Labels

Hendi Rusli's Blog Founded on October, 2008

Wednesday, November 19, 2008

PERANG SALIB


Perang Salib merupakan salah satu pokok bahasan yang cukup penting dalam sejarah gereja. Namun para pakar sejarah gereja khususnya di Indonesia kurang menaruh perhatian yang khusus dalam bahasan yang tersendiri. Dalam tulisan ini saya mencoba mengkaji akan pokok bahasan tersebut.

Bagian pertama tulisan ini akan diawali dengan latar belakang Perang Salib, yang kemudian disusul dengan pembahasan mengenai Perang Salib pertama sampai Perang Salib keempat, kemudian sejarah ringkas Perang Salib kelima sampai kesembilan. Mengenai dampak dari Perang Salib bagi daerah kekuasaan Islam maupun Eropa Barat menyusul dibagian berikutnya. Dan bagian yang terakhir ditutup dengan analisa dan refleksi.

Latar Belakang[1]
Pertemuan pertama bangsa Eropa dengan Islam terjadi akibat kebijakan-kebijakan negara muslim baru, yang terbentuk setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. pada tahun 632 M. Satu abad kemudian, orang-orang Islam telah berhasil menyeberangi barisan pegunungan di antara Prancis dan Spanyol dan menaklukan wilayah dari India utara hingga Prancis Selatan. Dua ratus tahun kemudian, perimbangan kekuasaan antara Eropa dengan dunia Islam berada di tangan kaum muslim. Namun pada abad ke-10 dan 11, perpecahan yang hebat terjadi di kalangan kaum muslim dengan pusatnya di Baghdad. Kondisi tersebut mengakibatkan munculnya kembali bangsa-bangsa Eropa di Mediterania timur dan menjadi awal kebangkitan kekuasaan Kristen di Spanyol.

Pada abad ini juga suku-suku Jerman telah mendirikan negara-negara yang kuat di Eropa untuk melawan kekuasaan Islam. Pembunuhan raja Aragon (Spanyol Utara) oleh seorang muslim pada tahun 1063 merupakan titik tolak peperangan mengusir orang Islam dari semenanjung Spanyol.[2] Dan hal ini menjadi awal terjadinya Perang Salib[3].

Pada dasarnya Perang Salib bukan merupakan perang agama atau dapat dikatakan agama bukan faktor utama di dalamnya. Perang Salib lebih dapat dipahami sebagai perang antara bangsa “perangi“ (Jerman) dengan bangsa Turki yang keduanya suka berperang. Namun di dalamnya bercampur faktor agama dan faktor lainnya. Di antaranya, Perang Salib diakibatkan oleh gangguan dari bangsa Turki kepada orang Kristen Eropa yang berziarah ke Yerusalem; faktor agama yang ada di dalamnya juga dapat kita lihat, misalnya dari pihak orang-orang Eropa Barat yang berpaling ke usaha yang pada hemat mereka jauh lebih mulia yaitu, pembebasan Tanah Suci, Palestina, dari kekuasaan orang-orang Islam.[4] Adapun periode Perang Salib dimulai pada tahun 1095 dan berakhir pada tahun 1270 dengan beberapa kali terjadi peperangan.[5]

Perang-Perang Salib

A. Perang Salib Pertama (1095-1146)[6]
Perang Salib pertama dimulai sekitar tahun 1095 dan dilancarkan oleh sejumlah pemimpin seperti, Raymond dari Toulouse, Bohemond dari Sisilia dan Godfrey dari Bouillon. Mereka berhasil dalam menaklukan ibu kota Saljuk di Iznik pada bulan Juni 1097, dan membuat pasukan Saljuk di bawah pimpinan Sultan Qilij Arslan mengalami kekalahan besar-besaran dalam pertempuran Dorylaeum pada Juli di tahun yang sama. Kemudian pada bulan Oktober, setibanya di Antiokhia Tentara Salib mengepung kota itu. Antiokhia jatuh ke tangan Tentara Salib pada bulan Juni 1098. Dan di tahun berikutnya diresmikan menjadi Kerajaan Antiokhia di bawah pimpinan penguasa Norman, Behemond dari Sisilia.

Sasaraan utama, yaitu Yerusalem direbut pada tanggal 15 Juli 1099 dan Godfrey dari Bouillon menjadi penguasa pertama di tempat itu. Negara Tentara Salib terakhir, wilayah Tripoli, didirikan setelah kota itu direbut pasukan kaum Frank pada tahun 1099. Dengan demikian empat kerajaan Tentara Salib telah didirikan di wilayah Timur Dekat, yaitu Yerusalem, Edessa, Antiokhia dan Tripoli. Meskipun dalam Perang Salib Pertama, Tentara Salib mengalami kemenangan, namun Tentara Salib tidak berhasil menaklukan salah satu dari kota utama, yaitu Aleppo dan Damaskus.

