pada tahun 632 M. Satu abad kemudian, orang-orang Islam telah berhasil menyeberangi barisan pegunungan di antara Prancis dan Spanyol dan menaklukan wilayah dari India utara hingga Prancis Selatan. Dua ratus tahun kemudian, perimbangan kekuasaan antara Eropa dengan dunia Islam berada di tangan kaum muslim. Namun pada abad ke-10 dan 11, perpecahan yang hebat terjadi di kalangan kaum muslim dengan pusatnya di Baghdad. Kondisi tersebut mengakibatkan munculnya kembali bangsa-bangsa Eropa di Mediterania timur dan menjadi awal kebangkitan kekuasaan Kristen di Spanyol.
Pada abad ini juga suku-suku Jerman telah mendirikan negara-negara yang kuat di Eropa untuk melawan kekuasaan Islam. Pembunuhan raja Aragon (Spanyol Utara) oleh seorang muslim pada tahun 1063 merupakan titik tolak peperangan mengusir orang Islam dari semenanjung Spanyol.[2] Dan hal ini menjadi awal terjadinya Perang Salib[3].
Pada dasarnya Perang Salib bukan merupakan perang agama atau dapat dikatakan agama bukan faktor utama di dalamnya. Perang Salib lebih dapat dipahami sebagai perang antara bangsa “perangi“ (Jerman) dengan bangsa Turki yang keduanya suka berperang. Namun di dalamnya bercampur faktor agama dan faktor lainnya. Di antaranya, Perang Salib diakibatkan oleh gangguan dari bangsa Turki kepada orang Kristen Eropa yang berziarah ke Yerusalem; faktor agama yang ada di dalamnya juga dapat kita lihat, misalnya dari pihak orang-orang Eropa Barat yang berpaling ke usaha yang pada hemat mereka jauh lebih mulia yaitu, pembebasan Tanah Suci, Palestina, dari kekuasaan orang-orang Islam.[4] Adapun periode Perang Salib dimulai pada tahun 1095 dan berakhir pada tahun 1270 dengan beberapa kali terjadi peperangan.[5]
Perang-Perang Salib
A. Perang Salib Pertama (1095-1146)[6]
Perang Salib pertama dimulai sekitar tahun 1095 dan dilancarkan oleh sejumlah pemimpin seperti, Raymond dari Toulouse, Bohemond dari Sisilia dan Godfrey dari Bouillon. Mereka berhasil dalam menaklukan ibu kota Saljuk di Iznik pada bulan Juni 1097, dan membuat pasukan Saljuk di bawah pimpinan Sultan Qilij Arslan mengalami kekalahan besar-besaran dalam pertempuran Dorylaeum pada Juli di tahun yang sama. Kemudian pada bulan Oktober, setibanya di Antiokhia Tentara Salib mengepung kota itu. Antiokhia jatuh ke tangan Tentara Salib pada bulan Juni 1098. Dan di tahun berikutnya diresmikan menjadi Kerajaan Antiokhia di bawah pimpinan penguasa Norman, Behemond dari Sisilia.
Sasaraan utama, yaitu Yerusalem direbut pada tanggal 15 Juli 1099 dan Godfrey dari Bouillon menjadi penguasa pertama di tempat itu. Negara Tentara Salib terakhir, wilayah Tripoli, didirikan setelah kota itu direbut pasukan kaum Frank pada tahun 1099. Dengan demikian empat kerajaan Tentara Salib telah didirikan di wilayah Timur Dekat, yaitu Yerusalem, Edessa, Antiokhia dan Tripoli. Meskipun dalam Perang Salib Pertama, Tentara Salib mengalami kemenangan, namun Tentara Salib tidak berhasil menaklukan salah satu dari kota utama, yaitu Aleppo dan Damaskus.
B. Perang Salib Kedua (1147-1187)[7]
Dalam fase kebangkitan kaum muslim berikutnya, Nuruddin seorang tokoh muslim menggabungkan politik senjata yang kuat dengan propaganda agama yang sangat lihai. Dalam konteks ambisi pribadi dan agamanya, Nuruddin perlahan-lahan menyatukan Mesir dan Suriah dan mengepung negara-negara kaum Frank yang dimulai dari Antiokhia.
Takluknya Edessa dan rentannya Antiokhia terhadap serangan tentara muslim telah memicu seruan dan pengiriman Tentara Perang Salib Kedua pada tahun 1147-1148 di bawah komando Conrad III, kaisar Jerman, dan Louis VII, raja Prancis. Perang Salib Kedua diarahkan ke Damaskus yang pada waktu itu berada di bawah pimpinan gubernur kota Unur. Tentara Salib dalam penyerangannya tersebut telah bergabung dengan Tentara Salib di Yerusalem, namun penyerangan ini mengalami kegagalan. Kota Edessa tidak berhasil direbut kembali.
Kota Damaskus pada akhirnya jatuh ke tangan Nuruddin dan ia mengangkat dirinya sebagai penguasa kaum muslim tertinggi di Suriah. Nuruddin telah meletakkan fondasi penyatuan kaum muslim dan menegaskan legitimasi yang bermazhab Sunni. Setelah Nuruddin wafat, Saladin menggantikan peran Nuruddin. Pada tahun 1187, Saladin memerangi Tentara Salib yang dipimpin oleh raja Guy dari Lesignan. Pertempuran ini dikenal sebagai pertempuran besar Hattin. Dalam Pertempuran ini Saladin meraih kemenangan besar atas mereka. Kemenangan Saladin mencapai puncaknya ketika dia berhasil merebut kembali Yerusalem pada tanggal 2 Oktober 1187. Dan pada akhir tahun 1187, hanya sebagian kecil kerajaan Latin Yerusalem yang belum dikuasainya.
C. Perang Salib Ketiga (1191-1192)[8]
Kekalahan Tentara Salib pada pertempuran Hattin dan penaklukan Yerusalem oleh Saladin, menyulut kembali Perang Salib berikutnya. Tiga raja paling kuat dari kaum Eropa Barat, Frederick Barbarosa dari kekaisaran Romawi Suci, Philip dari Prancis dan Richard si Hati Singa dari Inggris, melancarkan Perang Salib Ketiga. Perang ini dimulai dengan serangan Tentara Salib ke Acre yang akhirnya berhasil dikuasai Tentara Salib pada tahun 1191. Meskipun Tentara Salib meraih kemenangan dan beberapa kemenangan lainnya atas Saladin, namun Perang Salib Ketiga berakhir dengan gencatan senjata pada tahun 1192, dengan kesepakatan bahwa kaum Frank akan menguasai sebagian besar wilayah laut, sementara Yerusalem tetap berada dalam kekuasaan kaum muslim.
D. Perang Salib Keempat (1202-1204)[9]
Mulai tahun 1193 dan seterusnya, para Tentara Salib lebih banyak mencurahkan perhatian mereka untuk menyerang Mesir, dengan keyakinan bahwa negeri itu merupakan kunci untuk merebut kembali Yerusalem. Dalam Perang Salib Keempat yang dimulai tahun 1202, Mesir menjadi target utama peperangan untuk direbut. Adapun dalam Perang Salib Keempat, pasukan Tentara Salib dipimpin oleh Boniface de Montferrat dan Baldwin IX dari Flanders. Namun, dalam perang ini Tentara Salib tidak memerangi umat Islam, dan berakhir dengan penaklukan Konstantinopel pada bulan April 1204 yang kemudian didirikan kerajaan latin Konstantinopel (1204-1261).
E. Sejarah Singkat Perang Salib Kelima Sampai Kesembilan (1212-1270)[10]
Perang Salib yang kelima dilancarkan pada tahun 1212, yang disebut dengan nama Perang Salib Anak-anak. Ribuan anak dari Jerman dan Prancis dikerahkan menjadi Tentara Salib. Banyak anak mati dalam perjalanan, diculik dan dijual. Dalam Perang Salib yang kelima ini Tentara Salib mengalami kegagalan.
Perang Salib Keenam dilancarkan untuk kembali menyerang Mesir sebagai pusat kekuasaan Islam pada tahun 1219. Dalam perang ini Yerusalem hampir direbut, namun karena datangnya bantuan dari kaisar Jerman, Frederick II, tertunda maka ekspedisi ini pun gagal.
Kaisar Frederick II kembali melancarkan Perang Salib yang ketujuh. Ia tiba di Yerusalem pada tahun 1228 dan mengadakan perjanjian dengan Al-Kamil, untuk mengembalikan milik orang Kristen. Frederick tinggal di Palestina selama 15 tahun dan mengangkat dirinya sebagai raja di Yerusalem sambil bersahabat dengan pihak Islam. Namun pada tahun 1244, Yerusalem jatuh lagi ke tangan Islam.