B. Perang Salib Kedua (1147-1187)[7]
Dalam fase kebangkitan kaum muslim berikutnya, Nuruddin seorang tokoh muslim menggabungkan politik senjata yang kuat dengan propaganda agama yang sangat lihai. Dalam konteks ambisi pribadi dan agamanya, Nuruddin perlahan-lahan menyatukan Mesir dan Suriah dan mengepung negara-negara kaum Frank yang dimulai dari Antiokhia.

Takluknya Edessa dan rentannya Antiokhia terhadap serangan tentara muslim telah memicu seruan dan pengiriman Tentara Perang Salib Kedua pada tahun 1147-1148 di bawah komando Conrad III, kaisar Jerman, dan Louis VII, raja Prancis. Perang Salib Kedua diarahkan ke Damaskus yang pada waktu itu berada di bawah pimpinan gubernur kota Unur. Tentara Salib dalam penyerangannya tersebut telah bergabung dengan Tentara Salib di Yerusalem, namun penyerangan ini mengalami kegagalan. Kota Edessa tidak berhasil direbut kembali.

Kota Damaskus pada akhirnya jatuh ke tangan Nuruddin dan ia mengangkat dirinya sebagai penguasa kaum muslim tertinggi di Suriah. Nuruddin telah meletakkan fondasi penyatuan kaum muslim dan menegaskan legitimasi yang bermazhab Sunni. Setelah Nuruddin wafat, Saladin menggantikan peran Nuruddin. Pada tahun 1187, Saladin memerangi Tentara Salib yang dipimpin oleh raja Guy dari Lesignan. Pertempuran ini dikenal sebagai pertempuran besar Hattin. Dalam Pertempuran ini Saladin meraih kemenangan besar atas mereka. Kemenangan Saladin mencapai puncaknya ketika dia berhasil merebut kembali Yerusalem pada tanggal 2 Oktober 1187. Dan pada akhir tahun 1187, hanya sebagian kecil kerajaan Latin Yerusalem yang belum dikuasainya.

C. Perang Salib Ketiga (1191-1192)[8]
Kekalahan Tentara Salib pada pertempuran Hattin dan penaklukan Yerusalem oleh Saladin, menyulut kembali Perang Salib berikutnya. Tiga raja paling kuat dari kaum Eropa Barat, Frederick Barbarosa dari kekaisaran Romawi Suci, Philip dari Prancis dan Richard si Hati Singa dari Inggris, melancarkan Perang Salib Ketiga. Perang ini dimulai dengan serangan Tentara Salib ke Acre yang akhirnya berhasil dikuasai Tentara Salib pada tahun 1191. Meskipun Tentara Salib meraih kemenangan dan beberapa kemenangan lainnya atas Saladin, namun Perang Salib Ketiga berakhir dengan gencatan senjata pada tahun 1192, dengan kesepakatan bahwa kaum Frank akan menguasai sebagian besar wilayah laut, sementara Yerusalem tetap berada dalam kekuasaan kaum muslim.

D. Perang Salib Keempat (1202-1204)[9]
Mulai tahun 1193 dan seterusnya, para Tentara Salib lebih banyak mencurahkan perhatian mereka untuk menyerang Mesir, dengan keyakinan bahwa negeri itu merupakan kunci untuk merebut kembali Yerusalem. Dalam Perang Salib Keempat yang dimulai tahun 1202, Mesir menjadi target utama peperangan untuk direbut. Adapun dalam Perang Salib Keempat, pasukan Tentara Salib dipimpin oleh Boniface de Montferrat dan Baldwin IX dari Flanders. Namun, dalam perang ini Tentara Salib tidak memerangi umat Islam, dan berakhir dengan penaklukan Konstantinopel pada bulan April 1204 yang kemudian didirikan kerajaan latin Konstantinopel (1204-1261).

E. Sejarah Singkat Perang Salib Kelima Sampai Kesembilan (1212-1270)[10]
Perang Salib yang kelima dilancarkan pada tahun 1212, yang disebut dengan nama Perang Salib Anak-anak. Ribuan anak dari Jerman dan Prancis dikerahkan menjadi Tentara Salib. Banyak anak mati dalam perjalanan, diculik dan dijual. Dalam Perang Salib yang kelima ini Tentara Salib mengalami kegagalan.