Paus Innocentius IV kembali melancarkan Perang Salib, yang merupakan Perang Salib Kedelapan. Perang ini dipimpin oleh Louis IX, raja Prancis. Pada tahun 1249 Damietta direbut. Akre dijadikan sebagai pusat pertahanan selama empat tahun. Oleh karena terjadi kekacauan di Prancis, Louis IX kembali ke Prancis pada tahun 1254.
Pada tahun 1268 Antiokhia jatuh dan Louis mencoba untuk menyerang Tunisia pada tahun 1270, namun ia jatuh sakit sehingga kembali ke Prancis. Ini merupakan Perang Salib yang kesembilan. Dan dengan demikian berakhirlah Perang Salib pada tahun 1270.
Dampak Perang Salib
A. Dampak Perang Salib Bagi Islam[11]
Akibat Perang Salib terhadap hubungan Kristen-Islam pada umumnya sangat negatif. Pandangan orang Islam terhadap orang Kristen Barat sangat berbeda dengan pandangannya kepada orang Kristen Timur. Orang Kristen Timur dihormati sebagai orang-orang yang berkebudayaan tinggi, tetapi orang-orang Barat dianggap biadab. Di mata orang-orang Islam di Palestina orang-orang Kristen dari Barat adalah orang-orang yang kejam, yang hanya tahu membunuh dan merampok. Sejak zaman itulah agama Kristen dihubungkan dengan kekerasan. Sejak zaman itu juga kata “salib“ bagi orang yang berbahasa Arab menimbulkan emosi peperangan, karena pada masa Perang Salib kata itu dipakai sebagai sebutan seorang prajurit yang menyandang salib dan tidak lagi dikaitkan dengan salib Golgota.
Kesan yang ditimbulkan orang-orang Kristen pada zaman Perang Salib tidak pernah dilupakan. Akan tetapi bagi orang-orang Islam, khususnya yang di Timur Tengah yang mempunyai pandangan ala Timur (sejarah adalah warisan masa lampau yang tetap aktual, sehingga tidak terlalu penting kapan sesuatu terjadi pada zaman dahulu), zaman itu bukan zaman yang telah lewat, melainkan masa ngeri yang selalu dapat muncul kembali. Sekaligus rasa ngeri ini menjadi dorongan untuk melancarkan serangan balasan, yakni perang sabil (suci) yang dilakukan oleh orang-orang Turki Otoman untuk menyerbu daerah dar al-harb, daerah perang, untuk menjadikan dar al-Islam.
B. Dampak Perang Salib Bagi Eropa Barat (Kristen)[12]
Politik dan Militer
- Ksatria-ksatria belajar dari musuh mereka bagaimana berperang dan banyak hal yang berhubungan dengan ilmu perang dibawa ke Eropa Barat.
- Usaha Perang Salib meningkatkan prestise raja-raja di Eropa. Dahulu mereka tidak lebih dari bangsawan biasa yang selalu berperang sama seperti yang lainnya, namun Perang Salib menjadikan mereka pemimpin yang lebih berarti.
Ekonomi
- Pengaruh feodal di kota-kota berkurang sebab tuan-tuan feodal, kaum bangsawan sibuk berperang, sehingga tidak sempat menjalankan pemerintahannya di kota-kota itu.
- Perdagangan meningkat, kota-kota perdagangan seperti Venezia, di Prancis dan di tepi sungai Threin, berkembang dan kaum saudagar menjadi kelas masyarakat yang menentukan.
Kebudayaan
- Orang-orang Barat banyak menerima sesuatu yang baru dari orang-orang Timur. Orang-orang Arab menjadi guru filsafat bagi mereka.
- Pada umumnya cakrawala orang-orang Eropa menjadi luas, demikian juga pandangan mereka. Sastra propan berkembang dengan pesat, sebab ada begitu banyak pokok yang menarik untuk diceritakan tentang perbuatan-perbuatan para ksatria yang gagah berani, tetapi juga tentang dunia Timur yang ajaib.