Perang Salib Keenam dilancarkan untuk kembali menyerang Mesir sebagai pusat kekuasaan Islam pada tahun 1219. Dalam perang ini Yerusalem hampir direbut, namun karena datangnya bantuan dari kaisar Jerman, Frederick II, tertunda maka ekspedisi ini pun gagal.
Kaisar Frederick II kembali melancarkan Perang Salib yang ketujuh. Ia tiba di Yerusalem pada tahun 1228 dan mengadakan perjanjian dengan Al-Kamil, untuk mengembalikan milik orang Kristen. Frederick tinggal di Palestina selama 15 tahun dan mengangkat dirinya sebagai raja di Yerusalem sambil bersahabat dengan pihak Islam. Namun pada tahun 1244, Yerusalem jatuh lagi ke tangan Islam.

Paus Innocentius IV kembali melancarkan Perang Salib, yang merupakan Perang Salib Kedelapan. Perang ini dipimpin oleh Louis IX, raja Prancis. Pada tahun 1249 Damietta direbut. Akre dijadikan sebagai pusat pertahanan selama empat tahun. Oleh karena terjadi kekacauan di Prancis, Louis IX kembali ke Prancis pada tahun 1254.

Pada tahun 1268 Antiokhia jatuh dan Louis mencoba untuk menyerang Tunisia pada tahun 1270, namun ia jatuh sakit sehingga kembali ke Prancis. Ini merupakan Perang Salib yang kesembilan. Dan dengan demikian berakhirlah Perang Salib pada tahun 1270.

Dampak Perang Salib

A. Dampak Perang Salib Bagi Islam
[11]
Akibat Perang Salib terhadap hubungan Kristen-Islam pada umumnya sangat negatif. Pandangan orang Islam terhadap orang Kristen Barat sangat berbeda dengan pandangannya kepada orang Kristen Timur. Orang Kristen Timur dihormati sebagai orang-orang yang berkebudayaan tinggi, tetapi orang-orang Barat dianggap biadab. Di mata orang-orang Islam di Palestina orang-orang Kristen dari Barat adalah orang-orang yang kejam, yang hanya tahu membunuh dan merampok. Sejak zaman itulah agama Kristen dihubungkan dengan kekerasan. Sejak zaman itu juga kata “salib“ bagi orang yang berbahasa Arab menimbulkan emosi peperangan, karena pada masa Perang Salib kata itu dipakai sebagai sebutan seorang prajurit yang menyandang salib dan tidak lagi dikaitkan dengan salib Golgota.

Kesan yang ditimbulkan orang-orang Kristen pada zaman Perang Salib tidak pernah dilupakan. Akan tetapi bagi orang-orang Islam, khususnya yang di Timur Tengah yang mempunyai pandangan ala Timur (sejarah adalah warisan masa lampau yang tetap aktual, sehingga tidak terlalu penting kapan sesuatu terjadi pada zaman dahulu), zaman itu bukan zaman yang telah lewat, melainkan masa ngeri yang selalu dapat muncul kembali. Sekaligus rasa ngeri ini menjadi dorongan untuk melancarkan serangan balasan, yakni perang sabil (suci) yang dilakukan oleh orang-orang Turki Otoman untuk menyerbu daerah dar al-harb, daerah perang, untuk menjadikan dar al-Islam.

B. Dampak Perang Salib Bagi Eropa Barat (Kristen)[12]

Politik dan Militer
- Ksatria-ksatria belajar dari musuh mereka bagaimana berperang dan banyak hal yang berhubungan dengan ilmu perang dibawa ke Eropa Barat.
- Usaha Perang Salib meningkatkan prestise raja-raja di Eropa. Dahulu mereka tidak lebih dari bangsawan biasa yang selalu berperang sama seperti yang lainnya, namun Perang Salib menjadikan mereka pemimpin yang lebih berarti.

Ekonomi
- Pengaruh feodal di kota-kota berkurang sebab tuan-tuan feodal, kaum bangsawan sibuk berperang, sehingga tidak sempat menjalankan pemerintahannya di kota-kota itu.
- Perdagangan meningkat, kota-kota perdagangan seperti Venezia, di Prancis dan di tepi sungai Threin, berkembang dan kaum saudagar menjadi kelas masyarakat yang menentukan.

Kebudayaan
- Orang-orang Barat banyak menerima sesuatu yang baru dari orang-orang Timur. Orang-orang Arab menjadi guru filsafat bagi mereka.
- Pada umumnya cakrawala orang-orang Eropa menjadi luas, demikian juga pandangan mereka. Sastra propan berkembang dengan pesat, sebab ada begitu banyak pokok yang menarik untuk diceritakan tentang perbuatan-perbuatan para ksatria yang gagah berani, tetapi juga tentang dunia Timur yang ajaib.