Gereja
- Sebagai akibat Perang Salib, didirikan beberapa ordo rohani baru. Misalnya, ordo-ordo keksatrian rohani yang didirikan di Tanah Suci untuk melayani orang-orang yang menderita luka atau penyakit, dan untuk melindungi orang-orang yang berziarah dan mereka yang terlibat dalam Perang Salib; ordo Fransiskan dan khususnya ordo Dominikan, yang antara lain didirikan untuk melawan musuh Kristus dengan Firman.
- Akibat negatif bagi gereja adalah, senjata diterima sebagai alat untuk mempropagandakan iman dan memberantas orang-orang yang mempunyai ajaran yang berbeda dengan ajaran Katolik Roma, baik di luar Eropa (Islam) maupun di dalam Eropa (orang-orang Albigens, Waldens).
AnalisaBerdasarkan data-data sejarah di atas, terlihat bahwa Perang Salib terjadi beberapa kali dengan motif politik, mengarah pada perebutan daerah kekuasaan antara kedua belah pihak yang berperang (Eropa Barat dan kaum muslim). Meskipun ada motif yang berkaitan dengan agama di dalamnya mengenai Tanah Suci, namun dalam kenyataannya, dalam Perang Salib bukan hanya Yerusalem yang diperebutkan. Dalam Perang Salib Pertama misalnya, daerah Antiokhia, Edessa, Tripoli, Damaskus menjadi sasaran dalam peperangan. Atau kita juga dapat melihat adanya kesepakatan politik mengenai daerah kekuasaan antara kaum Frank dengan kaum muslim pada Perang Salib Ketiga.
Perang-perang Salib yang kurang lebih terjadi sebanyak sembilan kali peperangan hanya berkisar sekitar perebutan daerah kekuasaan, yang silih berganti antara orang-orang Eropa Barat dengan Tentara Salibnya dan kaum muslim. Meskipun tampak jelas bahwa Perang Salib bernuansa politik, namun tidak bisa dipungkiri bahwa kedua belah pihak yang berperang mewakili dua wilayah di mana dua agama besar berkembang, yaitu Kristen (Barat) dan Islam (Timur). Apalagi tentara dari Barat menggunakan simbol salib pada lencana dan bendera yang mereka bawa dalam peperangan sehingga sangat berkesan bahwa peperangan tersebut terjadi atas nama agama.
Refleksi
Pada dasarnya, Perang Salib bukan merupakan perang agama, meskipun ada faktor agama di dalamnya. Hal ini dapat kita lihat melalui dampaknya, yang mencakup bidang politik-militer, ekonomi dan kebudayaan. Namun kelihatannya, peristiwa ini membawa luka-luka yang dalam, khususnya bagi kaum muslim di Timur Tengah yang mempunyai pandangan tentang sejarah ala Timur (bahwa sejarah adalah warisan masa lampau yang tetap aktual, sehingga tidak terlalu penting kapan sesuatu terjadi pada zaman dulu) zaman itu bukan zaman yang telah lewat, peristiwa itu bisa muncul kembali, dan sekaligus dapat menjadi dorongan untuk melancarkan serangan balasan. Karena itulah sampai saat ini, ketegangan-ketegangan antara Islam dan Kristen masih tetap ada. Yang perlu dilakukan adalah, keterbukaan di antara kedua belah pihak untuk melihat peristiwa Perang Salib dengan kacamata yang baru, bahwa agama bukanlah faktor utama di dalamnya.
[1] Carole Hillenbrand, Perang Salib, (Jakarta:2005), 20-21.
[2] Anne Ruck, Sejarah Gereja Asia, (Jakarta:2006), 71.
[3] Istilah “Perang Salib” diambil dari tanda salib pada lencana dan bendera tentara Kristen
[4] Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta:2005), 111.
[5] Dr. F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta:2006), 350.
[6] Hillenbrand, Ibid, 27.
[7] Hillenbrand, Ibid, 30-32.
[8] Hillenbrand, Ibid, 32.
[9] Hillenbrand, Ibid, 33.
[10] Wellem, Ibid, 352-353.
[11] Dr. Th. van den End, Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, (Jakarta: 2003), 80-82.
[12] End, Ibid, 83-86.
Bagian pertama tulisan ini akan diawali dengan latar belakang Perang Salib, yang kemudian disusul dengan pembahasan mengenai Perang Salib pertama sampai Perang Salib keempat, kemudian sejarah ringkas Perang Salib kelima sampai kesembilan. Mengenai dampak dari Perang Salib bagi daerah kekuasaan Islam maupun Eropa Barat menyusul dibagian berikutnya. Dan bagian yang terakhir ditutup dengan analisa dan refleksi.
Latar Belakang[1]
Pertemuan pertama bangsa Eropa dengan Islam terjadi akibat kebijakan-kebijakan negara muslim baru, yang terbentuk setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. pada tahun 632 M. Satu abad kemudian, orang-orang Islam telah berhasil menyeberangi barisan pegunungan di antara Prancis dan Spanyol dan menaklukan wilayah dari India utara hingga Prancis Selatan. Dua ratus tahun kemudian, perimbangan kekuasaan antara Eropa dengan dunia Islam berada di tangan kaum muslim. Namun pada abad ke-10 dan 11, perpecahan yang hebat terjadi di kalangan kaum muslim dengan pusatnya di Baghdad. Kondisi tersebut mengakibatkan munculnya kembali bangsa-bangsa Eropa di Mediterania timur dan menjadi awal kebangkitan kekuasaan Kristen di Spanyol.
Pada abad ini juga suku-suku Jerman telah mendirikan negara-negara yang kuat di Eropa untuk melawan kekuasaan Islam. Pembunuhan raja Aragon (Spanyol Utara) oleh seorang muslim pada tahun 1063 merupakan titik tolak peperangan mengusir orang Islam dari semenanjung Spanyol.[2] Dan hal ini menjadi awal terjadinya Perang Salib[3].
Pada dasarnya Perang Salib bukan merupakan perang agama atau dapat dikatakan agama bukan faktor utama di dalamnya. Perang Salib lebih dapat dipahami sebagai perang antara bangsa “perangi“ (Jerman) dengan bangsa Turki yang keduanya suka berperang. Namun di dalamnya bercampur faktor agama dan faktor lainnya. Di antaranya, Perang Salib diakibatkan oleh gangguan dari bangsa Turki kepada orang Kristen Eropa yang berziarah ke Yerusalem; faktor agama yang ada di dalamnya juga dapat kita lihat, misalnya dari pihak orang-orang Eropa Barat yang berpaling ke usaha yang pada hemat mereka jauh lebih mulia yaitu, pembebasan Tanah Suci, Palestina, dari kekuasaan orang-orang Islam.[4] Adapun periode Perang Salib dimulai pada tahun 1095 dan berakhir pada tahun 1270 dengan beberapa kali terjadi peperangan.[5]
Perang-Perang Salib
A. Perang Salib Pertama (1095-1146)[6]
Perang Salib pertama dimulai sekitar tahun 1095 dan dilancarkan oleh sejumlah pemimpin seperti, Raymond dari Toulouse, Bohemond dari Sisilia dan Godfrey dari Bouillon. Mereka berhasil dalam menaklukan ibu kota Saljuk di Iznik pada bulan Juni 1097, dan membuat pasukan Saljuk di bawah pimpinan Sultan Qilij Arslan mengalami kekalahan besar-besaran dalam pertempuran Dorylaeum pada Juli di tahun yang sama. Kemudian pada bulan Oktober, setibanya di Antiokhia Tentara Salib mengepung kota itu. Antiokhia jatuh ke tangan Tentara Salib pada bulan Juni 1098. Dan di tahun berikutnya diresmikan menjadi Kerajaan Antiokhia di bawah pimpinan penguasa Norman, Behemond dari Sisilia.
Sasaraan utama, yaitu Yerusalem direbut pada tanggal 15 Juli 1099 dan Godfrey dari Bouillon menjadi penguasa pertama di tempat itu. Negara Tentara Salib terakhir, wilayah Tripoli, didirikan setelah kota itu direbut pasukan kaum Frank pada tahun 1099. Dengan demikian empat kerajaan Tentara Salib telah didirikan di wilayah Timur Dekat, yaitu Yerusalem, Edessa, Antiokhia dan Tripoli. Meskipun dalam Perang Salib Pertama, Tentara Salib mengalami kemenangan, namun Tentara Salib tidak berhasil menaklukan salah satu dari kota utama, yaitu Aleppo dan Damaskus.
B. Perang Salib Kedua (1147-1187)[7]
Dalam fase kebangkitan kaum muslim berikutnya, Nuruddin seorang tokoh muslim menggabungkan politik senjata yang kuat dengan propaganda agama yang sangat lihai. Dalam konteks ambisi pribadi dan agamanya, Nuruddin perlahan-lahan menyatukan Mesir dan Suriah dan mengepung negara-negara kaum Frank yang dimulai dari Antiokhia.