Gereja
- Sebagai akibat Perang Salib, didirikan beberapa ordo rohani baru. Misalnya, ordo-ordo keksatrian rohani yang didirikan di Tanah Suci untuk melayani orang-orang yang menderita luka atau penyakit, dan untuk melindungi orang-orang yang berziarah dan mereka yang terlibat dalam Perang Salib; ordo Fransiskan dan khususnya ordo Dominikan, yang antara lain didirikan untuk melawan musuh Kristus dengan Firman.
- Akibat negatif bagi gereja adalah, senjata diterima sebagai alat untuk mempropagandakan iman dan memberantas orang-orang yang mempunyai ajaran yang berbeda dengan ajaran Katolik Roma, baik di luar Eropa (Islam) maupun di dalam Eropa (orang-orang Albigens, Waldens).

AnalisaBerdasarkan data-data sejarah di atas, terlihat bahwa Perang Salib terjadi beberapa kali dengan motif politik, mengarah pada perebutan daerah kekuasaan antara kedua belah pihak yang berperang (Eropa Barat dan kaum muslim). Meskipun ada motif yang berkaitan dengan agama di dalamnya mengenai Tanah Suci, namun dalam kenyataannya, dalam Perang Salib bukan hanya Yerusalem yang diperebutkan. Dalam Perang Salib Pertama misalnya, daerah Antiokhia, Edessa, Tripoli, Damaskus menjadi sasaran dalam peperangan. Atau kita juga dapat melihat adanya kesepakatan politik mengenai daerah kekuasaan antara kaum Frank dengan kaum muslim pada Perang Salib Ketiga.
Perang-perang Salib yang kurang lebih terjadi sebanyak sembilan kali peperangan hanya berkisar sekitar perebutan daerah kekuasaan, yang silih berganti antara orang-orang Eropa Barat dengan Tentara Salibnya dan kaum muslim. Meskipun tampak jelas bahwa Perang Salib bernuansa politik, namun tidak bisa dipungkiri bahwa kedua belah pihak yang berperang mewakili dua wilayah di mana dua agama besar berkembang, yaitu Kristen (Barat) dan Islam (Timur). Apalagi tentara dari Barat menggunakan simbol salib pada lencana dan bendera yang mereka bawa dalam peperangan sehingga sangat berkesan bahwa peperangan tersebut terjadi atas nama agama.

Refleksi
Pada dasarnya, Perang Salib bukan merupakan perang agama, meskipun ada faktor agama di dalamnya. Hal ini dapat kita lihat melalui dampaknya, yang mencakup bidang politik-militer, ekonomi dan kebudayaan. Namun kelihatannya, peristiwa ini membawa luka-luka yang dalam, khususnya bagi kaum muslim di Timur Tengah yang mempunyai pandangan tentang sejarah ala Timur (bahwa sejarah adalah warisan masa lampau yang tetap aktual, sehingga tidak terlalu penting kapan sesuatu terjadi pada zaman dulu) zaman itu bukan zaman yang telah lewat, peristiwa itu bisa muncul kembali, dan sekaligus dapat menjadi dorongan untuk melancarkan serangan balasan. Karena itulah sampai saat ini, ketegangan-ketegangan antara Islam dan Kristen masih tetap ada. Yang perlu dilakukan adalah, keterbukaan di antara kedua belah pihak untuk melihat peristiwa Perang Salib dengan kacamata yang baru, bahwa agama bukanlah faktor utama di dalamnya.

[1] Carole Hillenbrand, Perang Salib, (Jakarta:2005), 20-21.
[2] Anne Ruck, Sejarah Gereja Asia, (Jakarta:2006), 71.
[3] Istilah “Perang Salib” diambil dari tanda salib pada lencana dan bendera tentara Kristen
[4] Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta:2005), 111.
[5] Dr. F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta:2006), 350.
[6] Hillenbrand, Ibid, 27.
[7] Hillenbrand, Ibid, 30-32.
[8] Hillenbrand, Ibid, 32.
[9] Hillenbrand, Ibid, 33.
[10] Wellem, Ibid, 352-353.
[11] Dr. Th. van den End, Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, (Jakarta: 2003), 80-82.
[12] End, Ibid, 83-86.

4 comments:

Dimase-Art said...

mksh bwt posting 'bout perang salib...

Hendi Rusli said...

ya, kiranya tulisan ini dapat membawa manfaat.

salam kenal,
Hendi Rusli

BELAJAR BAHASA said...

Perang Salin lebih kepada adu gengsi pemimpin Eropa dengan pemimpin dunia Arab dibandingkan perang Agama

BELAJAR BAHASA said...

Perang Salib lebih kepada adu gengsi pemimpin Eropa dengan pemimpin dunia Arab dibandingkan perang Agama