Takluknya Edessa dan rentannya Antiokhia terhadap serangan tentara muslim telah memicu seruan dan pengiriman Tentara Perang Salib Kedua pada tahun 1147-1148 di bawah komando Conrad III, kaisar Jerman, dan Louis VII, raja Prancis. Perang Salib Kedua diarahkan ke Damaskus yang pada waktu itu berada di bawah pimpinan gubernur kota Unur. Tentara Salib dalam penyerangannya tersebut telah bergabung dengan Tentara Salib di Yerusalem, namun penyerangan ini mengalami kegagalan. Kota Edessa tidak berhasil direbut kembali.
Kota Damaskus pada akhirnya jatuh ke tangan Nuruddin dan ia mengangkat dirinya sebagai penguasa kaum muslim tertinggi di Suriah. Nuruddin telah meletakkan fondasi penyatuan kaum muslim dan menegaskan legitimasi yang bermazhab Sunni. Setelah Nuruddin wafat, Saladin menggantikan peran Nuruddin. Pada tahun 1187, Saladin memerangi Tentara Salib yang dipimpin oleh raja Guy dari Lesignan. Pertempuran ini dikenal sebagai pertempuran besar Hattin. Dalam Pertempuran ini Saladin meraih kemenangan besar atas mereka. Kemenangan Saladin mencapai puncaknya ketika dia berhasil merebut kembali Yerusalem pada tanggal 2 Oktober 1187. Dan pada akhir tahun 1187, hanya sebagian kecil kerajaan Latin Yerusalem yang belum dikuasainya.
C. Perang Salib Ketiga (1191-1192)[8]
Kekalahan Tentara Salib pada pertempuran Hattin dan penaklukan Yerusalem oleh Saladin, menyulut kembali Perang Salib berikutnya. Tiga raja paling kuat dari kaum Eropa Barat, Frederick Barbarosa dari kekaisaran Romawi Suci, Philip dari Prancis dan Richard si Hati Singa dari Inggris, melancarkan Perang Salib Ketiga. Perang ini dimulai dengan serangan Tentara Salib ke Acre yang akhirnya berhasil dikuasai Tentara Salib pada tahun 1191. Meskipun Tentara Salib meraih kemenangan dan beberapa kemenangan lainnya atas Saladin, namun Perang Salib Ketiga berakhir dengan gencatan senjata pada tahun 1192, dengan kesepakatan bahwa kaum Frank akan menguasai sebagian besar wilayah laut, sementara Yerusalem tetap berada dalam kekuasaan kaum muslim.
D. Perang Salib Keempat (1202-1204)[9]
Mulai tahun 1193 dan seterusnya, para Tentara Salib lebih banyak mencurahkan perhatian mereka untuk menyerang Mesir, dengan keyakinan bahwa negeri itu merupakan kunci untuk merebut kembali Yerusalem. Dalam Perang Salib Keempat yang dimulai tahun 1202, Mesir menjadi target utama peperangan untuk direbut. Adapun dalam Perang Salib Keempat, pasukan Tentara Salib dipimpin oleh Boniface de Montferrat dan Baldwin IX dari Flanders. Namun, dalam perang ini Tentara Salib tidak memerangi umat Islam, dan berakhir dengan penaklukan Konstantinopel pada bulan April 1204 yang kemudian didirikan kerajaan latin Konstantinopel (1204-1261).
E. Sejarah Singkat Perang Salib Kelima Sampai Kesembilan (1212-1270)[10]
Perang Salib yang kelima dilancarkan pada tahun 1212, yang disebut dengan nama Perang Salib Anak-anak. Ribuan anak dari Jerman dan Prancis dikerahkan menjadi Tentara Salib. Banyak anak mati dalam perjalanan, diculik dan dijual. Dalam Perang Salib yang kelima ini Tentara Salib mengalami kegagalan.
Perang Salib Keenam dilancarkan untuk kembali menyerang Mesir sebagai pusat kekuasaan Islam pada tahun 1219. Dalam perang ini Yerusalem hampir direbut, namun karena datangnya bantuan dari kaisar Jerman, Frederick II, tertunda maka ekspedisi ini pun gagal.
Kaisar Frederick II kembali melancarkan Perang Salib yang ketujuh. Ia tiba di Yerusalem pada tahun 1228 dan mengadakan perjanjian dengan Al-Kamil, untuk mengembalikan milik orang Kristen. Frederick tinggal di Palestina selama 15 tahun dan mengangkat dirinya sebagai raja di Yerusalem sambil bersahabat dengan pihak Islam. Namun pada tahun 1244, Yerusalem jatuh lagi ke tangan Islam.
Paus Innocentius IV kembali melancarkan Perang Salib, yang merupakan Perang Salib Kedelapan. Perang ini dipimpin oleh Louis IX, raja Prancis. Pada tahun 1249 Damietta direbut. Akre dijadikan sebagai pusat pertahanan selama empat tahun. Oleh karena terjadi kekacauan di Prancis, Louis IX kembali ke Prancis pada tahun 1254.
Pada tahun 1268 Antiokhia jatuh dan Louis mencoba untuk menyerang Tunisia pada tahun 1270, namun ia jatuh sakit sehingga kembali ke Prancis. Ini merupakan Perang Salib yang kesembilan. Dan dengan demikian berakhirlah Perang Salib pada tahun 1270.
Dampak Perang Salib
A. Dampak Perang Salib Bagi Islam[11]
Akibat Perang Salib terhadap hubungan Kristen-Islam pada umumnya sangat negatif. Pandangan orang Islam terhadap orang Kristen Barat sangat berbeda dengan pandangannya kepada orang Kristen Timur. Orang Kristen Timur dihormati sebagai orang-orang yang berkebudayaan tinggi, tetapi orang-orang Barat dianggap biadab. Di mata orang-orang Islam di Palestina orang-orang Kristen dari Barat adalah orang-orang yang kejam, yang hanya tahu membunuh dan merampok. Sejak zaman itulah agama Kristen dihubungkan dengan kekerasan. Sejak zaman itu juga kata “salib“ bagi orang yang berbahasa Arab menimbulkan emosi peperangan, karena pada masa Perang Salib kata itu dipakai sebagai sebutan seorang prajurit yang menyandang salib dan tidak lagi dikaitkan dengan salib Golgota.
Kesan yang ditimbulkan orang-orang Kristen pada zaman Perang Salib tidak pernah dilupakan. Akan tetapi bagi orang-orang Islam, khususnya yang di Timur Tengah yang mempunyai pandangan ala Timur (sejarah adalah warisan masa lampau yang tetap aktual, sehingga tidak terlalu penting kapan sesuatu terjadi pada zaman dahulu), zaman itu bukan zaman yang telah lewat, melainkan masa ngeri yang selalu dapat muncul kembali. Sekaligus rasa ngeri ini menjadi dorongan untuk melancarkan serangan balasan, yakni perang sabil (suci) yang dilakukan oleh orang-orang Turki Otoman untuk menyerbu daerah dar al-harb, daerah perang, untuk menjadikan dar al-Islam.
B. Dampak Perang Salib Bagi Eropa Barat (Kristen)[12]
Politik dan Militer
- Ksatria-ksatria belajar dari musuh mereka bagaimana berperang dan banyak hal yang berhubungan dengan ilmu perang dibawa ke Eropa Barat.
- Usaha Perang Salib meningkatkan prestise raja-raja di Eropa. Dahulu mereka tidak lebih dari bangsawan biasa yang selalu berperang sama seperti yang lainnya, namun Perang Salib menjadikan mereka pemimpin yang lebih berarti.
Ekonomi
- Pengaruh feodal di kota-kota berkurang sebab tuan-tuan feodal, kaum bangsawan sibuk berperang, sehingga tidak sempat menjalankan pemerintahannya di kota-kota itu.
- Perdagangan meningkat, kota-kota perdagangan seperti Venezia, di Prancis dan di tepi sungai Threin, berkembang dan kaum saudagar menjadi kelas masyarakat yang menentukan.
Kebudayaan
- Orang-orang Barat banyak menerima sesuatu yang baru dari orang-orang Timur. Orang-orang Arab menjadi guru filsafat bagi mereka.
- Pada umumnya cakrawala orang-orang Eropa menjadi luas, demikian juga pandangan mereka. Sastra propan berkembang dengan pesat, sebab ada begitu banyak pokok yang menarik untuk diceritakan tentang perbuatan-perbuatan para ksatria yang gagah berani, tetapi juga tentang dunia Timur yang ajaib.
Gereja
- Sebagai akibat Perang Salib, didirikan beberapa ordo rohani baru. Misalnya, ordo-ordo keksatrian rohani yang didirikan di Tanah Suci untuk melayani orang-orang yang menderita luka atau penyakit, dan untuk melindungi orang-orang yang berziarah dan mereka yang terlibat dalam Perang Salib; ordo Fransiskan dan khususnya ordo Dominikan, yang antara lain didirikan untuk melawan musuh Kristus dengan Firman.
- Akibat negatif bagi gereja adalah, senjata diterima sebagai alat untuk mempropagandakan iman dan memberantas orang-orang yang mempunyai ajaran yang berbeda dengan ajaran Katolik Roma, baik di luar Eropa (Islam) maupun di dalam Eropa (orang-orang Albigens, Waldens).
AnalisaBerdasarkan data-data sejarah di atas, terlihat bahwa Perang Salib terjadi beberapa kali dengan motif politik, mengarah pada perebutan daerah kekuasaan antara kedua belah pihak yang berperang (Eropa Barat dan kaum muslim). Meskipun ada motif yang berkaitan dengan agama di dalamnya mengenai Tanah Suci, namun dalam kenyataannya, dalam Perang Salib bukan hanya Yerusalem yang diperebutkan. Dalam Perang Salib Pertama misalnya, daerah Antiokhia, Edessa, Tripoli, Damaskus menjadi sasaran dalam peperangan. Atau kita juga dapat melihat adanya kesepakatan politik mengenai daerah kekuasaan antara kaum Frank dengan kaum muslim pada Perang Salib Ketiga.
Perang-perang Salib yang kurang lebih terjadi sebanyak sembilan kali peperangan hanya berkisar sekitar perebutan daerah kekuasaan, yang silih berganti antara orang-orang Eropa Barat dengan Tentara Salibnya dan kaum muslim. Meskipun tampak jelas bahwa Perang Salib bernuansa politik, namun tidak bisa dipungkiri bahwa kedua belah pihak yang berperang mewakili dua wilayah di mana dua agama besar berkembang, yaitu Kristen (Barat) dan Islam (Timur). Apalagi tentara dari Barat menggunakan simbol salib pada lencana dan bendera yang mereka bawa dalam peperangan sehingga sangat berkesan bahwa peperangan tersebut terjadi atas nama agama.
Refleksi
Pada dasarnya, Perang Salib bukan merupakan perang agama, meskipun ada faktor agama di dalamnya. Hal ini dapat kita lihat melalui dampaknya, yang mencakup bidang politik-militer, ekonomi dan kebudayaan. Namun kelihatannya, peristiwa ini membawa luka-luka yang dalam, khususnya bagi kaum muslim di Timur Tengah yang mempunyai pandangan tentang sejarah ala Timur (bahwa sejarah adalah warisan masa lampau yang tetap aktual, sehingga tidak terlalu penting kapan sesuatu terjadi pada zaman dulu) zaman itu bukan zaman yang telah lewat, peristiwa itu bisa muncul kembali, dan sekaligus dapat menjadi dorongan untuk melancarkan serangan balasan. Karena itulah sampai saat ini, ketegangan-ketegangan antara Islam dan Kristen masih tetap ada. Yang perlu dilakukan adalah, keterbukaan di antara kedua belah pihak untuk melihat peristiwa Perang Salib dengan kacamata yang baru, bahwa agama bukanlah faktor utama di dalamnya.
[1] Carole Hillenbrand, Perang Salib, (Jakarta:2005), 20-21.
[2] Anne Ruck, Sejarah Gereja Asia, (Jakarta:2006), 71.
[3] Istilah “Perang Salib” diambil dari tanda salib pada lencana dan bendera tentara Kristen
[4] Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta:2005), 111.
[5] Dr. F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta:2006), 350.
[6] Hillenbrand, Ibid, 27.
[7] Hillenbrand, Ibid, 30-32.
[8] Hillenbrand, Ibid, 32.
[9] Hillenbrand, Ibid, 33.
[10] Wellem, Ibid, 352-353.
[11] Dr. Th. van den End, Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, (Jakarta: 2003), 80-82.
[12] End, Ibid, 83-86.
Subscribe to:
Posts (Atom)